Jakarta, CNBC Indonesia - Penambahan pasien positif virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Indonesia dalam dua hari terakhir selalu mencetak rekor. Apabila situasi tidak segera membaik, maka masalah akan melebar ke sektor ekonomi dan keuangan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah pasien positif corona per Rabu (10/6/2020) adalah 34.316 orang. Bertambah 1.241 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya, sekaligus menjadi rekor tertinggi penambahan kasus harian sejak Indonesia mencatat pasien pertama pada awal Maret.
Rekor sebelumnya terjadi pada Selasa. Jadi dalam dua hari beruntun penambahan kasus baru selalu mencatatkan rekor tertinggi.
Kurva kasus corona di Indonesia belum bisa dibilang melandai. Malah yang terjadi adalah kecenderungan melengkung ke atas.
Dari sisi persentase laju pertumbuhan kasus harian, Indonesia juga belum stabil. Masih fluktuatif, naik-turun. Belum terlihat ada pola penurunan yang ajeg.
Pada 10 Juni, jumlah pasien baru naik 3,75% dibandingkan hari sebelumnya. Ini menjadi kenaikan harian tertinggi sejak 23 Mei. Bahkan dalam empat hari terakhir, laju pertumbuhan kasus terus meningkat dari 2,2%, 2,72%, 3,26%, dan 3,75%.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memberi pesan bahwa Indonesia masih perlu waspada. Kepala Negara menegaskan jangan sampai Indonesia mengalami gelombang serangan kedua (second wave outbreak) dari virus corona.
"Jangan sampai terjadi second wave, jangan sampai terjadi lonjakan. Ini yang ingin saya ingatkan kepada kita semua," tutur Jokowi.
Risiko Indonesia untuk mengalami gelombang serangan kedua dari virus yang bermula di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu memang tidak bisa dikesampingkan. Setidaknya itu yang disebut oleh Nomura, lembaga keuangan asal Jepang.
Dalam risetnya, Nomura membagi 45 negara dalam tiga kelompok. Grup pertama adalah negara-negara yang telah melonggarkan pembatasan sosial (social distancing) tetapi belum menunjukkan gejala lonjakan kasus yang signifikan. Negara-negara yang masuk di kelompok ini di antaranya Australia, Prancis, Yunani, Italia, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand.
Kelompok kedua adalah negara yang juga mengendurkan social distancing tetapi menunjukkan gejala awal gelombang serangan kedua. Di antaranya adalah Jerman, Malaysia, Filipina, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Kelompok terakhir adalah negara-negara yang dinilai paling berisiko mengalami gelombang serangan kedua virus corona setelah pelonggaran pembatasan sosial. Di dalamnya ada Argentina, Brasil, India, Meksiko, Singapura, dan Indonesia.
 Nomura |
"Analisis kami membuahkan hasil yang variatif. Ada 17 negara yang masih on track, dalam arti mereka melakukan reopening tetapi belum ada tanda-tanda gelombang serangan kedua. Kemudian ada 13 negara yang memberikan sinyal tentatif bahwa akan ada gelombang serangan kedua. Lalu ada 15 negara yang berada di zona bahaya, paling berisiko mengalami gelombang serangan kedua. Kelompok yang disebut terakhir sebagian besar adalah negara-negara berkembang," sebut riset Nomura.
Terhadap negara-negara yang berada di zona bahaya tersebut, investor di pasar keuangan layak untuk mencemaskan dua hal. Pertama tentu saja masalah kesehatan dan keselamatan nyawa. Selama virus mematikan yang punya kemampuan untuk menghilangkan ribuan nyawa masih bergentayangan, siapa yang tidak ketar-ketir?
Kedua, ada kemungkinan pelonggaran social distancing bakal dicabut ketika terdapat lonjakan kasus dalam jumlah yang signifikan dalam periode yang panjang. Dalam kasus Indonesia, pemerintah bisa kembali memperketat Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB).
"Dalam skenario terburuk, pembukaan kembali aktivitas ekonomi kemudian dikaitkan dengan lonjakan kasus harian, bertambahnya rasa kekhawatiran di masyarakat, yang bisa membuat mobilitas kembali terbatas. Lebih ekstrem lagi, lockdown (karantina wilayah) bisa diberlakukan kembali," sebut riset Nomura.
Apabila PSBB kembali diperketat, maka prospek ekonomi Indonesia dipastikan bakal suram. Pemberlakuan PSBB yang hanya sekitar sebulan pada kuartal I-2020 membuat pertumbuhan ekonomi Tanah Air hanya 2,97%, terendah sejak 2001.
Pada kuartal II-2020, kala PSBB berlaku hampir sepanjang periode, hampir sangat pasti pencapaiannya lebih rendah. Bahkan jangan heran kalau ada kontraksi (pertumbuhan negatif).
Pelonggaran PSBB membuat aktivitas masyarakat berangsur pulih dan roda ekonomi berputar kembali. Ada harapan ekonomi Indonesia bisa bangkit pada paruh kedua tahun ini.
Akan tetapi kalau gelombang serangan kedua sampai mampir ke Indonesia (amit-amit), maka mungkin saja PSBB bakal diberlakukan lagi. Aktivitas masyarakat kembali dikunci, siap-siap untuk kembali #dirumahaja. Roda ekonomi macet lagi, ancaman resesi menjadi sangat nyata.
Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias stagnan 0% pada tahun ini. Apabila aktivitas publik kembali dibatasi, maka bukan tidak mungkin terjadi kontraksi. Ketika kontraksi terjadi dalam dua kuartal berturut-turut pada tahun yang sama, itu namanya resesi.
Sementara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam laporan terbarunya memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2020 akan terkontraksi -2,8%. Itu dengan skenario hanya ada satu gelombang serangan virus corona. Kalau sampai ada gelombang kedua, maka kontraksinya menjadi lebih dalam yaitu -3,9%. Kalau ramalan OECD ini terjadi, maka sudah pasti Indonesia masuk jurang resesi.
"Upaya pencegahan penularan virus corona oleh pemerintah di berbagai negara memang ampuh dalam menurunkan penyebaran dan korban jiwa. Namun berdampak pula terhadap bekunya aktivitas usaha, memperlebar ketimpangan, mengganggu proses pendidikan, dan menurunkan keyakinan terhadap masa depan.
"Sering dengan pelonggaran restriksi, jalan menuju pemulihan ekonomi masih diliputi ketidakpastian dan rentan terhadap gelombang serangan kedua infeksi virus corona. Dengan atau tanpa gelombang serangan kedua, konsekuensinya akan tetap besar dan lama," sebut riset OECD.
Oleh karena itu, pelaku pasar layak untuk cemas jikalau PSBB betul-betul diketatkan lagi gara-gara terjadi lonjakan jumlah pasien positif corona. Dengan prospek ekonomi yang suram, maka sulit untuk mendapatkan stabilitas.
Jadi ada dua hal yang patut terus dimonitor oleh pelaku pasar. Pertama adalah penyebaran virus itu sendiri dan kedua adalah upaya yang dilakukan untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus. Bukan tidak mungkin upaya penanggulangan virus membawa dampak yang lebih besar dan berbahaya ketimbang virus itu sendiri.
TIM RISET CNBC INDONESIA