Harga Minyak Murah, Utang Pemerintah Makin Menggunung?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 April 2020 14:06
Ilustrasi Dollar Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Ketika harga minyak anjlok, dampaknya bakal ke mana-mana. Di Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun bakal merasakan getahnya.

Sebelum 2015, penurunan harga minyak berdampak positif bagi APBN karena akan menurunkan belanja subsidi BBM secara signifikan. Namun selepas itu, ada reformasi anggaran subsidi sehingga tidak lagi menjadi beban APBN.

 


Sekarang, harga minyak turun malah lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Belanja subsidi memang berkurang tetapi pendapatan dari migas semakin besar.

Pada 2018, Pajak Penghasilan (PPh) migas tercatat Rp 64,69 triliun atau naik 28,58% dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) migas adalah Rp 141,79 triliun, melonjak 73,25% ketimbang 2017.

Dalam APBN 2020, pemerintah mengasumsikan rata-rata harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dalam setahun di US$ 63/barel. ICP dekat dengan brent, sejauh ini harga rata-rata minyak jenis itu ada di US$ 48,2/barel. Ada selisih US$ 14,8/barel dari asumsi.

Analisis sensitivitas asumsi makro APBN 2020 menyebutkan, setiap penurunan ICP rata-rata US$ 1/barel setahun akan menurunkan pendapatan negara dalam kisaran Rp 3,6-4,2 triliun. Belanja negara juga berkurang, tetapi lebih sedikit dari penurunan pendapatan yaitu Rp 3,1-3,9 triliun. Jadi secara neto ada defisit Rp 0,3-0,5 triliun.

Mengasumsikan faktor lain tidak berubah (ceteris paribus), plus rata-rata harga minyak masih di US$ 48,2/barel sampai akhir tahun, maka penerimaan negara dalam APBN 2020 akan berkurang dalam kisaran Rp 53,28-62,16 triliun. Sedangkan penerimaan negara bertambah Rp 45,88-57,72 triliun. Secara neto, defisit APBN 2020 akan bertambah Rp 4,44-7,4 triliun.

Namun, defisit APBN bisa semakin dalam jika harga ICP ikut-ikutan ambles seperti yang dialami oleh light sweet. Meski peluangnya mungkin tipis, mari kita lihat hitungan bodoh-bodohan kalau rata-rata ICP sampai akhir tahun katakanlah (amit-amit) US$ 20/barel.

Jika rerata ICP ada di US$ 20/barel, maka selisihnya dengan asumsi makro di APBN 2020 adalah US$ 43/barel. Dengan begitu, maka penerimaan negara akan berkurang Rp 154,8-180,6 triliun. Kemudian belanja negara berkurang Rp 133,3-167,7 triliun sehingga defisit anggaran bertambah Rp 12,9-21,5 triliun.


APBN 2020 mengasumsikan Produk Domestik Bruto (PDB) adalah Rp 17.464,8 triliun. Kenaikan defisit Rp 4,44-7,4 triliun adalah 0,02-0,04% dari PDB. Jadi kalau defisit anggaran akan diperlebar menjadi 5,07% dari PDB, maka koreksi harga minyak berpotensi membuatnya menjadi 5,09-5,11% PDB.

Sementara kalau defisit anggaran bertambah 12,9-21,5 triliun, itu sama dengan 0,07-0,12% terhadap PDB. Jika penurunan harga minyak sampai membuat defisit bertambah ke kisaran ini, maka defisit APBN bakal menjadi 5,14-5,19% PDB.


Akhir pekan lalu, lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) menurunkan outlook Indonesia dari stabil menjadi negatif. Ini mencerminkan tekanan fiskal adalah risiko yang sangat nyata.

"Kami merevisi outlook menjadi negatif sebagai refleksi tekanan yang dialami Indonesia dari sisi eksternal, fiskal, dan utang karena dampak pandemi Covid-19. Penyikapan fiskal pemerintah Indonesia memang dapat membantu untuk stabilisasi ekonomi dan merespons kebutuhan di sektor kesehatan, akan tetapi juga menambah stok utang. Sementara posisi utang luar negeri Indonesia sudah terpengaruh akibat depresiasi nilai tukar rupiah sehingga risiko eksternal sepertinya masih akan tinggi dalam 1-2 tahun ke depan," sebut keterangan tertulis S&P.



TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular