
Corona di AS dan Eropa Rada Jinak, Kok di ASEAN Masih Banyak?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 April 2020 12:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Penyebaran virus corona (Coronavirus Desease-2019/Covid-19) di Eropa dan Amerika Serikat (AS) sedang dalam fase penurunan. Namun di Asia Tenggara, situasinya masih cukup mengkhawatirkan.
Per 21 April 2020, US Centers for Desease Control and Prevention mencatat jumlah pasien corona di Negeri Paman Sam adalah 776.093 orang. Bertambah 3,95% dibandingkan posisi sehari sebelumnya.
Sudah dua minggu persentase penambahan kasus corona di AS stabil di kisaran satu digit. Kurva sudah mulai mendatar, the curve is flattened.
Begitu pula dengan di Eropa. Per 21 April 2020, data Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan jumlah pasien positif corona di Bena Biru adalah 1.187.184 orang. Naik 3,32% dibandingkan sehari sebelumnya.
Lebih sangar ketimbang di AS, laju persentase penambahan kasus baru di Eropa sudah stabil di kisaran satu digit sejak akhir Maret. Bahkan ada kecenderungan terus menurun.
Perkembangan positif ini membuat pemerintah AS dan sejumlah negara Eropa mulai berpikir untuk melonggarkan pembatasan sosial (social distancing) dan karantina wilayah (lockdown). Di AS, enam negara bagian akan mulai membuka kembali keran aktivitas publik mulai pekan ini atau paling lambat pekan depan.
Sementara di Jerman, kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah sudah dimulai kembali. Para siswa tengah bersiap untuk menghadapi ujian akhir pada awal pekan depan.
"Saya yakin murid-murid sudah siap untuk ujian akhir. Semakin lama ketidakpastian berjalan, semakin sulit untuk menjaga motivasi mereka. Itu lah mengapa kami percaya menjadi sangat penting untuk tetap menggelar ujian." Tegas Antje Luekemann, Koordinator Guru di SMA Steglitz di Jerman, seperti diberitakan Reuters.
Sejumlah toko di Negeri Panser juga sudah dibuka kembali pekan ini. Namun Kanselir Jerman Angela Merkel mengingatkan masyarakat untuk tidak kalap dan menyerbu toko-toko tersebut sehingga membuat penyebaran virus corona kembali meningkat. Jika sampai ada tambahan kasus baru yang signifikan, Merkel mengancam bakal kembali memberlakukan social distancing yang ketat.
Namun hal sebaliknya terjadi di Asia Tenggara. Di kawasan tempat Indonesia bernaung ini penyebaran virus corona masih tinggi dengan tren meningkat.
Well, kondisi di AS dan Eropa memang berbeda dengan Indonesia dan para tetangganya. AS dan Eropa adalah negara-negara yang relatif lebih maju dengan kepadatan penduduk renggang.
AS memang salah satu negara dengan populasi terbanyak di dunia. Tetapi kepadatan penduduknya adalah 35,77 orang per kilometer persegi, berdasarkan data Bank Dunia pada 2018. Sementara kepadatan penduduk di Eropa (kecuali Rusia, Azerbaijan, dan Georgia) adalah 103 orang per kilometer persegi.
Di Indonesia, kepadatan penduduk adalah 147,75 orang per kilometer persegi. Total kepadatan penduduk di seluruh wilayah Asia Tenggara mencapai 154 orang per kilometer persegi.
Penduduk yang umpel-empelan di satu tempat yang padat membuat virus corona lebih mudah menyebar. Apalagi praktik social distancing di wilayah terpencil akan sangat sulit dipantau.
"Kekhawatiran saya adalah social distancing dan lockdown akan sulit diterapkan dan dimonitor di daerah-daerah perdesaan," kata Helena Varkkey, Pengajar di University o
f Malaya di Kuala Lumpur (Malaysia), seperti dikutip dari Reuters.
Belum lagi orang-orang di Asia Tenggara lebih berisiko secara kesehatan karena banyak penduduk yang berstatus sebagai perokok. Data WHO pada 2018 menyebutkan bahwa prevalensi merokok populasi laki-laki di Indonesia mencapai 59,9%. Sekitar 237 juta orang di Asia Tenggara adalah perokok, jumlah itu adalah 20% dari total perokok di seluruh dunia.
Studi yang diterbitkan New England Journal of Medicine pada Februari 2020 menyebutkan, dari 1.000 pasien positif corona, perokok berisiko 25% lebih tinggi untuk menggunakan alat bantu pernapasan, dirawat di ruang intensif, atau bahkan meninggal dunia. WHO sudah memperingatkan bahwa merokok bisa menyebabkan komplikasi serangan virus corona yang membuat seseorang lebih berisiko kehilangan nyawa.
"Hal terbaik yang bisa dilakukan produsen rokok untuk memerangi Covid-19 adalah berhenti memproduksi, memasarkan, dan menjual rokok. Sekarang adalah saat yang tepat untuk berhenti merokok," tegas Gan Quan, Direktur International Union Against Tubercolisis and Lung Disease, seperti dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, bukan tanpa alasan kalau ada yang menyebut Asia Tenggara bakal menjadi hot spot baru pandemi virus corona. Sebab, risiko di kawasan ini memang tinggi...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Per 21 April 2020, US Centers for Desease Control and Prevention mencatat jumlah pasien corona di Negeri Paman Sam adalah 776.093 orang. Bertambah 3,95% dibandingkan posisi sehari sebelumnya.
Sudah dua minggu persentase penambahan kasus corona di AS stabil di kisaran satu digit. Kurva sudah mulai mendatar, the curve is flattened.
Begitu pula dengan di Eropa. Per 21 April 2020, data Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan jumlah pasien positif corona di Bena Biru adalah 1.187.184 orang. Naik 3,32% dibandingkan sehari sebelumnya.
Lebih sangar ketimbang di AS, laju persentase penambahan kasus baru di Eropa sudah stabil di kisaran satu digit sejak akhir Maret. Bahkan ada kecenderungan terus menurun.
Perkembangan positif ini membuat pemerintah AS dan sejumlah negara Eropa mulai berpikir untuk melonggarkan pembatasan sosial (social distancing) dan karantina wilayah (lockdown). Di AS, enam negara bagian akan mulai membuka kembali keran aktivitas publik mulai pekan ini atau paling lambat pekan depan.
Sementara di Jerman, kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah sudah dimulai kembali. Para siswa tengah bersiap untuk menghadapi ujian akhir pada awal pekan depan.
"Saya yakin murid-murid sudah siap untuk ujian akhir. Semakin lama ketidakpastian berjalan, semakin sulit untuk menjaga motivasi mereka. Itu lah mengapa kami percaya menjadi sangat penting untuk tetap menggelar ujian." Tegas Antje Luekemann, Koordinator Guru di SMA Steglitz di Jerman, seperti diberitakan Reuters.
Sejumlah toko di Negeri Panser juga sudah dibuka kembali pekan ini. Namun Kanselir Jerman Angela Merkel mengingatkan masyarakat untuk tidak kalap dan menyerbu toko-toko tersebut sehingga membuat penyebaran virus corona kembali meningkat. Jika sampai ada tambahan kasus baru yang signifikan, Merkel mengancam bakal kembali memberlakukan social distancing yang ketat.
Namun hal sebaliknya terjadi di Asia Tenggara. Di kawasan tempat Indonesia bernaung ini penyebaran virus corona masih tinggi dengan tren meningkat.
Well, kondisi di AS dan Eropa memang berbeda dengan Indonesia dan para tetangganya. AS dan Eropa adalah negara-negara yang relatif lebih maju dengan kepadatan penduduk renggang.
AS memang salah satu negara dengan populasi terbanyak di dunia. Tetapi kepadatan penduduknya adalah 35,77 orang per kilometer persegi, berdasarkan data Bank Dunia pada 2018. Sementara kepadatan penduduk di Eropa (kecuali Rusia, Azerbaijan, dan Georgia) adalah 103 orang per kilometer persegi.
Di Indonesia, kepadatan penduduk adalah 147,75 orang per kilometer persegi. Total kepadatan penduduk di seluruh wilayah Asia Tenggara mencapai 154 orang per kilometer persegi.
Penduduk yang umpel-empelan di satu tempat yang padat membuat virus corona lebih mudah menyebar. Apalagi praktik social distancing di wilayah terpencil akan sangat sulit dipantau.
"Kekhawatiran saya adalah social distancing dan lockdown akan sulit diterapkan dan dimonitor di daerah-daerah perdesaan," kata Helena Varkkey, Pengajar di University o
f Malaya di Kuala Lumpur (Malaysia), seperti dikutip dari Reuters.
Belum lagi orang-orang di Asia Tenggara lebih berisiko secara kesehatan karena banyak penduduk yang berstatus sebagai perokok. Data WHO pada 2018 menyebutkan bahwa prevalensi merokok populasi laki-laki di Indonesia mencapai 59,9%. Sekitar 237 juta orang di Asia Tenggara adalah perokok, jumlah itu adalah 20% dari total perokok di seluruh dunia.
Studi yang diterbitkan New England Journal of Medicine pada Februari 2020 menyebutkan, dari 1.000 pasien positif corona, perokok berisiko 25% lebih tinggi untuk menggunakan alat bantu pernapasan, dirawat di ruang intensif, atau bahkan meninggal dunia. WHO sudah memperingatkan bahwa merokok bisa menyebabkan komplikasi serangan virus corona yang membuat seseorang lebih berisiko kehilangan nyawa.
"Hal terbaik yang bisa dilakukan produsen rokok untuk memerangi Covid-19 adalah berhenti memproduksi, memasarkan, dan menjual rokok. Sekarang adalah saat yang tepat untuk berhenti merokok," tegas Gan Quan, Direktur International Union Against Tubercolisis and Lung Disease, seperti dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, bukan tanpa alasan kalau ada yang menyebut Asia Tenggara bakal menjadi hot spot baru pandemi virus corona. Sebab, risiko di kawasan ini memang tinggi...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular