
Seberapa Menderitanya Australia Jika Ditinggal Pelajar China?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perseteruan antara China dan Australia semakin memanas. Di tengah perseteruan tersebut, Kementerian Pendidikan China memperingatkan para siswa asal Negeri Tirai Bambu untuk mempertimbangkan kembali jika ingin mengenyam pendidikan di Australia.
Tentu peringatan ini akan merugikan Australia. Diketahui jika pendidikan internasional adalah penghasil devisa terbesar keempat Australia, yang mencapai 38 miliar dolar Australia (Rp 375 triliun, asumsi Rp 9.869 per 1 dolar Australia) per tahun.
Bahkan di University of New South Wales (UNSW), University of Sydney dan University of Wollongong, penghasilan dari mahasiswa asing terutama yang berasal dari China, melebihi pendapatan dari mahasiswa domestik.
Selain itu, pendidikan internasional lebih penting bagi perekonomian daripada daging sapi atau jelai atau gandum, produk yang terkena larangan impor dan tarif impor China pada bulan lalu.
Menteri Perdagangan Simon Birmingham mengatakan pada Rabu (10/6/2020) jika ekonomi negara tersebut akan menderita jika para siswa asal China tidak lagi bersekolah di Australia karena adanya isu rasisme. Sebelumnya ekonomi Australia sudah menghadapi resesi pertama dalam 30 tahun karena pandemi COVID-19.
"Kami dan universitas akan merasakan efeknya, jika kami melihat penurunan dalam jumlah siswa internasional," kata Birmingham kepada media, dikutip dari Reuters.
Birmingham mengatakan itu juga akan menjadi kerugian bagi siswa China dan dalam jangka panjang "tidak akan melakukan apa pun untuk membantu lebih lanjut saling pengertian antara kedua negara kita".
Selain itu, Birmingham juga mengatakan Australia memiliki "toleransi nol" terhadap rasisme dan telah menetapkan proses untuk memberantasnya.
Diketahui jika ada sekitar 20.000 mahasiswa China yang terdaftar di Universitas Group of Eight atau universitas-universitas top yang kini sedang mengenyam pendidikan secara online akibat virus corona.
China adalah mitra dagang terpenting Australia dan pemasok siswa internasional terbanyak, yang menyumbang 37,3% dari 442.209 siswa luar negeri dalam pendidikan tinggi pada 2019, menurut data Departemen Pendidikan Australia.
Pada Selasa (9/6/2020), kementerian memperingatkan bahwa ada beberapa insiden diskriminasi rasial yang menargetkan orang Asia di Australia di tengah wabah COVID-19, tanpa menjelaskan lebih lanjut. China juga menyarankan warganya untuk menghindari dan tidak bepergian ke Australia pada pekan lalu.
Hubungan antara Australia dengan China menegang pasca Negeri Kanguru meminta dilakukan penyelidikan internasional tentang asal-usul virus corona (COVID-19) yang telah menginfeksi tujuh ribu lebih orang di negaranya.
Sebelumnya China telah mengatakan bahwa virus tersebut kemungkinan berasal dari hewan eksotis dan buas yang dijual di sebuah pasar makanan laut yang ada di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Namun Australia tetap bersikeras untuk melakukan penyelidikan. Per Senin, ada 79% orang Australia yang mendukung upaya investigasi tersebut, menurut hasil jajak pendapat yang dimuat surat kabar the Australian.
Hal itu telah membuat China marah. China menyebut Australia memainkan "tipuan kecil" dan duta besar China untuk Australia telah mengeluarkan peringatan bahwa konsumen China dapat memboikot produk-produk negara tersebut jika Australia melakukan penyelidikan.
Sejak itu China juga telah menghentikan impor daging sapi dari empat pengolah daging terbesar di Australia dan memberlakukan tarif yang tinggi terhadap impor gandum. Namun, kedua belah pihak mengatakan langkah-langkah itu tidak ada hubungannya dengan perselisihan mereka soal pandemi yang mematikan tersebut.
Langkah China itu dipastikan bakal berpengaruh pada ekonomi Australia mengingat Negeri Tirai Bambu merupakan pasar ekspor terbesar Australia. Di mana cakupannya mencapai lebih dari 30% ekspor Australia.
(sef/sef) Next Article Kepercayaan ke China Merosot di Negara Ini, Kok Bisa?