
Lion Air Cs Buka Tutup Penerbangan, Ini Biang Keroknya
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
04 June 2020 20:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Buka-tutup operasional maskapai terjadi beberapa waktu terakhir. Salah satu pemicunya, menurut pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC), Arista Atmadjati, adalah aturan yang sering berubah-ubah.
Alhasil, banyak penumpang yang telanjur membeli tiket pada akhirnya tidak bisa terbang karena tak memenuhi persyaratan bagi orang-orang keperluan khusus yang boleh terbang saat pandemi corona. Hal ini membuat maskapai kian tertekan.
"Biaya refund fresh money itu memberatkan keuangan maskapai," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/6/20).
Apalagi, menurutnya kewajiban calon penumpang menunjukkan hasil tes PCR juga memberatkan. Di sejumlah lokasi, dia menyebut bahwa biaya tes PCR ada yang sampai Rp 2,5 juta untuk sekali tes. Tes PCRÂ salah satu syarat yang harus dipenuhi penumpang sebelum menggunakan jasa angkutan udara.
"Sekarang ilustrasi harga tiket Jakarta-Jogja, Jakarta-Semarang, Jakarta-Solo, itu rata-rata cuma Rp 600-700 ribu. Sementara dia harus beli PCR agar lolos, harganya Rp 2,5 juta. Ini kan policy jalan sendiri-sendiri tidak dipikirkan satu atap," bebernya.
"Saya nggak ngerti gimana bisa keluar aturan gitu. Artinya Kementerian Perhubungan kalah suara, dia sudah nggak berkutik apa-apa sama Gugus Tugas. Karena ada yang nggak masuk akal," tandasnya.
Perubahan aturan dan teknis pelaksanaan dalam waktu dekat, juga menurutnya tak disosialisasikan dengan baik oleh regulator. Inilah yang membuat publik kemudian dibingungkan.
"Karena komunikasi dari regulator kepada penumpang juga jelek, sangat jelek. Kedua juga berubah-rubah, ini juga membingungkan. Saya saja yang sudah kerja 28 tahun sudah males baca, puyeng. Karena kalau baca kan harus pasal per pasal. Kalau sarjana hukum enak makan saja itu. Kalau kita yang bukan sarjana hukum kan males," urainya.
(hoi/hoi) Next Article Lion Air & Batik Air Belum Pastikan Kapan Terbang Lagi
Alhasil, banyak penumpang yang telanjur membeli tiket pada akhirnya tidak bisa terbang karena tak memenuhi persyaratan bagi orang-orang keperluan khusus yang boleh terbang saat pandemi corona. Hal ini membuat maskapai kian tertekan.
"Biaya refund fresh money itu memberatkan keuangan maskapai," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/6/20).
Apalagi, menurutnya kewajiban calon penumpang menunjukkan hasil tes PCR juga memberatkan. Di sejumlah lokasi, dia menyebut bahwa biaya tes PCR ada yang sampai Rp 2,5 juta untuk sekali tes. Tes PCRÂ salah satu syarat yang harus dipenuhi penumpang sebelum menggunakan jasa angkutan udara.
"Sekarang ilustrasi harga tiket Jakarta-Jogja, Jakarta-Semarang, Jakarta-Solo, itu rata-rata cuma Rp 600-700 ribu. Sementara dia harus beli PCR agar lolos, harganya Rp 2,5 juta. Ini kan policy jalan sendiri-sendiri tidak dipikirkan satu atap," bebernya.
"Saya nggak ngerti gimana bisa keluar aturan gitu. Artinya Kementerian Perhubungan kalah suara, dia sudah nggak berkutik apa-apa sama Gugus Tugas. Karena ada yang nggak masuk akal," tandasnya.
Perubahan aturan dan teknis pelaksanaan dalam waktu dekat, juga menurutnya tak disosialisasikan dengan baik oleh regulator. Inilah yang membuat publik kemudian dibingungkan.
"Karena komunikasi dari regulator kepada penumpang juga jelek, sangat jelek. Kedua juga berubah-rubah, ini juga membingungkan. Saya saja yang sudah kerja 28 tahun sudah males baca, puyeng. Karena kalau baca kan harus pasal per pasal. Kalau sarjana hukum enak makan saja itu. Kalau kita yang bukan sarjana hukum kan males," urainya.
(hoi/hoi) Next Article Lion Air & Batik Air Belum Pastikan Kapan Terbang Lagi
Most Popular