Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya 2,3% akibat krisis corona, drop dari target semula sebesar 5,3%. Sejauh mana PSBB di berbagai daerah tersebut menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga berujung pada revisi tersebut? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.
Jika diperhatikan, kebijakan PSBB yang berlaku meliputi seluruh provinsi (sehingga membatasi kegiatan bisnis di dalam provinsi tersebut) hanya ada di dua provinsi, yakni Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan Sumatera Barat (Sumbar). Sisanya adalah kabupaten dan kotamadya.
Untuk mengetahui seberapa besar PSBB di 23 wilayah administratif tersebut mempengaruhi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, kita perlu melihat terlebih dahulu kontribusi mereka dalam pembentukan PDB nasional.
Mengacu pada data CEIC, terlihat bahwa ke-23 wilayah yang memberlakukan PSBB tersebut menyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) senilai total Rp 5.574,26 triliun pada 2018, atau setara dengan 37,2% dari PDB Indonesia yang nilainya sebesar Rp 14.985,96 triliun.
 Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia |
Provinsi DKI Jakarta memiliki kontribusi PDRB terbesar di antara wilayah yang memberlakukan PSBB, diikuti Kota Surabaya, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bandung. Meski berstatus provinsi, Sumbar berada di posisi kelima dengan nilai PDRB yang lebih kecil dari kota dan kabupaten itu.
Ketika PSBB berlaku, aktivitas bisnis baik pabrik maupun perkantoran di daerah tersebut pun tersendat. Namun, harap diperhatikan, efeknya tidak terisolir di wilayah itu saja melainkan menulari perekonomian di kawasan penyangga.
Artinya, ketika aktivitas bisnis DKI Jakarta terhenti, proses entitas usaha di berbagai daerah yang terlibat dalam rantai pasokan (supply chain) untuk bisnis di Jakarta pun setop. Demikian halnya dengan di Bandung, Gresik, Tarakan, Banjarmasin, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tak bisa disimpulkan bahwa hanya 37,2% perekonomian nasional yang terdampak oleh PSBB. Efeknya lebih luas dari itu, karena mayoritas wilayah administratif yang memberlakukan PSBB merupakan wilayah satelit seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Tangerang, Makassar.
Sejauh ini belum ada alat ukur untuk menghitung besaran efek PSBB terhadap PDB nasional, karena harus melihat durasi PSBB dan sektor apa saja di 23 daerah tersebut yang loyo. Namun secara kasar, efek itu bisa diraba dengan menggabungkan ke-23 wilayah itu bersama tetangganya, secara “collective collegial”, dalam pembentukan PDB nasional.
Sebagaimana disebutkan di atas, di antara 23 wilayah administratif yang memberlakukan PSBB, ada dua provinsi yakni DKI Jakarta dan Sumbar. Sementara itu, 21 wilayah sisanya beroperasi di bawah delapan provinsi, yakni Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Nah, secara akumulasi nilai PDB kedelapan provinsi tersebut (termasuk DKI dan Sumatera Barat) menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru (per 2018) adalah Rp 10.340,93 triliun, atau 69% dari PDB nasional.
Sebesar itulah kira-kira PDB nasional bakal terganggu, jika skenario terburuk benar-benar terjadi. Sebaliknya, jika skenario terbaik terjadi yakni efek PSBB hanya memukul 23 wilayah administratif yang memberlakukannya saja, maka efeknya hanya 37,2% terhadap PDB nasional.
Dengan skenario moderat, maka rerata keduanya adalah 53,1%. Kira-kira sebesar itulah dampak PSBB di 23 wilayah administratif tersebut terhadap perekonomian nasional, yakni separuh PDB nasional.
Mengutip laporan firma konsultasi Dcode EFC berjudul “Decoding the Economics of COVD-19”, lima sektor yang paling terinfeksi virus corona (strain baru) adalah sektor pariwisata-rekreasi, perjalanan, otomotif, konstruksi-properti, dan manufaktur. Lockdown mempersulit aktivitas perjalanan di tengah penutupan tempat wisata dan hiburan, seperti yang terjadi di Ibu Kota.
Sebaliknya, lima sektor yang mendapat berkah adalah pengobatan, ritel makanan, perawatan kesehatan, teknologi informasi, dan e-commerce. Artinya, makin besar usaha pengobatan di sebuah wilayah, makin besar juga loncatan aktivitas ekonominya di tengah pandemi ini. Pada gilirannya, ini bakal memicu kenaikan grafik pertumbuhan ekonomi di lapangan usaha tersebut.
 Sumber: Dcode EFC |
Jika kita bicara PDRB menurut lapangan usaha, pariwisata bukanlah penyumbang utama ekonomi di lima wilayah administratif terbesar yang menerapkan PSBB. Tingginya kontribusi sektor wisata dalam perekonomian terlihat dari besarnya komponen ‘akomodasi dan makanan-minuman’ dan ‘transportasi serta pergudangan’ dalam PDRB.
Sebagai contoh, Bali sebagai destinasi wisata utama RI mencatat kontribusi pos ‘akomodasi dan makanan-minuman’ hingga 23,3% dari PDRB, menurut data BPS per 2018. Sektor ‘transportasi dan pergudangan’ yang merekam jejak ekonomi dari aktivitas perjalanan menyumbang 9,5% PDRB Bali. Jika ditotal, porsi keduanya sudah lebih dari sepertiga dari ekonomi Pulau Dewata.
Di antara wilayah administratif yang menerapkan PSBB, mari kita ambil contoh DKI Jakarta sebagai daerah dengan PDRB terbesar. Di Ibu Kota, pariwisata bukanlah penyumbang utama perekonomian. Perdagangan grosir dan ritel menjadi penyumbang utama, disusul sektor konstruksi, manufaktur, dan jasa keuangan.
Namun, konstruksi dan manufaktur—yang menurut Dcode EFC masuk di lima besar sektor yang paling terpukul—menjadi kontributor terbesar di DKI Jakarta. Aktivitas perdagangan juga terhenti, terutama untuk yang skala besar seperti pusat perbelanjaan. Inilah yang menjadi biang penurunan PDRB DKI Jakarta, sebagai provinsi penyumbang utama PDB nasional.
Dari sisi pengeluaran, PSBB memicu perlambatan konsumsi masyarakat, karena pekerja di sektor formal yang masih berdaya beli tak bisa berbelanja secara leluasa, sementara pekerja di sektor informal kehilangan daya belinya karena tak bisa bekerja.
Sebagaimana kita ketahui, pengeluaran rumah tangga alias belanja masyarakat menyumbang 54% dari PDB nasional. Lagi-lagi, jika kita bicara efek PSBB di 23 wilayah administratif tersebut maka efek penularannya tetap ada hingga ke wilayah sekitar. Ketika bisnis dan konsumsi masyarakat di wilayah satelit sepi, maka wilayah penyangga pun juga terdampak.
Dus, wilayah penyumbang dua-pertiga PDB nasional mengalami perlambatan ekonomi. Sebesar apa laju perlambatan itu? Sejauh ini pemerintah memperkirakan efeknya bakal memangkas pertumbuhan PDB nasional hingga separuh lebih, dari 5,3% menjadi 2,3%. Sangat masuk akal.
TIM RISET CNBC INDONESIA