
Pengusaha: Boro-Boro Beri THR, Bayar Gaji Saja Sulit!
Ferry Sandi, CNBC Indonesia
06 May 2020 15:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi setiap pengusaha berbeda-beda dalam kemampuan menahan hantaman pandemi COVID-19. Bagi yang sangat sulit, untuk membayar gaji reguler saja sudah sangat berat.
Wakil ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengatakan kemampuan tiap perusahaan ada yang paling sulit sampai masih normal.
"Secara umum kita alami masa sulit. Tapi sulitnya ada yang sulit banget, sulit sedikit, bahkan ada yang masih normal. Jadi sulit memberlakukan satu regulasi yang berlaku umum. Intinya bagi yang sulit itu diberi jalan, itu hal yang baik. Plus kita tekankan Bipartit (negosiasi THR)," sebut Bob kepada CNBC Indonesia, Rabu (6/5).
Menurutnya, langkah dialog adalah cara terbaik saat ini. Jika ada keputusan yang dipaksa, maka akan merugikan salah satu pihak. Misalnya kondisi keuangan perusahaan yang menurun. Sebaliknya dari buruh, dikhawatirkan bakal memukul daya beli yang kian anjlok.
"Kita harus campaign bahwa bipartit itu harus dijalankan. Karena yang paling tahu situasi kondisi adalah orang di perusahaan dalam itu. Nggak boleh orang di luar perusahaan merasa lebih tahu. Dan mengatur. Itu yang harus kita jaga," sebutnya.
Dalam konteks jangan ada pihak ketiga yang merasa lebih tahu, ia menyebut termasuk di antaranya Serikat Pekerja, Pemerintah maupun Apindo. Kondisi perusahaan masing-masing diketahui dari internal perusahaan masing-masing sehingga bipartit jadi keputusan tertinggi.
"Dan terpenting jangan teori doang sosial dialognya. Jangan normatif doang, tapi benar-benar sosial dialog. Karena menyangkut hidup matinya karyawan dan perusahaan. Di situ kekuatannya," katanya.
Ia juga menilai bila pembayaran tunjangan hari raya (THR) terhadap pegawai usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) diwajibkan untuk dibayar sebesar 100% atau tanpa keringanan atau dicicil, maka akan berdampak pada kelumpuhan.
Pasalnya, sektor UMKM menjadi salah satu yang paling terdampak akibat masa pandemi COVID-19 ini. Berbeda dengan kondisi pada krisis ekonomi tahun 1998 silam, dimana UMKM yang menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi. Saat ini, justru sebaliknya.
"Cashflow mereka parah. Kalau dipaksa (THR 100%) juga mereka dia (mati). Itu yang harus kita pertimbangkan," kata Bob kepada CNBC Indonesia, Rabu (6/5).
Ia berharap, pelaku usaha pada sektor ini bisa lebih mengutamakan dialog dengan pekerjanya. Dengan tujuan tiap UMKM bisa memiliki napas lebih untuk bisa bertahan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan, sambil berharap menunggu pandemi mereda.
"Jadi boro-boro ngomong THR. Ngomong gaji besok aja (sulit). Apalagi industri kecil, ya udah hand up (angkat tangan), jadi jangan bayangin semua gitu. Kalo industri besar nggak usah diomongin lah, mereka udah punya kekuatan sendiri. Yang harus kita pikirkan yang 97% pekerja di UMKM," sebutnya.
Berdasarkan data dari Kantor Kementerian Koperasi pada tahun 2018, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 120.598.138 orang atau 97%. Sedang yang diserap usaha besar adalah 3.619.507 orang atau 3% saja.
Adapun di Indonesia ada sebanyak 64.199.606 unit usaha, terdiri dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 64.194.057 unit dan Usaha Besar (UB) 5.550 unit.
(hoi/hoi) Next Article Surat Edaran THR Biasanya Copy Paste, Kok Buruh Resah?
Wakil ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengatakan kemampuan tiap perusahaan ada yang paling sulit sampai masih normal.
"Secara umum kita alami masa sulit. Tapi sulitnya ada yang sulit banget, sulit sedikit, bahkan ada yang masih normal. Jadi sulit memberlakukan satu regulasi yang berlaku umum. Intinya bagi yang sulit itu diberi jalan, itu hal yang baik. Plus kita tekankan Bipartit (negosiasi THR)," sebut Bob kepada CNBC Indonesia, Rabu (6/5).
"Kita harus campaign bahwa bipartit itu harus dijalankan. Karena yang paling tahu situasi kondisi adalah orang di perusahaan dalam itu. Nggak boleh orang di luar perusahaan merasa lebih tahu. Dan mengatur. Itu yang harus kita jaga," sebutnya.
Dalam konteks jangan ada pihak ketiga yang merasa lebih tahu, ia menyebut termasuk di antaranya Serikat Pekerja, Pemerintah maupun Apindo. Kondisi perusahaan masing-masing diketahui dari internal perusahaan masing-masing sehingga bipartit jadi keputusan tertinggi.
"Dan terpenting jangan teori doang sosial dialognya. Jangan normatif doang, tapi benar-benar sosial dialog. Karena menyangkut hidup matinya karyawan dan perusahaan. Di situ kekuatannya," katanya.
Ia juga menilai bila pembayaran tunjangan hari raya (THR) terhadap pegawai usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) diwajibkan untuk dibayar sebesar 100% atau tanpa keringanan atau dicicil, maka akan berdampak pada kelumpuhan.
Pasalnya, sektor UMKM menjadi salah satu yang paling terdampak akibat masa pandemi COVID-19 ini. Berbeda dengan kondisi pada krisis ekonomi tahun 1998 silam, dimana UMKM yang menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi. Saat ini, justru sebaliknya.
"Cashflow mereka parah. Kalau dipaksa (THR 100%) juga mereka dia (mati). Itu yang harus kita pertimbangkan," kata Bob kepada CNBC Indonesia, Rabu (6/5).
Ia berharap, pelaku usaha pada sektor ini bisa lebih mengutamakan dialog dengan pekerjanya. Dengan tujuan tiap UMKM bisa memiliki napas lebih untuk bisa bertahan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan, sambil berharap menunggu pandemi mereda.
"Jadi boro-boro ngomong THR. Ngomong gaji besok aja (sulit). Apalagi industri kecil, ya udah hand up (angkat tangan), jadi jangan bayangin semua gitu. Kalo industri besar nggak usah diomongin lah, mereka udah punya kekuatan sendiri. Yang harus kita pikirkan yang 97% pekerja di UMKM," sebutnya.
Berdasarkan data dari Kantor Kementerian Koperasi pada tahun 2018, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 120.598.138 orang atau 97%. Sedang yang diserap usaha besar adalah 3.619.507 orang atau 3% saja.
Adapun di Indonesia ada sebanyak 64.199.606 unit usaha, terdiri dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 64.194.057 unit dan Usaha Besar (UB) 5.550 unit.
(hoi/hoi) Next Article Surat Edaran THR Biasanya Copy Paste, Kok Buruh Resah?
Most Popular