Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan lapangan kerja yang hilang akibat pandemi virus corona bisa mencapai 195 juta. Maklum, virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini diatasi dengan pembatasan sosial (social distancing) bahkan karantina wilayah (lockdown). Akibatnya, aktivitas publik seakan mati suri dan roda ekonomi tidak berputar.
Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penganggur per Februari 2020 adalah 6,88 juta atau 4,99%. Ini adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Namun gara-gara ekonomi yang mati segan hidup tak mau, angka pengangguran terancam naik. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan tingkat pengangguran pada 2020 bisa naik ke kisaran 7,8-8,5%.
Ketika angka pengangguran naik otomatis angka kemiskinan juga ikut terdongkrak. Jumlah penduduk miskin pada September 2019 adalah 24,79 juta orang atau 9,22%. Turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 25,67 juta orang (9,66%) dan juga menjadi yang terendah sepanjang sejarah. Namun dalam kajian Bappenas, tingkat kemiskinan tahun ini bisa melonjak ke kisaran 9,7-10,2%.
Oleh karena itu, pandemi virus corona bukan hanya masalah kesehatan dan kemanusiaan. Pandemi ini berisiko membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan dan jatuh ke lembah kemiskinan.
Di sini lah negara harus hadir. Sebagaimana amanat konstitusi, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan adalah memberi bantuan kepada para korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sejumlah negara sudah lama melakukannya.
Contoh paling mudah adalah Amerika Serikat (AS), yang memberikan tunjangan pengangguran alias unemployment benefits. Program ini tertuang dalam Social Security Act of 1935.
Nilai unemployment benefits bervariasi di setiap negara bagian, tetapi rata-rata adalah US$ 450 (Rp 6,17 juta) per minggu. Sumber pendanaannya datang dari anggaran negara bagian dan pajak pemerintah pusat yang dibayarkan oleh dunia usaha.
ILO juga sudah memberi panduan umum jika sebuah negara ingin menerapkan program tunjangan kehilangan pekerjaan. Dalam Konvensi ILO 102, disebutkan bahwa jika sumber pendanaan program berasal dari iuran pekerja maka besarannya tidak boleh lebih dari 50%. Contoh, jika program jaminan kehilangan pekerjaan membutuhkan anggaran Rp 10 triliun, maka yang datang dari iuran pekerja tidak boleh lebih dari Rp 5 triliun.
Konvensi ILO 102 juga menyatakan bahwa besaran tunjangan kehilangan pekerjaan yang bisa diberikan adalah 45% dari gaji terakhir. Ini diubah dalam Konvensi ILO 168 menjadi minimal 50%.
Kemudian dalam Konvensi ILO 168 dikatakan bahwa jaminan kehilangan pekerjaan hanya bisa diberikan kepada mereka yang sudah pernah membayar iuran. Jangka waktunya bervariasi, tetapi panduan yang diberikan ILO adalah pernah membayar iuran selama 6-24 bulan.
Lalu dalam Konvensi ILO 102 juga mengatur tentang batasan waktu pemberian tunjangan, karena tentu tidak bisa diberikan selamanya. ILO memberi gambaran umum bahwa tunjangan kehilangan pekerjaan layak diberikan setidaknya 13 pekan dalam setahun.
Di negara-negara ASEAN, tunjangan bagi pengangguran bukan barang baru. Thailand, misalnya, sudah melaksanakan program ini sejak 2004.
Mereka yang berhak mendapatkan bantuan ini adalah pekerja yang pernah membayar iuran setidaknya enam kali. Perusahaan tempatnya bekerja juga harus terdaftar di Government Employment Service Office.
Tunjangan yang diterima oleh korban PHK di Negeri Gajah Putih bisa sampai 50% dari upah terakhirnya, yang bisa didapat sampai 180 hari dalam setahun. Sementara bagi orang yang menjadi pengangguran dengan sukarela (misalnya untuk merawat anggota keluarga yang sakit), bisa mendapat tunjangan 30% dari gaji terakhir selama maksimal 90 hari dalam setahun.
Negara ASEAN lainnya yaitu Vietnam juga telah menerapkan kebijakan serupa. Di Negeri Paman Ho, pemberian 'gaji' kepada korban PHK sudah dilakukan sejak 2010. Tidak hanya diberi bantuan uang tunai, pemerintah Vietnam juga menyediakan pelatihan vokasi dan mencarikan tempat pekerjaan yang baru.
Seperti di Thailand, sumber pembiayaan unemployment insurance di Vietnam berasal dari iuran pekerja dan pemberi kerja. Masing-masing dibebankan tarif 1% dari gaji.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sebenarnya pemerintah sudah punya rencana untuk memberikan santunan bagi korban PHK yang tertuang dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Pasal 90 RUU Omnibus Law rencananya akan mengubah pasal 18 di UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berikut adalah perubahan yang diusulkan terhadap pasal 18 UU SJSN tersebut:
Jenis program jaminan sosial meliputi:
a. Jaminan kesehatan.
b. Jaminan kecelakaan kerja.
c. Jaminan hari tua.
d. Jaminan pensiun.
e. Jaminan kematian.
f. Jaminan kehilangan pekerjaan.
Sebelumnya poin f tidak ada di pasal 18 UU SJSN. Masih di pasal 90 RUU Omnibus Law, disebutkan bahwa di antara pasal 46 dan 47 UU SJSN diselipkan lima pasal. Pertama adalah pasal 46A yang terdiri dari dua ayat yaitu:
(1) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kedua adalah pasal 46B yang terdiri dari tiga ayat yakni:
(1) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian jaminan kehilangan pekerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketiga adalah pasal 46C yang berbunyi sebagai berikut:
Peserta Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar iuran.
Keempat adalah pasal 46D yang memiliki dua ayat yaitu:
(1) Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa pelatihan dan sertifikasi, uang tunai, serta fasilitasi penempatan.
(2) Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Terakhir adalah pasal 46E yang terdiri dari dua ayat yaitu:
(1) Besaran iuran jaminan kehilangan pekerjaan sebesar persentase tertentu dari upah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran iuran jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Oke, sepertinya mulai ada kejelasan mengenai program 'gaji bagi pengangguran' yang bakal dikeluarkan pemerintah. Mereka yang kehilangan pekerjaan berhak atas jaminan ini, dan pelaksananya adalah BPJS Ketenagakerjaan.
Kemudian tunjangan yang diberikan bukan hanya berupa tunai keras, tetapi juga pelatihan, sertifikasi, sampai penempatan kerja di tempat berikutnya. Lalu mereka yang berhak memperoleh tunjangan ini adalah yang sudah pernah membayar iuran BJPS Ketenagakerjaan, artinya mantan pekerja di sektor formal.
Kemudian untuk menjamin keberlangsungan tunjangan ini, sepertinya akan ada tambahan potongan BPJS Ketenagakerjaan dari yang ada sekarang. Saat ini iuran BPJS Ketenagakerjaan adalah 5% dari gaji, di mana 2% dibayar pekerja dan sisanya dibayar pemberi kerja.
Namun karena pandemi virus corona, pembahasan RUU Omnibus Law jadi mandek. Sementara jumlah korban PHK terus bertambah, dan mereka membutuhkan bantuan dalam waktu dekat.
Apakah mungkin pemerintah mempercepat pemberian tunjangan kepada korban PHK ini dengan aturan terpisah dari Omnibus Law? Misalnya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perrpu)? Sebab kalau tidak segera ditangani, maka risiko social unrest bakal semakin tinggi...
TIM RISET CNBC INDONESIA