Dilema Lockdown: Buka, Tutup, Buka, Tutup, Pusing!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 April 2020 14:11
Wabah Virus Corona di New York (AP/Matt Rourke)
Foto: Wabah Virus Corona di New York (AP/Matt Rourke)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona membuat pemerintah di berbagai negara pusing bukan main. Di satu sisi, pemerintah wajib melindungi keselamatan dan nyawa warga negara. Namun di sisi lain, pemerintah juga harus membuat roda ekonomi bergulir.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia mencapai 2.719.897 orang per 25 April 2020. Bertambah 93.716 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sementara jumlah pasien meninggal dunia tercatat 187.705 orang. Bertambah 5.767 orang.

 


Penyebaran virus yang begitu cepat membuat pemerintah bertindak cepat dengan memberlakukan pembatasan sosial (social distancing) bahkan karantina wilayah (lockdown). Maklum, virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menyebar seiring dengan intensitas kontak dan interaksi antar-manusia.

"Kita harus melanjutkan bahkan melipatgandakan upaya mitigasi berupa pemisahan sosial untuk membuat laju penyebaran virus semakin melambat," tegas Anthonu Fauci, Direktur US National Institute of Allergy and Infectious Diseases, seperti dikutip dari Reuters.

Social distancing, apalagi lockdown, berwujud dalam pelarangan warga untuk berkumpul. Jangankan berkumpul, jarak manusia dengan manusia lainnya saja minimal 1,5-2 meter.

Oleh karena itu, segala aktivitas yang bisa menyebabkan kerumunan manusia tidak diizinkan. Akibatnya, pabrik dan kantor ditutup, sekolah diliburkan, rumah ibadah tidak boleh menerima jamaah, restoran tidak melayani makan-minum di tempat, tempat wisata ditutup, dan sebagainya. Pokoknya #dirumahaja, jangan keluar kecuali untuk urusan genting.


Di satu sisi, social distancing dan lockdown bertujuan mulia yaitu menyelamatkan hidup dan kehidupan. Namun di sisi lain, kebijakan ini membuat roda ekonomi tidak berputar.

Berbagai lembaga memperkirakan ekonomi dunia akan terperosok ke jurang resesi tahun ini. Bahkan sepertinya akan menjadi resesi yang lebih parah ketimbang krisis keuangan global 2008-2009, terparah sejak Depresi Besar pada 1930-an.


"Baru tiga bulan lalu kami memperkirakan ada pertumbuhan ekonomi di 160 negara anggota. Hari ini, angkanya berbalik. Sekarang kami memperkirakan akan ada pertumbuhan negatif," kata Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), seperti diberitakan Reuters.

IMF memperkirakan ekonomi global akan terkontraksi (tumbuh negatif) -3% pada 2020. Jika terwujud, maka akan menjadi pencapaian terburuk sejak Depresi Besar.

 

Dampak ekonomi yang mengkerut sudah dirasakan oleh berbagai negara. Social distancing dan lockdown membuat dunia usaha tidak berdaya, karena penjualan berkurang drastis. Di sisi lain, argometer biaya terus bergerak.

Situasi ini memaksa dunia usaha melakukan efisiensi. Tsunami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi fenomena yang tidak terhindarkan.


Di Amerika Serikat (AS), klaim tunjangan pengangguran sejak pertengahan Maret sudah mencapai lebih dari 26 juta. Artinya, kini hampir satu dari enam warga AS menggantungkan hidup dari uluran tangan pemerintah karena menjadi korban PHK sehingga tidak bisa mencari nafkah sendiri.

Situasi serupa terjadi di Inggris. Pada Maret, jumlah klaim tunjangan pengangguran bertambah 12.100 dari bulan sebelumnya.

Di Spanyol, kondisinya tidak lebih baik. Sejak pertengahan Maret, sekitar 900.000 orang kehilangan pekerjaan. Sementara 620.000 orang lainnya dirumahkan (furlough).

"Data ini luar biasa, sama sekali tidak terduga. Ini mencerminkan bagaimana gangguan aktivitas masyarakat begitu nyata," kata Jose Luis Escriva, Menteri Kesejahteraan Sosial Spanyol, sebagaimana diwartakan Reuters.

Sedangkan di Italia, situasi pun memburuk. Awalnya, warga masih bisa menghibur diri dengan bernyanyi di balkon apartemen saat mereka tidak bisa pergi ke mana-mana. Lockdown menjadi sesuatu yang romantis, menghidupkan kembali jiwa-jiwa yang selama ini mati dibunuh oleh kesibukan rutinitas. 

Namun lambat laun tidak ada lagi suara nyanyian lagu Andra Tutto Bene (Semua Akan Baik-baik Saja) di balkon apartemen warga Italia. Romantisme lockdown berganti menjadi kekhawatiran, kira-kira besok bisa makan atau tidak ya...

"Sekarang orang-orang lebih takut kepada kemiskinan ketimbang dengan virus. Sudah banyak yang kehilangan pekerjaan dan kelaparan," tegas Salvatore Melluso, seorang romo di Caritas Diocesana di Naples, seperti dikutip dari Reuters.

"Gara-gara lockdown, restoran tempat saya bekerja ditutup. Saya punya istri dan dua anak. Sekarang kami hidup dari tabungan, tetapi saya tidak tahu bisa bertahan berapa lama. Saya sudah meminta bank untuk memberi keringanan penundaan cicilan, tetapi mereka bilang tidak. Situasi ini membuat kami bertekuk lutut," keluh Paride Ezzine, seorang pelayan restoran di Palermo, seperti diberitakan Reuters.



Dampak ekonomi dari pandemi virus corona sudah sangat besar, sehingga mau tidak mau harus diberi perhatian. Kini, pemerintah di berbagai negara dihadapkan kepada pilihan sulit yaitu membuka kembali keran aktivitas masyarakat.

Memang berisiko membuat penyebaran virus kembali meluas, tetapi ya bagaimana lagi. Tanpa aktivitas sosial, tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, risiko jatuhnya korban jiwa juga cukup tinggi.

Di AS, sejumlah negara bagian mulai mengendurkan social distancing. Gerogia, Oklahoma, dan beberapa negara bagian lainnya mulai mengizinkan bisnis untuk dibuka kembali akhir pekan ini.

"Kami sudah terpukul luar biasa. Saya harus menguras rekening di bank untuk bisa membuat lampu tetap menyala," kata Lester Cowell, pemilik sebuah salon di Atlanta (Georgia), yang bisnisnya sudah kembali buka setelah terpaksa tutup selama 33 hari, seperti dikutip dari Reuters.


Beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump sudah memberikan panduan bagi negara bagian yang ingin melonggarkan lockdown dan social distancing. Arahan dari Gedung Putih adalah bagi negara bagian yang mencatatkan jumlah kasus dengan tren menurun dalam waktu 14 hari, maka bisa melonggarkan social distancing dan lockdown melalui tiga tahapan.

Pertama, kerumunan orang sudah diperbolehkan asal tidak melebihi 10 orang. Di sini, orang-orang sudah diperbolehkan keluar rumah. Sekolah masih ditutup, tetapi bioskop, restoran, stadion, dan rumah ibadah sudah boleh dibuka.

Fase kedua adalah kerumunan orang boleh lebih banyak lagi, kini maksimal 50 orang. Di sini, sekolah dan bar/pub sudah bisa dibuka kembali.

Fase ketiga adalah kantor dan pabrik sudah bisa beroperasi tanpa batasan jumlah pekerja. Artinya, aktivitas masyarakat sudah kembali seperti sedia kala.

Well, penyebaran virus corona di Negeri Paman Sam memang dalam tren melambat. Per 24 April 2020, jumlah pasien positif corona di AS adalah 865.585 orang. Bertambah 4,48% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Meski masih bertambah, tetapi persentasenya jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata kenaikan harian sejak 22 Januari-24 April yang sebesar 17,67%. Persentase kenaikan kasus baru di AS sudah stabil di kisaran satu digit sejak 6 April 2020.



Pemerintah Spanyol juga berencana mengendurkan lockdown mulai pekan depan. Seperti di AS, penyebaran virus corona di Negeri Matador juga semakin menunjukkan perlambatan.

Per 24 April 2020, jumlah pasien positif corona di Spanyol adalah 213.024 orang. Naik 2,22% dibandingkan posisi sehari sebelumnya. Sejak 2 April, persentase pertumbuhan kasus baru di Spanyol terus berada di level satu digit.




"Kita sudah melalui fase tersulit, fase paling kritis dari pandemi ini. Arahan untuk transisi akan disusun oleh pemerintah berdasarkan sejumlah kriteria yang akan dibahas," kata Mara Jesus Montero, Juru Bicara Pemerintah Spanyol, seperti diberitakan Reuters.


Namun melonggarkan lockdown dan social distancing bukan tanpa risiko. Langkah ini bisa membuat virus corona kembali merajalela.

US Centers for Desease Control dan Prevention (CDC) memperingatkan bahwa pandemi virus corona di AS belum mencapai puncak. Negeri Adidaya berisiko mengalami fase penyebaran kedua (second outbreak) pada musim dingin atau jelang akhir tahun.

"Ada kemungkinan serangan virus pada musim dingin mendatang akan lebih sulit ditangani ketimbang sekarang. Pada saat yang sama, kita juga harus menghadapi penyakit flu musiman, kombinasi yang bisa semakin membebani sistem pelayanan kesehatan," tegas Robert Redfield dalam wawancara dengan Washington Post, seperti dikutip oleh Reuters.

Stephan Ludwig, Virolog di Universitas Muenster (Jerman), menilai pelonggaran social distancing dan lockdown masih terlalu berisiko jika diterapkan sekarang. Pasalnya, tanda perlambatan penyebaran virus masih sangat awal, ada kemungkinan perlambatan ini adalah alarm palsu (false alarm).

"Kita seperti sedang bermain api, kecil jadi kawan tetapi besar menjadi lawan. Hanya karena Anda sudah boleh pergi ke pertokoan bukan berarti tidak ada pembatasan dan bisa mengabaikan protokol kesehatan," tegas Ludwig, seperti dikutip dari Reuters.

Huft, repot memang. Di satu sisi, melindungi nyawa memang sangat layak menjadi prioritas, bahkan yang utama. Namun di sisi lain, upaya untuk melindungi nyawa tersebut bisa saja mengakibatkan hilangnya nyawa lainnya...



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular