
RI Mau New Normal, Jangan Sampai Corona Malah Kumat!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 June 2020 06:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam waktu dekat, Indonesia berencana menerapkan hidup normal baru (new normal) setelah aktivitas masyarakat dibatasi selama berbulan-bulan akibat penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Ada kabar baik dan kabar buruk dari rencana ini.
Dalam riset terbarunya, Citi menyoroti prospek ekonomi negara-negara ASEAN pada semester II-2020 dan ke depan. Indonesia menjadi salah satu negara yang diperkirakan bisa pulih dengan cepat.
Citi menggunakan asumsi bahwa dasar (baseline) pemulihan ekonomi diukur dari pencapaian kuartal IV-2019, saat virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut belum menebar teror. Pada kuartal III-2021, Indonesia dan Filipina diperkirakan sudah bisa mencapai pertumbuhan ekonomi seperti pada level kuartal IV-2019.
Sementara Singapura baru bisa menyamai pencapaian seperti 2019 pada kuartal IV-2021. Paling nelangsa adalah Thailand, sampai akhir 2021 sepertinya pertumbuhan ekonomi Negeri Gajah Putih masih belum bisa kembali layaknya 2019.
Sedangkan Malaysia bernasib lebih baik dari negara-negara yang sudah disebut di atas. Pada kuartal II-2021, ekonomi Negeri Harimau Malaya diramal sudah bisa selevel dengan pencapaian kuartal IV-2019.
Paling top adalah Vietnam. Pada kuartal III tahun ini, Negeri Paman Ho diproyeksi sudah menyamai pencapaian kuartal IV-2019. Selanjutnya, ekonomi Vietnam diperkirakan melesat sendirian meninggalkan para tetangganya.
"Permintaan domestik di Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia akan pulih relatif cepat. Sementara Thailand dan Singapura agak tertinggal," sebut riset Citi.
Pemulihan permintaan domestik tidak lepas dari penerapan new normal. Dalam skema new normal, masyarakat sudah boleh kembali berkegiatan meski tetap harus mematuhi berbagai protokol kesehatan seperti memakai masker, rajin cuci tangan, menjaga jarak, dan sebagainya.
Seiring peningkatan aktivitas masyarakat, permintaan pun akan pulih. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam adalah negara-negara yang mengandalkan konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Oleh karena itu, tidak heran ekonomi Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Filipina bisa pulih relatif cepat jika new normal berjalan lancar. Sebab kala aktivitas masyarakat meningkat, maka konsumsi domestik akan terangkat dan pertumbuhan ekonomi terdongkrak.
Itu kabar baiknya. Namun Citi menggarisbawahi bahwa penerapan new normal juga membawa risiko buat Indonesia. Bahkan riset Citi menyebut bahwa Indonesia menjadi negara ASEAN dengan risiko relapse alias kumat paling tinggi.
Ada sejumlah alasan mengapa Citi menempatkan Indonesia menjadi negara paling rawan. Pertama, pemerintah dinilai melakukan new normal saat kurva kasus corona belum lagi melandai apalagi mendatar.
Kementerian Kesehatan mencatat jumlah pasien positif corona di Indonesia per 3 Juni adalah 28.237 orang. Bertambah 699 orang (2,5%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Laju penambahan kasus baru di Indonesia belum stabil turun, masih fluktuatif. Kenaikan 2,5% pada 3 Juni lebih tinggi ketimbang hari sebelumnya yang bertambah 2,26%.
"Penerapan kebijakan pembatasan sosial memang cukup efektif, mampu menekan angka pertumbuhan kasus. Namun lajunya masih belum serendah negara-negara lain di ASEAN," sebut riset Citi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah merilis Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada akhir Maret. Namun pelaksanaan PSBB diserahkan kepada masing-masing daerah.
Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang menerapkan PSBB yaitu pada 10 April yang kemudian disusul oleh daerah-daerah lainnya. Saat ini sudah lebih dari 20 daerah yang menerapkan PSBB.
Jadi, boleh dibilang PSBB baru efektif berlaku pada 10 April. Sejak 10 April hingga 3 Juni, rata-rata kenaikan kasus corona di Indonesia adalah 4% per hari. Jauh melambat dibandingkan masa pra-PSBB yang mencapai nyaris 25% per hari.
Akan tetapi, rata-rata kenaikan 4% masih lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga yang juga menerapkan social distancing. Misalnya Malaysia yang mulai memberlakukan Movement Control Order (MCO) pada 18 Maret. Sejak 18 Maret hingga 2 Juni, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan rata-rata kenaikan kasus corona di Malaysia adalah 3,64%.
Kemudian Thailand, yang mulai menerapkan kebijakan social distancing pada 21 Maret. WHO melaporkan, rata-rata kenaikan kasus corona di Negeri Gajah Putih selama 21 Maret sampai 2 Juni adalah 3,47%.
Kedua, Citi menyebut bahwa tes atau uji corona di Indonesia juga relatif tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. "Tes yang sedikit menggambarkan bahwa masih banyak kasus yang masih terpendam dan siap muncul ke permukaan," tulis riset Citi.
Well, ini memang benar. Mengutip data Worldometers, saat ini jumlah tes per 1 juta penduduk di Indonesia adalah 1.297. Lumayan jauh dibandingkan negara-negara tetangga.
Oleh karena itu, Citi menilai Indonesia cukup rawan mengalami relapse kasus corona. Ada risiko kasus corona kembali membumbung tinggi. Ini bisa membuat pemerintah kemungkinan bakal kembali membatasi aktivitas masyarakat, siap-siap untuk kembali #dirumahaja...
"Namun kalau pun sampai terjadi relapse, kami memperkirakan pembatasan sosial akan diberlakukan dalam lingkup yang lebih kecil. Misalnya di kecamatan atau kelurahan ketimbang memberlakukan untuk seluruh kota," sebut riset Citi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Dalam riset terbarunya, Citi menyoroti prospek ekonomi negara-negara ASEAN pada semester II-2020 dan ke depan. Indonesia menjadi salah satu negara yang diperkirakan bisa pulih dengan cepat.
Citi menggunakan asumsi bahwa dasar (baseline) pemulihan ekonomi diukur dari pencapaian kuartal IV-2019, saat virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut belum menebar teror. Pada kuartal III-2021, Indonesia dan Filipina diperkirakan sudah bisa mencapai pertumbuhan ekonomi seperti pada level kuartal IV-2019.
Sementara Singapura baru bisa menyamai pencapaian seperti 2019 pada kuartal IV-2021. Paling nelangsa adalah Thailand, sampai akhir 2021 sepertinya pertumbuhan ekonomi Negeri Gajah Putih masih belum bisa kembali layaknya 2019.
Sedangkan Malaysia bernasib lebih baik dari negara-negara yang sudah disebut di atas. Pada kuartal II-2021, ekonomi Negeri Harimau Malaya diramal sudah bisa selevel dengan pencapaian kuartal IV-2019.
Paling top adalah Vietnam. Pada kuartal III tahun ini, Negeri Paman Ho diproyeksi sudah menyamai pencapaian kuartal IV-2019. Selanjutnya, ekonomi Vietnam diperkirakan melesat sendirian meninggalkan para tetangganya.
![]() |
"Permintaan domestik di Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia akan pulih relatif cepat. Sementara Thailand dan Singapura agak tertinggal," sebut riset Citi.
Pemulihan permintaan domestik tidak lepas dari penerapan new normal. Dalam skema new normal, masyarakat sudah boleh kembali berkegiatan meski tetap harus mematuhi berbagai protokol kesehatan seperti memakai masker, rajin cuci tangan, menjaga jarak, dan sebagainya.
Seiring peningkatan aktivitas masyarakat, permintaan pun akan pulih. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam adalah negara-negara yang mengandalkan konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Oleh karena itu, tidak heran ekonomi Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Filipina bisa pulih relatif cepat jika new normal berjalan lancar. Sebab kala aktivitas masyarakat meningkat, maka konsumsi domestik akan terangkat dan pertumbuhan ekonomi terdongkrak.
Itu kabar baiknya. Namun Citi menggarisbawahi bahwa penerapan new normal juga membawa risiko buat Indonesia. Bahkan riset Citi menyebut bahwa Indonesia menjadi negara ASEAN dengan risiko relapse alias kumat paling tinggi.
Ada sejumlah alasan mengapa Citi menempatkan Indonesia menjadi negara paling rawan. Pertama, pemerintah dinilai melakukan new normal saat kurva kasus corona belum lagi melandai apalagi mendatar.
Kementerian Kesehatan mencatat jumlah pasien positif corona di Indonesia per 3 Juni adalah 28.237 orang. Bertambah 699 orang (2,5%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Laju penambahan kasus baru di Indonesia belum stabil turun, masih fluktuatif. Kenaikan 2,5% pada 3 Juni lebih tinggi ketimbang hari sebelumnya yang bertambah 2,26%.
"Penerapan kebijakan pembatasan sosial memang cukup efektif, mampu menekan angka pertumbuhan kasus. Namun lajunya masih belum serendah negara-negara lain di ASEAN," sebut riset Citi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah merilis Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada akhir Maret. Namun pelaksanaan PSBB diserahkan kepada masing-masing daerah.
Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang menerapkan PSBB yaitu pada 10 April yang kemudian disusul oleh daerah-daerah lainnya. Saat ini sudah lebih dari 20 daerah yang menerapkan PSBB.
Jadi, boleh dibilang PSBB baru efektif berlaku pada 10 April. Sejak 10 April hingga 3 Juni, rata-rata kenaikan kasus corona di Indonesia adalah 4% per hari. Jauh melambat dibandingkan masa pra-PSBB yang mencapai nyaris 25% per hari.
Akan tetapi, rata-rata kenaikan 4% masih lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga yang juga menerapkan social distancing. Misalnya Malaysia yang mulai memberlakukan Movement Control Order (MCO) pada 18 Maret. Sejak 18 Maret hingga 2 Juni, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan rata-rata kenaikan kasus corona di Malaysia adalah 3,64%.
Kemudian Thailand, yang mulai menerapkan kebijakan social distancing pada 21 Maret. WHO melaporkan, rata-rata kenaikan kasus corona di Negeri Gajah Putih selama 21 Maret sampai 2 Juni adalah 3,47%.
Kedua, Citi menyebut bahwa tes atau uji corona di Indonesia juga relatif tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. "Tes yang sedikit menggambarkan bahwa masih banyak kasus yang masih terpendam dan siap muncul ke permukaan," tulis riset Citi.
Well, ini memang benar. Mengutip data Worldometers, saat ini jumlah tes per 1 juta penduduk di Indonesia adalah 1.297. Lumayan jauh dibandingkan negara-negara tetangga.
Oleh karena itu, Citi menilai Indonesia cukup rawan mengalami relapse kasus corona. Ada risiko kasus corona kembali membumbung tinggi. Ini bisa membuat pemerintah kemungkinan bakal kembali membatasi aktivitas masyarakat, siap-siap untuk kembali #dirumahaja...
"Namun kalau pun sampai terjadi relapse, kami memperkirakan pembatasan sosial akan diberlakukan dalam lingkup yang lebih kecil. Misalnya di kecamatan atau kelurahan ketimbang memberlakukan untuk seluruh kota," sebut riset Citi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular