Stimulus RI Cuma 2,5% PDB, Pengusaha Swasta Seakan Terlupakan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 May 2020 06:25
Dinkes Mampang Periksa Karyawan Amigos Kemang. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dinkes Mampang Periksa Karyawan Amigos Kemang. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membawa konsekuensi besar di bidang ekonomi. Terjadi tekanan yang berbeda dibandingkan saat krisis keuangan global 2008-2009.

Saat krisis 11-12 tahun lalu, adalah sektor keuangan yang berdarah-darah. Meletusnya gelembung aset berbasis kredit properti (sub-prime mortgage) di Amerika Serikat (AS) ternyata berdampak sistemik yang berakibat kepada kelumpuhan sektor keuangan global, termasuk di Indonesia.

Pada 2007, penyaluran kredit perbankan tumbuh 25,5% year-on-year (YoY). Namun terpaan krisis keuangan global membuat kredit pada 2008 hanya tumbuh 9,95% YoY dan 2009 sedikit membaik menjadi 10,6%.

Kala itu, hantaman di sektor keuangan yang kemudian menular ke sektor riil. Tanpa pembiayaan yang mumpuni, ekonomi Indonesia pada 2008 masih 6,01% melambat menjadi 4,63% pada 2009.

Namun wabah virus corona berbeda 180 derajat. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menyebar dengan sangat cepat dan luas. Dalam tempo sekira lima bulan, virus sudah menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori.


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 19 Mei 2020 adalah 4,73 juta orang. Dari jumlah tersebut, lebih dari 300.000 orang meninggal dunia.

Virus corona adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Agar tragedi itu tidak semakin parah, pemerintah di berbagai negara memberlakukan pembatasan sosial (social distancing). Kodrat manusia sebagai makhluk sosial dicabut, karena orang-orang disarankan (bahkan diperintahkan) untuk #dirumahaja.

Di Indonesia, social distancing dituangkan melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Warga diimbau untuk tetap di rumah kecuali untuk urusan yang amat sangat mendesak sekali. Transportasi publik dibatasi, mobilitas manusia dikontrol, sekolah diliburkan, kantor dan pabrik tutup sementara, restoran dan rumah makan dilarang melayani makan-minum di tempat, masyarakat dilarang berkumpul, dan berbagai larangan lain.


Dalam waktu singkat, tragedi kesehatan dan kemanusiaan berubah menjadi tragedi ekonomi. Aktivitas masyarakat yang dibatasi membuat roda ekonomi bergerak sangat lambat.

Pada kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di titik terendah sejak 2001 yaitu di 2,97% YoY. Bahkan pada kuartal II-2020 kemungkinan bisa lebih rendah lagi, atau bisa saja terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif).

Belum lagi bicara pengangguran. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 2,9 juta pekerja dirumahkan atau mendapat vonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena dunia usaha kesulitan menghadapi situasi ekonomi yang sangat lesu.

Tidak seperti krisis keuangan 2008-2009, pandemi virus corona langsung memukul sektor riil di garis terdepan. Perusahaan besar, menengah, kecil, bahkan mikro pun merasakan dampak berupa rontoknya penjualan.

Pemerintah merespons perlambatan ekonomi nasional dengan kebijakan fiskal yang ekspansif. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020, pemerintah menaikkan defisit anggaran ke atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang sejatinya tidak diperkenankan oleh UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Awalnya pemerintah memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 adalah 5,07% PDB. Namun kemudian diperkirakan bisa bertambah menjadi 6,27% PDB.


Dalam paparan awal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pelebaran defisit disebabkan oleh penerimaan negara yang lebih rendah dan belanja yang meningkat. Penerimaan negara diperkirakan turun 13,6%, di mana penerimaan perpajakan berkurang 9,2% dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) anjlok 29,6%.

Sementara belanja negara naik Rp 106,3 triliun. Antara lain untuk tambahan kompensasi bagi PT PLN dan PT Pertamina, subsidi bunga Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), bantuan sosial (bansos), dan lain-lain.

Selain itu, Perppu No 1/2020 juga mengamanatkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dituangkan dalam PP No 23/2020. Salah satunya adalah dengan pemberian likuiditas kepada perbankan untuk restrukturisasi utang, Maklum, dunia usaha (termasuk UMKM) kesulitan untuk membayar kewajiban mereka karena penjualan yang lesu.

Awalnya, pemerintah memperkirakan dana untuk program PEN adalah Rp 150 triliun. Namun perhitungan terakhir menyebut kebutuhannya membengkak lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 318,9 triliun.



Gita Wirjawan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, berpendapat bahwa salah satu isu yang tersirat adalah perhatian yang cukup besar diberikan terhadap para UMKM dan kepentingan restrukturisasi utang beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar hampir Rp 400 triliun. Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp 34 triliun. Ini pun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah sehingga risiko kredit tetap akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut.

"Penyikapan pemerintah cukup kelihatan diskriminatif terhadap dunia usaha (non-UMKM dan BUMN) yang mana mereka selama ini sudah banyak membantu dalam perputaran roda ekonomi Indonesia. Covid-19 yang sangat non-diskriminatif justru harus ditanggulangi dengan reaksi ataupun policy response yang semestinya non-diskriminatif dan inklusif," tegas Gita.

Menurut Gita, dibutuhkan dana yang lebih besar untuk memastikan dunia usaha bisa bertahan hidup dan kemudian kembali tumbuh. Dalam waktu enam bulan ke depan, likuiditas yang dibutuhkan untuk kepentingan jaring pengaman dan pemulihan daya beli terkait para pengusaha dan tenaga kerja UMKM bisa mencapai Rp 1.000 triliun. Sementara kebutuhan dana ataupun jaminan untuk kepentingan dilakukannya restrukturisasi terhadap 40-45% dari seluruh pinjaman debitur di perbankan bisa mencapai Rp 2.400- 3.000 triliun.


Namun, Gita menilai dunia usaha swasta malah dianggap mampu membantu dirinya sendiri. Kesalahan logika tersebut sangat riskan dan akan tercermin dalam kelumpuhan daya produksi, daya saing, dan kapasitas peningkatan ruang fiskal pada kemudian hari.

"Risiko beranjaknya kepincangan menuju kelumpuhan di sektor riil cukup nyata dan pola penanganannya dapat memengaruhi corak pertumbuhan ekonomi ke depan. Dengan dihindarinya kelumpuhan permanen di sisi pasok atau produksi, perekonomian Indonesia berpeluang untuk lebih bisa bersaing di masa depan, khususnya dalam konteks upaya negara-negara maju untuk melakukan desentralisasi rantai pasok (supply chain) yang selama ini masih terkonsentrasi di titik-titik tertentu. Indonesia berpeluang untuk menjadi basis manufaktur dan produksi baru berdasarkan kebijakan banyak negara untuk melakukan relokasi kapasitas produksinya ke beberapa negara di Asia Tenggara," papar Gita.

Saat ini, lanjut Gita, total stimulus fiskal di Indonesia hanya sekitar 2,5% PDB. Jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura (12%), Malaysia (17%), atau Thailand (10%).

"Ini mungkin mencerminkan kurangnya pendalaman mengenai inti permasalahan yang terjadi sekarang ini. Lebih penting lagi adalah pendalaman mengenai ke mana kita mau arahkan perekonomian kita pada kemudian hari," sebutnya. 



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular