Pekan pertama PSBB transisi praktis hanya berlangsung tiga hari yakni 5-7 Juni 2020. Pada pekan pertama, kegiatan yang boleh dilakukan lagi adalah aktivitas keagamaan di rumah ibadah, olahraga di tempat terbuka, serta layanan transportasi umum non-ojek. Masing-masing dibatasi dengan kapasitas maksimal 50%.
Sementara pekan kedua (8-14 Juni), berbagai kegiatan usaha sudah bisa dibuka kembali meski dengan kapasitas maksimal 50%. Di antaranya adalah rumah makan yang berdiri sendiri, perindustrian, pergudangan, pertokoan yang berdiri sendiri, dan bengkel. Ojek, baik pangkalan maupun online, juga sudah boleh mengaspal lagi.
Mulai hari ini, PSBB transisi akan memasuki pekan ketiga. Pusat perbelanjaan alias mal dan pasar non-pangan sudah bisa beroperasi kembali, tetapi pengunjung dan karyawan dibatasi maksimal 50%. Pada akhir pekan ini, taman rekreasi dan kebun binatang juga sudah boleh menerima pengunjung, lagi-lagi paling banyak 50% dari kapasitas.
Seiring dengan aktivitas masyarakat yang berangsur meningkat, bagaimana dengan penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Ibu Kota? Apakah ada peningkatan?
Sejak 5-14 Juni, jumlah pasien baru positif corona di Jakarta meningkat rata-rata 1,56% per hari. Naik dibandingkan 10 hari sebelumnya yang mencatatkan kenaikan 1,37% per hari.
Secara nominal, jumlah pasien positif corona bertambah 128,8 orang per hari. Naik dari 10 hari sebelumnya yaitu 98,1 orang per hari.
Maklum saja. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini memang menyukai kerumunan. Virus akan lebih mudah menular kala intensitas kontak dan interaksi antar-manusia meningkat.
Mengutip data Bonza yang mengukur penyebaran virus corona berdasarkan tingkat reproduksi harian (Rt), sejatinya tingkat reproduksi di Jakarta sudah di bawah satu sebelum PSBB transisi diterapkan. Angka di bawah satu berarti seorang pasien positif tidak menularkan ke orang lain, infeksi virus bisa lebih dikendalikan.
Namun saat PSBB transisi mulai berlaku, Rt Jakarta selalu lebih dari satu. Meski ada tren penurunan, tetapi bisa dilihat bahwa penularan terus terjadi. Tidak heran jumlah kasus meningkat dibandingkan masa sebelum PSBB transisi.
Oleh karena itu, sebenarnya Jakarta punya 'bekal' yang agak kurang bagus dalam menyongsong pekan ketiga PSBB transisi. Tentu akan ada kekhawatiran lonjakan kasus corona karena aktivitas yang diperbolehkan semakin banyak.
Bukan hanya Jakarta, seluruh Indonesia juga mesti waspada. Sebab sejumlah institusi memperkirakan risiko Indonesia untuk mengalami gelombang serangan kedua (second wave outbreak) lumayan tinggi.
Citi menyebut Indonesia menjadi negara di ASEAN-6 dengan risiko relapse alias kumat paling tinggi. Ada dua alasan.
Pertama, pemerintah dinilaiĀ menerapkanĀ new normal saat kurva kasus corona belum lagi melandai apalagi mendatar. Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien baru di Tanah Air bertambah 2,74% per hari.
Angka ini lebih tinggi ketimbang negara-negara ASEAN. Singapura mencatatkan kenaikan rata-rata 1,22% per hari, Malaysia 0,67%, Thailand 0,12%, dan Vietnam 0,11%. Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Filipina (3,29%).
Kedua, Citi menyebut bahwa tes atau uji corona di Indonesia juga relatif tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. "Tes yang sedikit menggambarkan bahwa banyak kasus yang masih terpendam dan siap muncul ke permukaan," tulis riset Citi.
Well, ini memang benar. Mengutip data Worldometers, saat ini jumlah tes per 1 juta penduduk di Indonesia adalah 1.881. Lumayan jauh dibandingkan negara-negara tetangga.
Sementara Nomura menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling berisiko mengalami second wave outbreak. Dalam risetnya, Nomura membagi 45 negara dalam tiga kelompok.
Grup pertama adalah negara-negara yang telah melonggarkan pembatasan sosial (social distancing) tetapi belum menunjukkan gejala lonjakan kasus yang signifikan. Negara-negara yang masuk di kelompok ini di antaranya Australia, Prancis, Yunani, Italia, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand.
Kelompok kedua adalah negara yang juga mengendurkan social distancing tetapi menunjukkan gejala awal gelombang serangan kedua. Di antaranya adalah Jerman, Malaysia, Filipina, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Kelompok terakhir adalah negara-negara yang dinilai paling berisiko mengalami gelombang serangan kedua virus corona setelah pelonggaran pembatasan sosial. Di dalamnya ada Argentina, Brasil, India, Meksiko, Singapura, dan Indonesia.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa suka tidak suka, mau tidak mau, cepat atau lambat, aktivitas masyarakat harus bergulir kembali. Sebab kalau lagi-lagi masyarakat harus #dirumahaja, maka roda ekonomi tidak akan berputar.
Virus corona memang mematikan, terbukti sudah menghilangkan lebih dari 2.000 nyawa warga negara Indonesia. Namun kalau terus-menerus menghindar dari virus ini dengan menerapkan social distancing secara murni dan konsekuen, maka bisa jadi akan menimbulkan korban yang mungkin lebih banyak. Bukan karena virus, tetapi karena kelaparan akibat tidak ada penghasilan seiring perekonomian yang mati suri.
Oleh karena itu, jalan tengahnya adalahĀ new normal. Hidup berdampingan dengan virus corona disertai kepatuhan akan protokol kesehatan. Kuncinya adalah tertib menjaga jarak dan menjaga kebersihan. Jika ini dilakukan dengan konsisten, maka peluang second wave outbreak bisa diminimalkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA