Gelombang PHK Menggulung Dunia, 190 Juta Orang Jadi Nganggur

News - Tirta Citradi, CNBC Indonesia
24 June 2020 14:57
Protesters take part in a Labour Day protest to voice dissatisfaction with their government's labour policies, in Taipei, Taiwan May 1, 2018. REUTERS/Tyrone Siu Foto: REUTERS/Tyrone Siu

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporannya mewanti-wanti dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor tenaga kerja. ILO memperkirakan jumlah hilangnya pekerjaan bisa bertambah mencapai 195 juta pekerja karena covid-19 yang memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pengangguran merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara baik negara maju maupun berkembang. Sebelum pandemi Covid-19 merebak, angka pengangguran global sudah tergolong tinggi mencapai 190 juta, sebelum adanya pandemi covid-19. 

Jika ditambah dengan dampak dari pandemi, maka angka pengangguran di berbagai belahan dunia akan melonjak signifikan. Maklum, banyak negara yang memilih menerapkan karantina wilayah (lockdown) untuk menekan penyebaran wabah.

Lockdown tidak hanya membatasi mobillitas orang, lebih dari itu dampak penguncian juga menyebabkan penurunan mobilitas barang dan modal. Saat lockdown diterapkan, banyak pabrik yang tutup atau beroperasi dengan kapasitas yang rendah.

Alhasil kebutuhan tenaga kerja menjadi berkurang drastis. Banyak pekerja yang dirumahkan atau bahkan kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai bagian dari agenda efisiensi bisnis di tengah krisis.

Jumlah pengangguran akhirnya naik, daya beli masyarakat menjadi tergerus dan permintaan pun ikut melambat. Pada akhirnya pandemi Covid-19 membawa pukulan ganda (double hit) bagi perekonomian global.

Menurut ILO ada beberapa sektor yang paling merasakan dampak dari pandemi ini. Pasalnya sektor-sektor tersebut merupakan industri yang sangat bergantung pada mobilitas orang dan barang serta memiliki jumlah tenaga kerja yang banyak.

Sektor paling terdampak menurut ILO antara lain sektor pangan dan akomodasi dengan 144 juta pekerja, ritel dan wholesale sebanyak 482 juta, jasa dan administrasi bisnis dengan 157 juta tenaga kerja dan manufaktur yang memiliki 463 juta tenaga kerja.

Jika dilihat dampaknya ke perekonomian, maka sektor-sektor tersebut termasuk yang memiliki kontribusi besar terhadap output ekonomi. Di sisi lain yang lebih menyedihkan adalah tenaga kerja muda juga ikut terdampak dari pandemi ini.

Bayangkan saja, kaum muda yang berada di usia produktif harus menganggur akibat merebaknya pandemi di berbagai penjuru dunia. 

Angka pengangguran versi ILO merupakan perkiraan untuk tiga bulan ke depan setelah dirilis pada April lalu. ini masih estimasi atau prediksi. Kenyataannya bisa sama, lebih baik atau bahkan lebih buruk. 

Semua tergantung perkembangan wabah dan respons setiap negara untuk segera keluar dari krisis. Namun untuk menekan lonjakan angka pengangguran global, organisasi yang bermarkas di Jenewa Swiss itu merekomendasikan adanya 4 pilar utama yang harus dibangun setiap negara.

Keempat pilar itu adalah :

Pilar Pertama, setiap negara harus menstimulasi ekonomi dan serapan tenaga kerja melalui kebijakan fiskal yang aktif, kebijakan moneter yang akomodatif, serta pemberian pinjaman spesifik untuk sektor tertentu seperti kesehatan masyarakat

Pilar Kedua, setiap negara perlu untuk mendukung dunia usaha, lapangan kerja dan pendapatan masyarakatnya melalui meningkatkan proteksi sosial untuk semua lapisan masyarakat, menjaga tingkat retensi tenaga kerja dan memberi keringanan pajak bagi dunia usaha.

Pilar Ketiga, melindungi tenaga kerja dan ruang kerja. Perlindungan dapat diwujudkan dengan meningkatkan aspek kesehatan di ruang publik, kebijakan bekerja secara remote, mencegah terjadinya diskriminasi dan menyediakan akses kesehatan yang universal.

Pilar Keempat, mewujudkan dialog sosial untuk resolusi konflik. ILO memandang pemerintah, pengusaha dan tenaga kerja harus mengedepankan dialog dalam setiap permasalahan yang terjadi.

Pada dasarnya kerangka kebijakan yang direkomendasikan oleh ILO terutama untuk pilar pertama dan kedua sudah diimplementasikan di berbagai negara di dunia. Misalnya di AS, bank sentralnya telah memangkas suku bunga acuan hingga mendekati nol persen, program pembelian aset finansial hingga memberi kredit ke sektor riil.

Dari sisi fiskal, pemerintah AS sudah menggelontorkan dana triliunan dolar untuk relaksasi pajak korporasi, social safety net program hingga yang terbaru adalah proposal untuk anggaran infrastruktur senilai US$ 1,5 triliun oleh House of Representative (DPR AS).

Di Indonesia juga mengimplementasikan pilar pertama dan kedua. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter telah memangkas suku bunga acuan ke 4,25%, meningkatkan likuiditas perbankan melalui pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM).

Sementara dari sisi fiskal, pemerintahan Joko Widodo telah mengeluarkan tiga paket stimulus ekonomi lebih dari Rp 400 triliun untuk sektor kesehatan, social safety net program dan relaksasi pajak. 

Meski pilar-pilar tersebut sudah mulai diterapkan oleh berbagai negara di dunia termasuk di RI, tetapi hasil akhir atau efektivitas kebijakan tentu akan berbeda antara satu negara dengan negara yang lain mengingat kompleksitas permasalahan serta tantangan yang dihadapi juga berbeda. 

Untuk saat ini, pandemi Covid-19 sudah menginfeksi lebih dari 9,1 juta orang di dunia. Pandemi belum berakhir, kini lonjakan kasus kembali terjadi di banyak negara. Jika ancaman gelombang kedua wabah benar-benar terjadi maka dampak ke perekonomian dan sektor tenaga kerja bisa semakin parah. Semoga saja tidak.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Efek Corona, Gelombang PHK Sedang Ancam Dunia


(twg/twg)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading