
Stimulus RI Cuma 2,5% PDB, Pengusaha Swasta Seakan Terlupakan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 May 2020 06:25

Gita Wirjawan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, berpendapat bahwa salah satu isu yang tersirat adalah perhatian yang cukup besar diberikan terhadap para UMKM dan kepentingan restrukturisasi utang beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar hampir Rp 400 triliun. Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp 34 triliun. Ini pun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah sehingga risiko kredit tetap akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut.
"Penyikapan pemerintah cukup kelihatan diskriminatif terhadap dunia usaha (non-UMKM dan BUMN) yang mana mereka selama ini sudah banyak membantu dalam perputaran roda ekonomi Indonesia. Covid-19 yang sangat non-diskriminatif justru harus ditanggulangi dengan reaksi ataupun policy response yang semestinya non-diskriminatif dan inklusif," tegas Gita.
Menurut Gita, dibutuhkan dana yang lebih besar untuk memastikan dunia usaha bisa bertahan hidup dan kemudian kembali tumbuh. Dalam waktu enam bulan ke depan, likuiditas yang dibutuhkan untuk kepentingan jaring pengaman dan pemulihan daya beli terkait para pengusaha dan tenaga kerja UMKM bisa mencapai Rp 1.000 triliun. Sementara kebutuhan dana ataupun jaminan untuk kepentingan dilakukannya restrukturisasi terhadap 40-45% dari seluruh pinjaman debitur di perbankan bisa mencapai Rp 2.400- 3.000 triliun.
Namun, Gita menilai dunia usaha swasta malah dianggap mampu membantu dirinya sendiri. Kesalahan logika tersebut sangat riskan dan akan tercermin dalam kelumpuhan daya produksi, daya saing, dan kapasitas peningkatan ruang fiskal pada kemudian hari.
"Risiko beranjaknya kepincangan menuju kelumpuhan di sektor riil cukup nyata dan pola penanganannya dapat memengaruhi corak pertumbuhan ekonomi ke depan. Dengan dihindarinya kelumpuhan permanen di sisi pasok atau produksi, perekonomian Indonesia berpeluang untuk lebih bisa bersaing di masa depan, khususnya dalam konteks upaya negara-negara maju untuk melakukan desentralisasi rantai pasok (supply chain) yang selama ini masih terkonsentrasi di titik-titik tertentu. Indonesia berpeluang untuk menjadi basis manufaktur dan produksi baru berdasarkan kebijakan banyak negara untuk melakukan relokasi kapasitas produksinya ke beberapa negara di Asia Tenggara," papar Gita.
Saat ini, lanjut Gita, total stimulus fiskal di Indonesia hanya sekitar 2,5% PDB. Jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura (12%), Malaysia (17%), atau Thailand (10%).
"Ini mungkin mencerminkan kurangnya pendalaman mengenai inti permasalahan yang terjadi sekarang ini. Lebih penting lagi adalah pendalaman mengenai ke mana kita mau arahkan perekonomian kita pada kemudian hari," sebutnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
"Penyikapan pemerintah cukup kelihatan diskriminatif terhadap dunia usaha (non-UMKM dan BUMN) yang mana mereka selama ini sudah banyak membantu dalam perputaran roda ekonomi Indonesia. Covid-19 yang sangat non-diskriminatif justru harus ditanggulangi dengan reaksi ataupun policy response yang semestinya non-diskriminatif dan inklusif," tegas Gita.
Menurut Gita, dibutuhkan dana yang lebih besar untuk memastikan dunia usaha bisa bertahan hidup dan kemudian kembali tumbuh. Dalam waktu enam bulan ke depan, likuiditas yang dibutuhkan untuk kepentingan jaring pengaman dan pemulihan daya beli terkait para pengusaha dan tenaga kerja UMKM bisa mencapai Rp 1.000 triliun. Sementara kebutuhan dana ataupun jaminan untuk kepentingan dilakukannya restrukturisasi terhadap 40-45% dari seluruh pinjaman debitur di perbankan bisa mencapai Rp 2.400- 3.000 triliun.
Namun, Gita menilai dunia usaha swasta malah dianggap mampu membantu dirinya sendiri. Kesalahan logika tersebut sangat riskan dan akan tercermin dalam kelumpuhan daya produksi, daya saing, dan kapasitas peningkatan ruang fiskal pada kemudian hari.
"Risiko beranjaknya kepincangan menuju kelumpuhan di sektor riil cukup nyata dan pola penanganannya dapat memengaruhi corak pertumbuhan ekonomi ke depan. Dengan dihindarinya kelumpuhan permanen di sisi pasok atau produksi, perekonomian Indonesia berpeluang untuk lebih bisa bersaing di masa depan, khususnya dalam konteks upaya negara-negara maju untuk melakukan desentralisasi rantai pasok (supply chain) yang selama ini masih terkonsentrasi di titik-titik tertentu. Indonesia berpeluang untuk menjadi basis manufaktur dan produksi baru berdasarkan kebijakan banyak negara untuk melakukan relokasi kapasitas produksinya ke beberapa negara di Asia Tenggara," papar Gita.
Saat ini, lanjut Gita, total stimulus fiskal di Indonesia hanya sekitar 2,5% PDB. Jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura (12%), Malaysia (17%), atau Thailand (10%).
"Ini mungkin mencerminkan kurangnya pendalaman mengenai inti permasalahan yang terjadi sekarang ini. Lebih penting lagi adalah pendalaman mengenai ke mana kita mau arahkan perekonomian kita pada kemudian hari," sebutnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular