
SBY Pernah Beri Stimulus Fiskal, Apa Bedanya dengan Jokowi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 April 2020 09:07

Bagaimana dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Bagaimana stimulus fiskal pada era krisis Covid-19?
Garis besar stimulus fiskal 2020 tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Deseasei 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Sstabilitas Sistem Keuangan. Dalam Perppu inilah kemudian muncul anggaran stimulus fiskal yang bernilai Rp 405,1 triliun atau sekira 2,5% dari PDB.
Anggaran tersebut akan dipakai untuk berbagai kebutuhan sebagai berikut:
1. Bidang Kesehatan Rp 75 triliun, meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter.
2. Jaring pengaman sosial atau Rp 110 triliun, yang akan mencakup penambahan anggaran Kartu Sembako, Kartu Pra-Kerja, dan subsidi listrik.
3. Insentif perpajakan dan KUR Rp 70,1 triliun. Termasuk penurunan tarif PPh Badan menjadi 22% pada 2020 dan 2021, kemudian turun lagi menjadi 20% pada 2022.
4. Pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun.
Ada yang serupa dengan stimulus fiskal 2009. Misalnya PPh pasal 21 DTP, yang kembali diberikan pada 2020. Begitu pula dengan KUR, program yang masih bertahan hingga sekarang.
Tarif PPh juga sama-sama diturunkan pada era SBY dan Jokowi. Bedanya, Jokowi menurunkan pajak untuk perusahaan sedangkan SBY memilih menurunkan pajak yang dibayar rakyat.
Perbedaan juga terletak di belanja langsung. Pada 2009, belanja langsung berfokus di pembangunan infrastruktur untuk menciptakan lapangan kerja. Sementara tahun ini belanja dititikberatkan ke sektor kesehatan, karena pandemi Covid-19 memang adalah krisis kesehatan.
Kemudian di sisi bantuan sosial, ada program yang belum lahir pada 2009 seperti Kartu Sembako dan Kartu Pra-Kerja. Untuk listrik, juga ada sedikit perbedaan. Jokowi memilih untuk menggratiskan biaya listrik selama tiga bulan kepada 24 juta pelanggan listrik 450 VA, dan diskon 50% untuk 7 juta pelanggan 900 VA bersubsidi. Sementara SBY menerapkan diskon harga listrik untuk industri.
Lain ladang lain belalang. Situasi yang dihadapi pada 2009 sangat berbeda dengan 2020, sehingga dibutuhkan penyikapan fiskal yang berbeda pula. Bagi rakyat, yang paling penting adalah hasilnya...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Garis besar stimulus fiskal 2020 tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Deseasei 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Sstabilitas Sistem Keuangan. Dalam Perppu inilah kemudian muncul anggaran stimulus fiskal yang bernilai Rp 405,1 triliun atau sekira 2,5% dari PDB.
1. Bidang Kesehatan Rp 75 triliun, meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter.
2. Jaring pengaman sosial atau Rp 110 triliun, yang akan mencakup penambahan anggaran Kartu Sembako, Kartu Pra-Kerja, dan subsidi listrik.
3. Insentif perpajakan dan KUR Rp 70,1 triliun. Termasuk penurunan tarif PPh Badan menjadi 22% pada 2020 dan 2021, kemudian turun lagi menjadi 20% pada 2022.
4. Pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun.
Ada yang serupa dengan stimulus fiskal 2009. Misalnya PPh pasal 21 DTP, yang kembali diberikan pada 2020. Begitu pula dengan KUR, program yang masih bertahan hingga sekarang.
Tarif PPh juga sama-sama diturunkan pada era SBY dan Jokowi. Bedanya, Jokowi menurunkan pajak untuk perusahaan sedangkan SBY memilih menurunkan pajak yang dibayar rakyat.
Perbedaan juga terletak di belanja langsung. Pada 2009, belanja langsung berfokus di pembangunan infrastruktur untuk menciptakan lapangan kerja. Sementara tahun ini belanja dititikberatkan ke sektor kesehatan, karena pandemi Covid-19 memang adalah krisis kesehatan.
Kemudian di sisi bantuan sosial, ada program yang belum lahir pada 2009 seperti Kartu Sembako dan Kartu Pra-Kerja. Untuk listrik, juga ada sedikit perbedaan. Jokowi memilih untuk menggratiskan biaya listrik selama tiga bulan kepada 24 juta pelanggan listrik 450 VA, dan diskon 50% untuk 7 juta pelanggan 900 VA bersubsidi. Sementara SBY menerapkan diskon harga listrik untuk industri.
Lain ladang lain belalang. Situasi yang dihadapi pada 2009 sangat berbeda dengan 2020, sehingga dibutuhkan penyikapan fiskal yang berbeda pula. Bagi rakyat, yang paling penting adalah hasilnya...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular