
Pak Menhub, Ini Usul Para Gubernur Jika KRL Tetap Beroperasi
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
10 May 2020 12:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (Jabar) sepakat sepakat mengusulkan pengendalian penyebaran COVID-19 di Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line ke pemerintah pusat usai ditemukannya penumpang positif COVID-19 di KRL. Ada dua opsi, yakni disetop total atau operasionalnya diperketat.
Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, menegaskan bahwa KRL yang merupakan tempat berkerumunnya warga. Hal itu identik dengan sifat virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang menyebar melalui kerumunan orang.
"Kita tahu COVID-19 ini penyakit kerumunan. Di mana ada kerumunan, di situ ada COVID-19. Nah, salah satu kelompok kerumunan adalah KRL," ucap Kang Emil, sapaan akrabnya melalui keterangan resmi yang dikutip CNBC Indonesia, Minggu (10/5/20).
Dia mengaku setuju jika operasional KRL disetop total, namun lagi-lagi menurutnya keputusan ada di Kementerian Perhubungan.
"Sekarang mengemuka lagi (penghentian KRL), saya juga sangat mendukung. Karena problem-nya adalah OTG (Orang Tanpa Gejala). Jadi, walau sudah ada protokol kesehatan (di KRL), OTG ini tidak ketahuan padahal ada virus," tandasnya.
Yang jadi perhatian utama yakni adanya orang-orang yang masih harus bekerja di Jakarta. Dia bilang, selama kantornya memang masih buka, maka alasan dia untuk bepergian itu tidak bisa dihindari.
Karenanya, ia meminta agar Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi DKI Jakarta bersama pemda Bodetabek mengusulkan kembali penghentian operasional KRL berdasarkan data dan fakta penyebaran COVID-19 di layanan transportasi publik.
"Pertama, aspirasi awal dari Pemda Provinsi DKI Jakarta, yang akan diperkuat oleh para bupati/wali kota (Bodetabek) sebagai penyangga Ibu Kota," ujarnya.
Kedua, Kang Emil meminta agar Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta membuat kebijakan untuk perusahaan yang masih beroperasi di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mendata karyawannya yang tinggal di luar Jakarta, sehingga didapat data jumlah penumpang KRL sekaligus mempermudah aturan yang dibuat.
Selain itu, dengan penerapan PSBB di Jabodetabek, Kang Emil mengusulkan dua opsi bagi perusahaan yang masih ingin beroperasi saat PSBB. Pertama, perusahaan menyediakan kendaraan antar jemput karyawan.
Kedua, perusahaan menggelar tes metode Polymerase Chain Reaction (PCR) secara mandiri. Hasil tes tersebut bisa menjadi dasar keputusan dibuka atau ditutupnya perusahaan. Apabila hasilnya menunjukkan perusahaan bebas COVID-19, maka perusahaan tersebut bisa dibuka.
Sebaliknya, apabila ada karyawan yang positif COVID-19, maka perusahaan itu harus berhenti beroperasi.
"Opsinya ada dua, menyediakan kendaraan oleh perusahaan. Saya kira itu konsekuensi, Anda mau buka di saat PSBB, Anda juga bertanggung jawab terhadap karyawan-karyawan yang tidak semuanya tinggal di Jakarta," ucap Kang Emil.
"Atau (opsi kedua), seperti yang saya lakukan di Jawa Barat. Perusahaan yang buka (beroperasi) harus melakukan tes COVID-19 dengan biaya sendiri. Mungkin ini bisa jadi solusi juga, sehingga kasarnya orang yang berpergian itu bebas COVID-19 dengan bukti tes PCR," lanjutnya.
Hal senada diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dia menegaskan, pengendalian pergerakan orang dari luar Jakarta ke Jakarta dan sebaliknya harus menjadi perhatian utama untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Fakta di lapangan, disebutnya, meskipun telah diterapkan PSBB dan kebijakan larangan mudik, memasuki minggu kedua Ramadan ini pergerakan orang ke Jakarta atau sebaliknya masih terjadi. Hal ini terungkap dari penuturan para ahli epidemiologi yang dimintai pendapat.
"Ada dua pergerakan, pergerakan di dalam Jabodetabek yang harus dikendalikan umumnya lewat KRL. Lalu yang kedua adalah pengendalian pergerakan dari Jabodetabek ke luar Jabodetabek. (Apabila tidak dikendalikan) konsekuensinya kenaikan kasus (positif COVID-19) di daerah," kata Anies.
Oleh karena itu, Anies berujar bahwa regulasi dan penegakan regulasi yang ketat menjadi sangat penting dalam menekan pergerakan warga. Selain itu, perlu juga dilakukan kembali usulan kepada Kementerian Perhubungan RI dalam mengendalikan pergerakan KRL dan penumpangnya.
"Kita akan membuat aturan bahwa orang harus memiliki surat izin untuk masuk-keluar wilayah Jakarta. Yang akan saya usulkan surat izin keluar masuk wilayah Jabodetabek, sehingga untuk bepergian itu harus membawa surat izin itu," ujar Anies.
Adapun Wali Kota Bogor Bima Arya menjelaskan, sebagian warga Kota Bogor yang terpapar COVID-19 disebabkan oleh adanya aktivitas di Jakarta. Termasuk sebanyak 30 persen warga Kota Bogor yang terpapar COVID-19 adalah pengguna layanan transportasi publik ke Jakarta, salah satunya KRL.
"Sebagian itu terpapar karena ada konektivitas dengan Jakarta dan sekitarnya. Jadi, sebagian besar itu ada kaitannya dengan Jakarta, entah bekerja di Jakarta atau pasangannya bekerja di Jakarta atau pernah mengunjungi Jakarta," kata Bima.
Sebelumnya, Bima bersama bupati/wali kota Bodebek pun telah melakukan koordinasi terkait operasional KRL. Ada beberapa kesimpulan yang dihasilkan dari koordinasi tersebut, di antaranya para kepala daerah Bodebek akan menyampaikan secara resmi permintaan kepada Kementerian Perhubungan RI untuk mengevaluasi kembali kebijakan operasional KRL.
"Kami minta dua opsi. Opsi pertama, adalah stop total (KRL) dengan kewajiban bagi pengusaha atau kantor di Jakarta menyediakan layanan jemput," tutur Bima.
"Opsi kedua adalah, kalaupun tidak mungkin berhenti total kami memberikan opsi ada pembatasan yang lebih ketat. Bisa dalam bentuk penumpang yang naik memiliki identitas, ada gerbong yang ditambah, ada jadwal yang ditambah, petugas yang ditambah, dan lain-lain," lanjutnya.
(gus) Next Article Kemenhub: Covid-19 Menular di Mana Saja, Tak Cuma di KRL!
Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, menegaskan bahwa KRL yang merupakan tempat berkerumunnya warga. Hal itu identik dengan sifat virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang menyebar melalui kerumunan orang.
"Kita tahu COVID-19 ini penyakit kerumunan. Di mana ada kerumunan, di situ ada COVID-19. Nah, salah satu kelompok kerumunan adalah KRL," ucap Kang Emil, sapaan akrabnya melalui keterangan resmi yang dikutip CNBC Indonesia, Minggu (10/5/20).
"Sekarang mengemuka lagi (penghentian KRL), saya juga sangat mendukung. Karena problem-nya adalah OTG (Orang Tanpa Gejala). Jadi, walau sudah ada protokol kesehatan (di KRL), OTG ini tidak ketahuan padahal ada virus," tandasnya.
Yang jadi perhatian utama yakni adanya orang-orang yang masih harus bekerja di Jakarta. Dia bilang, selama kantornya memang masih buka, maka alasan dia untuk bepergian itu tidak bisa dihindari.
Karenanya, ia meminta agar Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi DKI Jakarta bersama pemda Bodetabek mengusulkan kembali penghentian operasional KRL berdasarkan data dan fakta penyebaran COVID-19 di layanan transportasi publik.
"Pertama, aspirasi awal dari Pemda Provinsi DKI Jakarta, yang akan diperkuat oleh para bupati/wali kota (Bodetabek) sebagai penyangga Ibu Kota," ujarnya.
Kedua, Kang Emil meminta agar Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta membuat kebijakan untuk perusahaan yang masih beroperasi di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mendata karyawannya yang tinggal di luar Jakarta, sehingga didapat data jumlah penumpang KRL sekaligus mempermudah aturan yang dibuat.
Selain itu, dengan penerapan PSBB di Jabodetabek, Kang Emil mengusulkan dua opsi bagi perusahaan yang masih ingin beroperasi saat PSBB. Pertama, perusahaan menyediakan kendaraan antar jemput karyawan.
Kedua, perusahaan menggelar tes metode Polymerase Chain Reaction (PCR) secara mandiri. Hasil tes tersebut bisa menjadi dasar keputusan dibuka atau ditutupnya perusahaan. Apabila hasilnya menunjukkan perusahaan bebas COVID-19, maka perusahaan tersebut bisa dibuka.
Sebaliknya, apabila ada karyawan yang positif COVID-19, maka perusahaan itu harus berhenti beroperasi.
"Opsinya ada dua, menyediakan kendaraan oleh perusahaan. Saya kira itu konsekuensi, Anda mau buka di saat PSBB, Anda juga bertanggung jawab terhadap karyawan-karyawan yang tidak semuanya tinggal di Jakarta," ucap Kang Emil.
"Atau (opsi kedua), seperti yang saya lakukan di Jawa Barat. Perusahaan yang buka (beroperasi) harus melakukan tes COVID-19 dengan biaya sendiri. Mungkin ini bisa jadi solusi juga, sehingga kasarnya orang yang berpergian itu bebas COVID-19 dengan bukti tes PCR," lanjutnya.
Hal senada diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dia menegaskan, pengendalian pergerakan orang dari luar Jakarta ke Jakarta dan sebaliknya harus menjadi perhatian utama untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Fakta di lapangan, disebutnya, meskipun telah diterapkan PSBB dan kebijakan larangan mudik, memasuki minggu kedua Ramadan ini pergerakan orang ke Jakarta atau sebaliknya masih terjadi. Hal ini terungkap dari penuturan para ahli epidemiologi yang dimintai pendapat.
"Ada dua pergerakan, pergerakan di dalam Jabodetabek yang harus dikendalikan umumnya lewat KRL. Lalu yang kedua adalah pengendalian pergerakan dari Jabodetabek ke luar Jabodetabek. (Apabila tidak dikendalikan) konsekuensinya kenaikan kasus (positif COVID-19) di daerah," kata Anies.
Oleh karena itu, Anies berujar bahwa regulasi dan penegakan regulasi yang ketat menjadi sangat penting dalam menekan pergerakan warga. Selain itu, perlu juga dilakukan kembali usulan kepada Kementerian Perhubungan RI dalam mengendalikan pergerakan KRL dan penumpangnya.
"Kita akan membuat aturan bahwa orang harus memiliki surat izin untuk masuk-keluar wilayah Jakarta. Yang akan saya usulkan surat izin keluar masuk wilayah Jabodetabek, sehingga untuk bepergian itu harus membawa surat izin itu," ujar Anies.
Adapun Wali Kota Bogor Bima Arya menjelaskan, sebagian warga Kota Bogor yang terpapar COVID-19 disebabkan oleh adanya aktivitas di Jakarta. Termasuk sebanyak 30 persen warga Kota Bogor yang terpapar COVID-19 adalah pengguna layanan transportasi publik ke Jakarta, salah satunya KRL.
"Sebagian itu terpapar karena ada konektivitas dengan Jakarta dan sekitarnya. Jadi, sebagian besar itu ada kaitannya dengan Jakarta, entah bekerja di Jakarta atau pasangannya bekerja di Jakarta atau pernah mengunjungi Jakarta," kata Bima.
Sebelumnya, Bima bersama bupati/wali kota Bodebek pun telah melakukan koordinasi terkait operasional KRL. Ada beberapa kesimpulan yang dihasilkan dari koordinasi tersebut, di antaranya para kepala daerah Bodebek akan menyampaikan secara resmi permintaan kepada Kementerian Perhubungan RI untuk mengevaluasi kembali kebijakan operasional KRL.
"Kami minta dua opsi. Opsi pertama, adalah stop total (KRL) dengan kewajiban bagi pengusaha atau kantor di Jakarta menyediakan layanan jemput," tutur Bima.
"Opsi kedua adalah, kalaupun tidak mungkin berhenti total kami memberikan opsi ada pembatasan yang lebih ketat. Bisa dalam bentuk penumpang yang naik memiliki identitas, ada gerbong yang ditambah, ada jadwal yang ditambah, petugas yang ditambah, dan lain-lain," lanjutnya.
(gus) Next Article Kemenhub: Covid-19 Menular di Mana Saja, Tak Cuma di KRL!
Most Popular