Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bikin Kaget! Ini Alasannya
14 May 2020 12:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah membuka suara perihal alasan kenapa iuran BPJS Kesehatan tetap dinaikkan. Yang kemudian disahkan dalam Perpres No. 64 Tahun 2020 sebagai pengganti kedua Perpres No. 82 Tahun 2018.
Peraturan 64/2020 mengatur tentang Jaminan Kesehatan, yang di dalamnya juga mengatur mengenai iuran BPJS Kesehatan. Aturan itu sudah diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 5 Mei 2020 lalu.
Besaran iuran yang ditetapkan oleh Perpres 64/2020 tidak jauh berbeda dengan Perpres 75/2019 yang pada Maret 2020 lalu ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Berdasarkan Perpres 64/2020, per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) bagi peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja) disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III.
Sebelumnya, iuran BPJS Kesehatan mengikuti Perpres Nomor 75 Tahun 2019, yaitu Rp 160.000 untuk kelas I, Rp 110.000 untuk kelas II, Rp 42.000 untuk kelas III.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, penetapan Perpres 64/2020 sudah mempertimbangkan keputusan MA dan pemerintah menghormati keputusan itu.
Bahkan lanjut Askolani, pemerintah komitmen masih tetap membantu masyarakat golongan menengah ke bawah, yang mana untuk peserta kelas III, peserta hanya membayarkan Rp 25.500 saja, sementara sisanya yang sebesar Rp 16.500 akan ditanggung oleh pemerintah.
"Perpres ini sangat mempertimbangkan MA dan kami sangat memahami dan menghormati kebijakan ini. Dari kondisi ini dan pelayanan kesehatan JKN [Jaminan Kesehatan Nasional] agar lebih sustain dan bisa mencakup seluruh rkayat Indonesia. Maka revisi dari Perpres ini sangat dibutuhkan untuk kepastian pengelolaan JKN ke depan," jelas Askolani dalam video conference, Kamis (14/5/2020).
Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan, dalam jangka pendek, Perpres 64/2020 ini sebenarnya bertujuan untuk memperbaiki struktur iuran dan meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran.
Sementara dalam jangka mengenah, dengan adanya Perpres 64/2020 ini pemerintah tengah menyiapkan serangkaian kebijakan secara menyeluruh dalam beberapa hal. Salah satunya, sebagai optimalisasi kemanfaatan iuran BPJS Kesehatan.
"Urun biaya untuk layanan yang rawan pemanfaatan berlebihan, penyederhanaan tarif layanan, yang saat ini terlalu bervariasi. Rumah sakit bisa mendapatkan anggaran dari BPJS Kesehatan untuk membiayai seluruh kegiatannya dalam masa 1 tahun," jelas Kunta.
Sementara pada 2021, yang peserta yang memenuhi kriteria fakir miskin dan/atau orang tidak mampu ditambahkan sebagai bagian dari peserta PBI, di mana iurannya sebesar Rp 42.000 dibayar pemerintah pusat/atau pemerintah daerah.
Adapun saat ini, penduduk yang selama ini yang didaftarkan oleh Pemda atau selama ini dikenal dengan istilah PBI APBD diserahkan sepenuhnya ke pemerintah pusat.
"Jadi konsep disini PBI hanya satu, cuma pusat dan nggak ada daerah, dan sesuai data dari DTKS Kemensos. Tapi Pemda berkontribusi membayar," jelas Kunta.
(dru/dru)
Peraturan 64/2020 mengatur tentang Jaminan Kesehatan, yang di dalamnya juga mengatur mengenai iuran BPJS Kesehatan. Aturan itu sudah diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 5 Mei 2020 lalu.
Besaran iuran yang ditetapkan oleh Perpres 64/2020 tidak jauh berbeda dengan Perpres 75/2019 yang pada Maret 2020 lalu ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Sebelumnya, iuran BPJS Kesehatan mengikuti Perpres Nomor 75 Tahun 2019, yaitu Rp 160.000 untuk kelas I, Rp 110.000 untuk kelas II, Rp 42.000 untuk kelas III.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, penetapan Perpres 64/2020 sudah mempertimbangkan keputusan MA dan pemerintah menghormati keputusan itu.
Bahkan lanjut Askolani, pemerintah komitmen masih tetap membantu masyarakat golongan menengah ke bawah, yang mana untuk peserta kelas III, peserta hanya membayarkan Rp 25.500 saja, sementara sisanya yang sebesar Rp 16.500 akan ditanggung oleh pemerintah.
"Perpres ini sangat mempertimbangkan MA dan kami sangat memahami dan menghormati kebijakan ini. Dari kondisi ini dan pelayanan kesehatan JKN [Jaminan Kesehatan Nasional] agar lebih sustain dan bisa mencakup seluruh rkayat Indonesia. Maka revisi dari Perpres ini sangat dibutuhkan untuk kepastian pengelolaan JKN ke depan," jelas Askolani dalam video conference, Kamis (14/5/2020).
Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan, dalam jangka pendek, Perpres 64/2020 ini sebenarnya bertujuan untuk memperbaiki struktur iuran dan meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran.
Sementara dalam jangka mengenah, dengan adanya Perpres 64/2020 ini pemerintah tengah menyiapkan serangkaian kebijakan secara menyeluruh dalam beberapa hal. Salah satunya, sebagai optimalisasi kemanfaatan iuran BPJS Kesehatan.
"Urun biaya untuk layanan yang rawan pemanfaatan berlebihan, penyederhanaan tarif layanan, yang saat ini terlalu bervariasi. Rumah sakit bisa mendapatkan anggaran dari BPJS Kesehatan untuk membiayai seluruh kegiatannya dalam masa 1 tahun," jelas Kunta.
Sementara pada 2021, yang peserta yang memenuhi kriteria fakir miskin dan/atau orang tidak mampu ditambahkan sebagai bagian dari peserta PBI, di mana iurannya sebesar Rp 42.000 dibayar pemerintah pusat/atau pemerintah daerah.
Adapun saat ini, penduduk yang selama ini yang didaftarkan oleh Pemda atau selama ini dikenal dengan istilah PBI APBD diserahkan sepenuhnya ke pemerintah pusat.
"Jadi konsep disini PBI hanya satu, cuma pusat dan nggak ada daerah, dan sesuai data dari DTKS Kemensos. Tapi Pemda berkontribusi membayar," jelas Kunta.
Artikel Selanjutnya
Iuran BPJS Batal Naik, Ini Mekanismenya yang Terlanjur Bayar
(dru/dru)