
Di Balik George Floyd Ada Ketimpangan Antara Si Hitam & Putih
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
04 June 2020 10:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Kematian seorang warga Afro-Amerika bernama George Floyd telah memicu serangkaian aksi protes skala nasional di Amerika Serikat (AS). Kabar yang menggemparkan dunia ini seolah menunjukkan bahwa rasisme masih hidup di zaman modern seperti sekarang ini ketika nilai-nilai inklusifitas terus didengungkan.
George Floyd adalah seorang warga kulit hitam Amerika Serikat (AS) berusia 46 tahun yang diduga melanggar hukum karena menggunakan uang palsu untuk bertransaksi. Namun nyawanya harus melayang di tangan seorang polisi Minneapolis bernama Derek Chauvin seorang berkulit putih.
Dalam beberapa video yang diunggah di akun media sosial menunjukkan bahwa Derek Chauvin terlihat menekan bagian leher George hingga pria yang sehari-harinya bekerja sebagai pengemudi truk dan satpam restoran Conga Latin Bistro tak bisa bernapas dan akhirnya lepas meninggal.
Kematian George merupakan tragedi kemanusiaan yang memicu semangat anti-rasisme di Negeri Paman Sam menyebar ke seluruh penjuru negeri. Protes keras yang berbuntut pada kerusuhan meletus di banyak daerah.
Gelombang protes terus terjadi hingga berhari-hari. Sampai dengan kemarin, aksi protes keras tersebut sudah memasuki hari kedelapan.
Saking masifnya kisruh, 40 kota di AS sampai menerapkan jam malam. Bahkan Presiden AS Donald Trump sampai menerjunkan personel militer untuk turun ke jalan. Setidaknya 17.000 personel Garda Nasional, unit militer Pentagon yang termasuk dalam tentara cadangan nasional, sudah diterjunkan di sejumlah titik di negeri itu.
Rasisme masih hidup dan ketimpangan masih merajalela di AS. The Economist melaporkan warga kulit hitam di Negeri Adidaya masih mengalami diparitas ekonomi, kesehatan bahkan hukum.
Berdasarkan data biro sensus AS, pendapatan warga Afro-Amerika hanya 3/5 dari warga kulit putih non-Hispanik. Pada 2018 saja, rata-rata pendapatan keluarga kulit hitam AS tercatat sebesar US$ 41.400. Masih jauh lebih rendah dari warga kulit putih yang pendapatannya menyentuh nominal US$ 70.600.
Jarak antara si hitam dan si putih di AS sejatinya sudah menurun sejak tahun 1970-2000. Namun setelah itu kondisi kembali memburuk. Kesenjangan pendapatan telah sedikit mereda karena kenaikan pengeluaran federal pasca-Covid-19.
Namun kemungkinan jarak tersebut akan kembali melebar mengingat warga kulit hitam lebih banyak menjadi pekerja yang membutuhkan keterampilan rendah. Ketimpangan kekayaan antara si hitam dan si miskin bahkan lebih lebar dari gap pendapatannya.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Federal Reserve Board pada tahun 2017, median kekayaan orang Afro-Amerika hanya sepersepuluh dari orang kulit putih non-Hispanik: US$ 17.600, dibandingkan dengan US$ 171.000.
Orang kulit hitam dua kali lebih banyak daripada orang kulit putih yang memiliki nilai kekayaan bersih nol atau negatif (dengan utang lebih besar dari aset). Warga kulit hitam juga dua kali lebih banyak ditolak kredit atau terlambat membayar cicilan dalam 60 hari terakhir.
Lebih dari dua kali lipat warga kulit hitam yang mengatakan mereka tidak dapat membayar semua tagihan dalam kondisi normal; hanya 43% mengatakan mereka dapat meminjam US$ 3.000 dalam keadaan darurat dari keluarga atau teman. Angka ini jelas jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan 71% orang kulit putih. Secara finansial, lebih banyak orang Afro-Amerika yang tinggal di dekat pinggiran daripada orang kulit putih.
Covid-19 telah menjadi bencana besar terutama bagi orang Afro-Amerika. Warga New York kulit hitam dan hispanik dua kali lebih berpotensi terenggut nyawan karena covid-19 daripada orang kulit putih. Di Chicago angkanya bahkan lebih tinggi hingga lima kali lipat.
Hal ini sebagian besar disebabkan karena mereka bekerja di sektor yang langsung terpapar pada risiko terjangkit di tengah pandemi seperti menjadi perawat dan kurir. Alasan lainnya adalah warga kulit hitam lebih banyak yang tak memiliki asuransi kesehatan daripada warga kulit putih.
Ada sebanyak 12,2% orang Afro-Amerika tidak memiliki asuransi karena mereka memiliki lebih banyak masalah kesehatan kronis yang membuat akses untuk mendapatkan asuransi menjadi lebih terbatas.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, orang Afrika-Amerika berusia 18 hingga 49 tahun dua kali lebih mungkin meninggal akibat penyakit jantung dibandingkan orang kulit putih, 50% lebih mungkin memiliki tekanan darah tinggi dan hampir dua kali lebih mungkin menderita diabetes.
Menurut sebuah studi yang dilakukan Patrick Bayer dari Duke University dan Kerwin Charles dari University of Chicago, sebanyak 35% pria berkulit hitam berusia muda dalam keadaan menganggur atau keluar dari pekerjaan. Angka tersebut dua kali lipat dari jumlah orang kulit putih.
Jumlah yang sangat besar ini tampaknya dapat dihubungkan dengan tingginya tingkat penahanan orang Afro-Amerika: selain mereka yang dipenjara, banyak yang menyerah mencari pekerjaan karena ditolak oleh pemberi kerja yang tidak mau memberikan kesempatan pada mantan narapidana.
Sebuah studi dari para peneliti di Universitas Michigan dan British Columbia menemukan bahwa orang kulit hitam dan Hispanik mendapatkan hukuman yang lebih lama untuk kejahatan yang sama.
Studi lain berpendapat bahwa ini disebabkan karena hakim tidak berpikir orang kulit hitam dapat membayar denda, jika mereka dibebaskan, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan akan kembali ke kriminalitas.
Dengan kata lain, kemiskinan dan pengangguran membuat praktik hukuman lebih keras bagi orang kulit hitam, dan praktik itu membuat orang kulit hitam lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Oleh sebab itu, perbedaan dari sisi supremasi hukum inilah yang jadi jantung protes atas kematian George Floyd, hal ini juga makin memperkuat alasan lain yaitu ketidaksetaraan penghasilan dan pekerjaan. Sekali lagi data-data ini masih menunjukkan bahwa kesenjangan di berbagai aspek antara si hitam dan si putih masih ada di tengah dengung keras nilai-nilai inklusivitas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Kematian George Floyd dan Rasisme di AS
George Floyd adalah seorang warga kulit hitam Amerika Serikat (AS) berusia 46 tahun yang diduga melanggar hukum karena menggunakan uang palsu untuk bertransaksi. Namun nyawanya harus melayang di tangan seorang polisi Minneapolis bernama Derek Chauvin seorang berkulit putih.
Dalam beberapa video yang diunggah di akun media sosial menunjukkan bahwa Derek Chauvin terlihat menekan bagian leher George hingga pria yang sehari-harinya bekerja sebagai pengemudi truk dan satpam restoran Conga Latin Bistro tak bisa bernapas dan akhirnya lepas meninggal.
Gelombang protes terus terjadi hingga berhari-hari. Sampai dengan kemarin, aksi protes keras tersebut sudah memasuki hari kedelapan.
Saking masifnya kisruh, 40 kota di AS sampai menerapkan jam malam. Bahkan Presiden AS Donald Trump sampai menerjunkan personel militer untuk turun ke jalan. Setidaknya 17.000 personel Garda Nasional, unit militer Pentagon yang termasuk dalam tentara cadangan nasional, sudah diterjunkan di sejumlah titik di negeri itu.
Rasisme masih hidup dan ketimpangan masih merajalela di AS. The Economist melaporkan warga kulit hitam di Negeri Adidaya masih mengalami diparitas ekonomi, kesehatan bahkan hukum.
Berdasarkan data biro sensus AS, pendapatan warga Afro-Amerika hanya 3/5 dari warga kulit putih non-Hispanik. Pada 2018 saja, rata-rata pendapatan keluarga kulit hitam AS tercatat sebesar US$ 41.400. Masih jauh lebih rendah dari warga kulit putih yang pendapatannya menyentuh nominal US$ 70.600.
Jarak antara si hitam dan si putih di AS sejatinya sudah menurun sejak tahun 1970-2000. Namun setelah itu kondisi kembali memburuk. Kesenjangan pendapatan telah sedikit mereda karena kenaikan pengeluaran federal pasca-Covid-19.
Namun kemungkinan jarak tersebut akan kembali melebar mengingat warga kulit hitam lebih banyak menjadi pekerja yang membutuhkan keterampilan rendah. Ketimpangan kekayaan antara si hitam dan si miskin bahkan lebih lebar dari gap pendapatannya.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Federal Reserve Board pada tahun 2017, median kekayaan orang Afro-Amerika hanya sepersepuluh dari orang kulit putih non-Hispanik: US$ 17.600, dibandingkan dengan US$ 171.000.
Orang kulit hitam dua kali lebih banyak daripada orang kulit putih yang memiliki nilai kekayaan bersih nol atau negatif (dengan utang lebih besar dari aset). Warga kulit hitam juga dua kali lebih banyak ditolak kredit atau terlambat membayar cicilan dalam 60 hari terakhir.
Lebih dari dua kali lipat warga kulit hitam yang mengatakan mereka tidak dapat membayar semua tagihan dalam kondisi normal; hanya 43% mengatakan mereka dapat meminjam US$ 3.000 dalam keadaan darurat dari keluarga atau teman. Angka ini jelas jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan 71% orang kulit putih. Secara finansial, lebih banyak orang Afro-Amerika yang tinggal di dekat pinggiran daripada orang kulit putih.
Covid-19 telah menjadi bencana besar terutama bagi orang Afro-Amerika. Warga New York kulit hitam dan hispanik dua kali lebih berpotensi terenggut nyawan karena covid-19 daripada orang kulit putih. Di Chicago angkanya bahkan lebih tinggi hingga lima kali lipat.
Hal ini sebagian besar disebabkan karena mereka bekerja di sektor yang langsung terpapar pada risiko terjangkit di tengah pandemi seperti menjadi perawat dan kurir. Alasan lainnya adalah warga kulit hitam lebih banyak yang tak memiliki asuransi kesehatan daripada warga kulit putih.
Ada sebanyak 12,2% orang Afro-Amerika tidak memiliki asuransi karena mereka memiliki lebih banyak masalah kesehatan kronis yang membuat akses untuk mendapatkan asuransi menjadi lebih terbatas.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, orang Afrika-Amerika berusia 18 hingga 49 tahun dua kali lebih mungkin meninggal akibat penyakit jantung dibandingkan orang kulit putih, 50% lebih mungkin memiliki tekanan darah tinggi dan hampir dua kali lebih mungkin menderita diabetes.
Menurut sebuah studi yang dilakukan Patrick Bayer dari Duke University dan Kerwin Charles dari University of Chicago, sebanyak 35% pria berkulit hitam berusia muda dalam keadaan menganggur atau keluar dari pekerjaan. Angka tersebut dua kali lipat dari jumlah orang kulit putih.
Jumlah yang sangat besar ini tampaknya dapat dihubungkan dengan tingginya tingkat penahanan orang Afro-Amerika: selain mereka yang dipenjara, banyak yang menyerah mencari pekerjaan karena ditolak oleh pemberi kerja yang tidak mau memberikan kesempatan pada mantan narapidana.
Sebuah studi dari para peneliti di Universitas Michigan dan British Columbia menemukan bahwa orang kulit hitam dan Hispanik mendapatkan hukuman yang lebih lama untuk kejahatan yang sama.
Studi lain berpendapat bahwa ini disebabkan karena hakim tidak berpikir orang kulit hitam dapat membayar denda, jika mereka dibebaskan, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan akan kembali ke kriminalitas.
Dengan kata lain, kemiskinan dan pengangguran membuat praktik hukuman lebih keras bagi orang kulit hitam, dan praktik itu membuat orang kulit hitam lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Oleh sebab itu, perbedaan dari sisi supremasi hukum inilah yang jadi jantung protes atas kematian George Floyd, hal ini juga makin memperkuat alasan lain yaitu ketidaksetaraan penghasilan dan pekerjaan. Sekali lagi data-data ini masih menunjukkan bahwa kesenjangan di berbagai aspek antara si hitam dan si putih masih ada di tengah dengung keras nilai-nilai inklusivitas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Kematian George Floyd dan Rasisme di AS
Most Popular