
Demo 'Black Lives Matter' di Australia Bakal Ditangkap, Why?

Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengunjuk rasa gerakan 'Black Lives Matter' diĀ Australia bakal didenda atau ditangkap. Namun, itu akan terjadi jika mereka melanggar aturan pembatasan dan jaga jarak yang dibuat untuk menekan angka penularan COVID-19 dalam kegiatan protes tersebut.
Perdana Menteri Scott Morrison pada Kamis (11/6/2020) mengatakan unjuk rasa yang dilakukan pada akhir pekan di Sydney, Melbourne, dan kota-kota lain yang menarik puluhan ribu orang sudah merusak aturan pembatasan jarak sosial.
"Kami sebenarnya tidak tahu sekarang apakah demonstrasi itu pada akhir pekan mungkin telah menyebabkan wabah," kata Morrison kepada 2GB Radio, dikutip dari Reuters.
Pejabat negara bagian Victoria mengkonfirmasi bahwa satu dari delapan kasus baru COVID-19 yang dilaporkan pada Kamis adalah seorang pria yang menghadiri rapat umum akhir pekan di Melbourne. Para pejabat mengatakan pria itu tidak mungkin tertular penyakit di sana tetapi berpotensi menularkan pada saat itu.
Selain itu, lebih banyak protes gerakan 'Black Lives Matter' yang tidak sah direncanakan pada hari Jumat (11/6/2020) besok.
"Kami akan mulai menulis tiket denda 1.000 dolar Australia (Rp 9,7 juta) dan kami dapat menggunakan semua kekuatan kami untuk menggerakkan orang," kata Komisaris Polisi New South Wales, Mick Fuller mengatakan kepada 2GB Radio. "Jika kamu tidak pindah, maka kamu akan ditangkap."
Gerakan unjuk rasa 'Black Lives Matter' memfokuskan kembali perhatian di Australia pada penganiayaan terhadap penduduk asli Australia, termasuk kematian masyarakat Aborigin dalam tahanan.
Morrison menolak seruan untuk menghapus patung-patung pemimpin kulit putih, termasuk salah satu perdana menteri pertama negara itu, Edmund Barton, yang terletak di dekat situs pemakaman Aborigin. Barton memainkan peran kunci dalam menyusun konstitusi nasional, yang meniadakan hak-hak masyarakat Aborigin.
Morrison mengatakan motif awal para pemrotes adalah "adil", tetapi dorongan untuk menghilangkan patung-patung itu sekarang didorong oleh agenda politik.
Gerakan 'Black Lives Matter' ini sebelumnya mulai muncul kembali di Amerika, setelah salah satu warga Afrika-Amerika bernama George Floyd tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis kulit putih yang menahannya.
George ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai US$ 20 (Rp 292 ribu) untuk membeli sebungkus rokok di toko kelontong Cup Foods.
Kematian George merupakan tragedi kemanusiaan yang memicu kemarahan publik, khususnya warga kulit hitam. Mereka yang berang terhadap perlakuan polisi yang rasis, mulai turun ke jalan dan berdemonstrasi, menuntut tindakan kebrutalan polisi dan pertanggungjawaban atas beberapa kematian warga kulit hitam di tangan mereka.
Selain unjuk rasa di 50 negara bagian di Amerika, negara lain pun ikut berunjuk rasa mengenai hal ini di negara masing-masing. Selain Australia, ada Kanada, Selandia Baru, Inggris, Jerman, dan Korea Selatan,
Australia sendiri kini memiliki 7.285 kasus terjangkit, 102 kasus kematian, dan 6.747 pasien berhasil sembuh dari Covid-19, menurut data Worldometers. Pada Selasa (9/6/2020), negara ini melaporkan adanya kurang dari 20 kasus baru setiap hari selama beberapa minggu terakhir.
(sef/sef) Next Article Siapa Edward Colston yang Buat Inggris Demo?
