SBY Pernah Beri Stimulus Fiskal, Apa Bedanya dengan Jokowi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 April 2020 09:07
rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Thomas White)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak ekonomi dari pandemi virus corona (Coronavirus Desease-2019/Covid-19) tidak main-main. Akibat virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei. Republik Rakyat China ini, ekonomi dunia terancam mengalami resesi.

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan edisi April 2020 memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif -3% pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibikin pada Januari.

"Seiring kebijakan penanggulangan virus, berbagai negara memberlakukan karantina dan social distancing. Dunia memasuki fase Lockdown Besar (Great Lockdown). Magnitudo dan kejatuhan aktivitas bisnis mengikutinya, dan ini belum pernah dialami sepanjang hidup kita. Lockdown Besar adalah resesi terbesar setelah Depresi Besar, dan jauh lebih buruk ketimbang krisis keuangan global," sebut Gita Gopinath, Penasihat Ekonomi IMF.



Ya, pandemi virus corona hampir pasti akan membawa perekonomian dunia ke jurang resesi, sesuatu yang kali terakhir terjadi pada 2009. Sebelas tahun lalu, resesi disebabkan oleh krisis keuangan global akibat meletusnya gelembung investasi berbasis kredit perumahan bernama sub-prime mortgage.

Dihadapkan kepada tekanan ekonomi yang luar biasa, pemerintah tidak mungkin diam begitu saja. Kala mesin penggerak ekonomi dari konsumsi domestik (rumah tangga dan investasi) serta ekspor tidak bergerak, konsumsi pemerintah harus menjadi panglima.

Itulah mengapa frasa stimulus fiskal menjadi tenar kala terjadi krisis. Instrumen fiskal menjadi mesin utama penggerak ekonomi melalui tambahan belanja negara. Anggaran negara menjadi stimulan alias perangsang pertumbuhan ekonomi.

Indonesia pun menerapkan kebijakan ini. Pada 2008-2009 dan 2020, pemerintah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk menjaga kondisi sosial-ekonomi agar tidak hanyut dalam gelombang krisis.

Secara garis besar stimulus fiskal terbagi tiga yaitu belanja langsung, insentif, dan bantuan sosial. Belanja langsung adalah peningkatan alokasi belanja untuk bidang tertentu apakah itu infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Insentif berbentuk berbagai keringanan apakah itu tarif pajak, bea, pembayaran utang/kredit, dan sebagainya. Sementara bantuan sosial adalah dukungan langsung dari pemerintah kepada rakyat untuk bertahan hidup di tengah ganasnya krisis.

Mari kita tengok bagaimana stimulus fiskal pada 2009 dibandingkan dengan 2020. Ada beberapa hal yang sama, tetapi tentu ada yang berbeda mengikuti perkembangan zaman.

KLIK HALAMAN SELANJUTNYA >>


Kita lihat dulu stimulus 11 tahun yang lalu. Kala itu, total paket stimulus yang digulirkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bernilai Rp 73,3 triliun atau sekitar 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Berikut rincian stimulus kala itu:

Foto: Kementerian Keuangan

Realisasi penyerapan stimulus itu adalah Rp 60,6 triliun atau 82,7% dari pagu. Ada yang rendah, tidak sampai 5%, seperti Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Namun ada juga yang lumayan tinggi yaitu belanja langsung ke sektor infrastruktur yaitu Rp 10,6 triliun atau 86,9%.

"Insentif PPh pasal 21 diberikan untuk menjaga daya beli dan mencegah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Namun karena PHK tidak sebesar yang diperkirakan, maka kalau pun insentif PPh pasal 21 tidak terserap bukan persoalan yang serius," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan kala itu yang kebetulan juga Menteri Keuangan saat ini.

Selain stimulus belanja langsung dan insentif, pemerintah kala itu juga memberikan program bantuan sosial yang terbagi menjadi tiga klaster besar. Klaster pertama adalah menjaga daya beli, yang memuat program seperti Bantuan Langsung Tunai, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Keluarga Harapan, dan beras bersubsidi.

Klaster kedua adalah pemberdayaan masyarakat melalui program cash for work seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Sedangkan klaster terakhir adalah pengembangan usaha melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).

"Pemerintah telah menjalankan berbagai program pro-rakyat yang dirancang untuk berbagai tingkatan kemampuan masyarakat. Ada yang diibaratkan seperti 'ikan' seperti BLT, Jamkesmas, BOS, PKH, beras bersubsidi, dan sebagainya, yang diperuntukkan bagi keluarga miskin dan hampir miskin di seluruh wilayah nusantara."

"Ada yang berupa 'kail' seperti PNPM Mandiri yang memberdayakan masyarakat melalui pemberian dana sebesar maksimal Rp 3 miliar per kecamatan per tahun, yang penggunaannya ditentukan oleh masyarakatnya sendiri di tingkat desa."

"Saya telah melihat sendiri kemanfaatan PNPM Mandiri untuk membangun jalan dan irigasi desa, fasilitas air bersih, budidaya lele secara bersama, pengembangan kripik pisang oleh kelompok ibu-ibu di desa, dan sebagainya. Ada pula program pro-rakyat yang diibaratkan 'perahu', seperti KUR, yang menyediakan akses kredit tanpa agunan tambahan bagi masyarakat yang ingin berusaha. Dengan begitu, jika seorang pedagang bakso ingin memperoleh modal usaha, maka gerobak baksonya itulah yang menjadi agunan," papar SBY dalam Sidang Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 19 Agustus 2009.




Bagaimana dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Bagaimana stimulus fiskal pada era krisis Covid-19?

Garis besar stimulus fiskal 2020 tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Deseasei 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Sstabilitas Sistem Keuangan. Dalam Perppu inilah kemudian muncul anggaran stimulus fiskal yang bernilai Rp 405,1 triliun atau sekira 2,5% dari PDB.




Anggaran tersebut akan dipakai untuk berbagai kebutuhan sebagai berikut:

1. Bidang Kesehatan Rp 75 triliun, meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter.
2. Jaring pengaman sosial atau Rp 110 triliun, yang akan mencakup penambahan anggaran Kartu Sembako, Kartu Pra-Kerja, dan subsidi listrik.
3. Insentif perpajakan dan KUR Rp 70,1 triliun. Termasuk penurunan tarif PPh Badan menjadi 22% pada 2020 dan 2021, kemudian turun lagi menjadi 20% pada 2022.
4. Pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun.

Ada yang serupa dengan stimulus fiskal 2009. Misalnya PPh pasal 21 DTP, yang kembali diberikan pada 2020. Begitu pula dengan KUR, program yang masih bertahan hingga sekarang.

Tarif PPh juga sama-sama diturunkan pada era SBY dan Jokowi. Bedanya, Jokowi menurunkan pajak untuk perusahaan sedangkan SBY memilih menurunkan pajak yang dibayar rakyat.

Perbedaan juga terletak di belanja langsung. Pada 2009, belanja langsung berfokus di pembangunan infrastruktur untuk menciptakan lapangan kerja. Sementara tahun ini belanja dititikberatkan ke sektor kesehatan, karena pandemi Covid-19 memang adalah krisis kesehatan.

Kemudian di sisi bantuan sosial, ada program yang belum lahir pada 2009 seperti Kartu Sembako dan Kartu Pra-Kerja. Untuk listrik, juga ada sedikit perbedaan. Jokowi memilih untuk menggratiskan biaya listrik selama tiga bulan kepada 24 juta pelanggan listrik 450 VA, dan diskon 50% untuk 7 juta pelanggan 900 VA bersubsidi. Sementara SBY menerapkan diskon harga listrik untuk industri.

Lain ladang lain belalang. Situasi yang dihadapi pada 2009 sangat berbeda dengan 2020, sehingga dibutuhkan penyikapan fiskal yang berbeda pula. Bagi rakyat, yang paling penting adalah hasilnya...



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular