
Kematian George Floyd & Derita 'Ekonomi' Warga Kulit Hitam AS
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 June 2020 06:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) dilanda masalah lagi. Kali ini bukan hubungan diplomatik dengan negara lain yang merenggang, tetapi keresahan sosial di dalam negeri yang berujung kericuhan.
George Floyd, seorang pria Afrika-Amerika berusia 46 tahun, meninggal dunia kala dibekuk oleh aparat kepolisian di Kota Minneapolis, Negara Bagian Minnesota. Floyd kesulitan bernafas kala lutut seorang polisi terlihat menindih lehernya.
Kematian Floyd menyulut kemarahan di penjuru negeri. Aksi demonstrasi merebak di berbagai kota di sejumlah negara bagian. Sebagian aksi tersebut diwarnai kekerasan, penjarahan, dan pembakaran properti.
Kalimat Black Lives Matters kembali menggema. Floyd adalah satu dari banyak nama yang menjadi korban kekerasan aparat. Para korban itu adalah dari etnis Afrika-Amerika alias berkulit hitam.
"Sudah berapa kali kita melihat kejadian seperti ini? Ya, nama-namanya memang berubah. Namun warna (kulitnya) tidak," cuit Andrew Cuomo, Gubernur Negara Bagian New York, yang berasal dari Partai Demokrat.
Meski berstatus negara maju yang (katanya) menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, rasisme adalah 'penyakit' yang belum bisa hilang di Negeri Paman Sam. Bahkan institusi negara seakan melanggengkan sikap tersebut. Sikap lebih represif ditunjukkan oleh aparat keamanan kala berurusan dengan warga etnis kulit berwarna, utamanya Afrika-Amerika.
Mengutip perhitungan Washington Post, jumlah orang di AS yang meninggal karena ditembak polisi pada 2019 adalah orang. Paling banyak adalah dari etnis Kaukasian (kulit putih).
Namun kalau dilihat dari keseluruhan populasi AS, angka itu menjadi agak sumir. Per 1 Juli 2019, jumlah penduduk AS adalah 328,23 jiwa. Dari jumlah tersebut, 76,5% (251,1 juta) adalah dari etnis Kaukasian. Jadi tingkat kematian akibat kekerasan aparat kepolisian yang dialami oleh etnis Kaukasian adalah 0,0001%.
Bandingkan dengan warga Afrika-Amerika, yang per Juli 2019 berjumlah 43,98 juta jiwa. Dengan demikian, tingkat kematian akibat kekerasan oleh aparat kepolisian yang dialami oleh etinis ini adalah 0,0005%.
Meski secara nominal jumlah kematian warga Afrika-Amerika lebih rendah dibandingkan Kaukasian, tetapi persentasenya lebih tinggi. Kemungkinan orang Afrika-Amerika terbunuh di tangan polisi lebih tinggi ketimbang etnis Kaukasian.
George Floyd, seorang pria Afrika-Amerika berusia 46 tahun, meninggal dunia kala dibekuk oleh aparat kepolisian di Kota Minneapolis, Negara Bagian Minnesota. Floyd kesulitan bernafas kala lutut seorang polisi terlihat menindih lehernya.
Kematian Floyd menyulut kemarahan di penjuru negeri. Aksi demonstrasi merebak di berbagai kota di sejumlah negara bagian. Sebagian aksi tersebut diwarnai kekerasan, penjarahan, dan pembakaran properti.
Kalimat Black Lives Matters kembali menggema. Floyd adalah satu dari banyak nama yang menjadi korban kekerasan aparat. Para korban itu adalah dari etnis Afrika-Amerika alias berkulit hitam.
"Sudah berapa kali kita melihat kejadian seperti ini? Ya, nama-namanya memang berubah. Namun warna (kulitnya) tidak," cuit Andrew Cuomo, Gubernur Negara Bagian New York, yang berasal dari Partai Demokrat.
Meski berstatus negara maju yang (katanya) menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, rasisme adalah 'penyakit' yang belum bisa hilang di Negeri Paman Sam. Bahkan institusi negara seakan melanggengkan sikap tersebut. Sikap lebih represif ditunjukkan oleh aparat keamanan kala berurusan dengan warga etnis kulit berwarna, utamanya Afrika-Amerika.
Mengutip perhitungan Washington Post, jumlah orang di AS yang meninggal karena ditembak polisi pada 2019 adalah orang. Paling banyak adalah dari etnis Kaukasian (kulit putih).
Namun kalau dilihat dari keseluruhan populasi AS, angka itu menjadi agak sumir. Per 1 Juli 2019, jumlah penduduk AS adalah 328,23 jiwa. Dari jumlah tersebut, 76,5% (251,1 juta) adalah dari etnis Kaukasian. Jadi tingkat kematian akibat kekerasan aparat kepolisian yang dialami oleh etnis Kaukasian adalah 0,0001%.
Bandingkan dengan warga Afrika-Amerika, yang per Juli 2019 berjumlah 43,98 juta jiwa. Dengan demikian, tingkat kematian akibat kekerasan oleh aparat kepolisian yang dialami oleh etinis ini adalah 0,0005%.
Meski secara nominal jumlah kematian warga Afrika-Amerika lebih rendah dibandingkan Kaukasian, tetapi persentasenya lebih tinggi. Kemungkinan orang Afrika-Amerika terbunuh di tangan polisi lebih tinggi ketimbang etnis Kaukasian.
Pages
Most Popular