Internasional

Fakta Potensi Perang China-AS di Laut China Selatan

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
03 July 2020 17:30
Kapal induk Ronald Reagan (Twitter @USNavy)
Foto: Kapal induk Ronald Reagan (Twitter @USNavy)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China di kawasan Laut China Selatan telah meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Itu terjadi setelah China marah pada AS karena kapal perang AS terus berlayar di sekitar pulau Paracels dan wilayah lainnya di perairan yang diklaimnya, meski telah diperingatkan untuk menjauhi wilayah tersebut.

Tensi kedua negara di kawasan pun terus meningkat di saat masing-masing pihak meningkatkan kehadiran di kawasan yang disengketakan banyak negara itu. Bahkan, menurut laporan Bloomberg beberapa waktu lalu, Laut China Selatan berpotensi paling tinggi menjadi wilayah konfrontasi AS dan China karena militer kedua negara semakin meningkatkan frekuensi di kawasan ini.

Dalam empat bulan terakhir di 2020, Angkatan Laut AS (USS Navy) setidaknya empat kali beroperasi di perairan itu. Terutama di area di mana sengketa terjadi antara China dengan sejumlah negara seperti Filipina, Vietnam dan Malaysia.


Hal itu, menurut seorang pakar, berpotensi memicu keributan besar di kawasan.

"Meski konflik bersenjata antara AS-China sangat kecil secara perhitungan, kami melihat aset militer mereka beroperasi secara teratur dan tinggi di wilayah maritim yang sama," kata Collin Koh Swee, peneliti dari Singapura.

"Interaksi dari aset-aset kedua pihak yang bersaing ini bisa menciptakan peluang ... sengaja atau tidak sengaja yang berpotensi membakar dan meningkatkan eskalasi."

"Ini adalah risiko yang tak bisa didiskon."

Kemungkinan itu pun diperkuat oleh serangkaian konflik lainnya yang dimiliki kedua ekonomi terbesar di dunia itu, mulai dari konflik seputar perdagangan, kisruh soal Hong Kong hingga soal virus corona (COVID-19) yang sudah menginfeksi hampir 11 juta orang per Jumat ini (3/7/2020).

Bahkan, seorang pakar menyebut bahwa akibat sejumlah perselisihan itu, hubungan antara pemerintahan Presiden Donald Trump dan pemerintahan Presiden Xi Jinping telah mencapai titik terendah mereka, dan kedua negara berpotensi terlibat perang dingin baru di masa depan.

China Naikkan Anggaran Militer

Di tengah perselisihan dengan AS, China tiba-tiba dikabarkan akan menaikkan anggaran militernya hingga 6,6% di 2020. Hal ini terungkap dari laporan yang dikeluarkan Kongres Rakyat Nasional (NPC) pada Mei lalu.

Anggaran akan ditetapkan sebesar 1.268 triliun (US$ 178 miliar atau sekitar Rp 2632 triliun). Ini merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS), yakni US$ 738 miliar.

Dari catatan AFP, dalam beberapa tahun terakhir, China memang menggenjot anggaran militer untuk memodernisasi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Tujuannya menjadi kekuatan kelas dunia, yang menyaingi AS dan barat.

Sebelumnya di 2019, China meluncurkan dua kapal induk buatan sendiri. Selain itu China juga membuat rudal balistik antarbenua pertama, yang mampu mencapai AS.

China membuat pangkalan militer pertama di Djibouti, Afrika di 2017. Beijing juga membuat rudal penghancur untuk memperkuat militernya.

Kahadiran Militer AS di LCS Sangat Tinggi

Menurut laporan Institut Nasional Studi Laut China Selatan, militer AS telah mengerahkan tentara dan kapal di wilayah perairan Asia-Pasifik dengan jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dari laporan think tank pemerintah itu, AS telah mengerahkan 375.000 tentara dan 60% dari kapal perangnya di kawasan Indo-Pasifik. Tiga kapal induk AS telah dikirim ke wilayah tersebut.

Menanggapi langkah AS itu, Presiden Institut Nasional Studi Laut China Selatan Wu Shicun mengatakan aksi AS itu bisa meningkatkan peluang militer negara itu terlibat 'perang' dengan China, yang telah mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan.

"Pengerahan militer AS di kawasan Asia-Pasifik belum pernah terjadi sebelumnya," kata Wu saat mempresentasikan laporan tersebut, mengutip AFP.

"Kemungkinan insiden militer atau lepasnya tembakan yang tak disengaja telah meningkat," tambah Wu. "Jika krisis meletus, dampak pada hubungan bilateral akan menjadi bencana besar."

Kapal-kapal militer AS yang beroperasi di perairan itu sendiri telah meningkat pesat jumlahnya sejak Trump Menjabat pada 2016.

Selama delapan tahun masa jabatan mantan presiden Barack Obama, angkatan laut AS hanya melakukan empat operasi navigasi bebas sementara ada 22 kapal yang melakukan operasi di bawah pemerintahan Trump sejauh ini, kata Wu.


(res)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS dan China Konflik di Laut China Selatan, Ini Pesan RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular