
ICP Terjun Bebas, Kontraktor Migas RI Pangkas Anggaran
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
09 April 2020 14:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Anjloknya harga minyak membuat bisnis hulu menjadi tertekan. Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu (PEPC) Jamsaton Nababan mengatakan menyikapi anjloknya harga minyak skenario yang diambil yakni menurunkan anggaran biaya operasi (ABO) dan anggaran biaya investasi (ABI).
"ABO kita turunkan sampai 30% dari Rencana Anggaran Kerja Perusahaan (RKAP) 2020 dan ABI sekitar 14% dari original RKAP 2020," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis, (09/04/2020).
Hingga kini pihaknya masih terus melakukan diskusi terkait simulasi ini, dan diharapkan harga minyak bisa kembali naik. Skenario menurunkan ABO dan ABI dilakukan dengan asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 30 per barel.
Seperti diketahui, ICP bulan Maret terjun bebas 39,5% menjadi US$ 34,23 per barel. Atau anjlok US$ 22,38 per barel dibandingkan bulan sebelumnya US$ 56,61 per barel. Meski belum menyentuh US$ 30 per barel tapi skenario ini sudah digunakan.
"Sekarang pun sudah tetap kita lakukan pemotongan. Yang tadi US$ 30 per barrel itu hanya asumsi ICP dalam RKAP revisi nanti. Sudah ada perintah dari Dirut Pertamina (Persero) untuk melakukan pemotongan ABO 30% walaupun harga minyak di US$ 34 per barrel," paparnya.
Jamsaton memperkirakan produksi minyak berada di kisaran 93.000 - 96.000 BOPD. Meski demikian pihaknya berharap masih akan bisa mencapai 96.000 BOPD. "Belum (komunikasi dengan SKK Migas). Karena itu tadi, kita masih berharap masih tetap bisa bertahan di 96.000 dan yang kedua karena ini masih di review tim teknis," ungkapnya.
Sementara, Vice President Commercial and Business Development ConocoPhillips Taufik Ahmad mengatakan pihaknya masih membahas hal ini secara internal. Juga dengan partner-partner di Corridor Block dalam waktu dekat, baru kemudian akan dibahas bersama bersama dengan SKK Migas.
"Memang kedua hal tersebut (Covid-19 dan harga minyak anjlok) berdampak terhadap Work Program & Budget (WP&B). Berapa besarnya masih dihitung dan dibahas," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis, (09/04/2020).
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menyebut anjloknya ICP Maret bulan Maret berdampak pada kontraktor migas yang ramai-ramai merevisi target produksi.
"Di bawah ICP US$ 35, mulai banyak yang mereschedule program pengembangan," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin, (06/04/2020).
Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan dampak terhadap lifting dalam jangka pendek belum terasa, karena operasi masih bejalan seperti biasa. Namun, dalam dua sampai tiga bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa.
Mulai ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Kondisi ini dipastikan akan berdampak pada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting. "Harga minyak yang rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses," jelasnya.
Di jangka pendek, imbuhnya, akan berdampak ke anggaran untuk kegiatan lifting. Lalu jangka menengah dan panjang berdampak ke investasi lain seperti eksplorasi, enhanced oil recovery (EOR), maupun projek-projek baru.
"Berapa kuantitatifnya? Saya kira semua sedang berupaya menghitungnya, sambil terus memantau perkembangan yang terjadi. Kalau hanya harga minyak yang turun, lebih mudah memperkirakannya, tetapi ini juga bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga memang lebih kompleks," jelasnya.
(gus) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
"ABO kita turunkan sampai 30% dari Rencana Anggaran Kerja Perusahaan (RKAP) 2020 dan ABI sekitar 14% dari original RKAP 2020," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis, (09/04/2020).
Hingga kini pihaknya masih terus melakukan diskusi terkait simulasi ini, dan diharapkan harga minyak bisa kembali naik. Skenario menurunkan ABO dan ABI dilakukan dengan asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 30 per barel.
"Sekarang pun sudah tetap kita lakukan pemotongan. Yang tadi US$ 30 per barrel itu hanya asumsi ICP dalam RKAP revisi nanti. Sudah ada perintah dari Dirut Pertamina (Persero) untuk melakukan pemotongan ABO 30% walaupun harga minyak di US$ 34 per barrel," paparnya.
Jamsaton memperkirakan produksi minyak berada di kisaran 93.000 - 96.000 BOPD. Meski demikian pihaknya berharap masih akan bisa mencapai 96.000 BOPD. "Belum (komunikasi dengan SKK Migas). Karena itu tadi, kita masih berharap masih tetap bisa bertahan di 96.000 dan yang kedua karena ini masih di review tim teknis," ungkapnya.
Sementara, Vice President Commercial and Business Development ConocoPhillips Taufik Ahmad mengatakan pihaknya masih membahas hal ini secara internal. Juga dengan partner-partner di Corridor Block dalam waktu dekat, baru kemudian akan dibahas bersama bersama dengan SKK Migas.
"Memang kedua hal tersebut (Covid-19 dan harga minyak anjlok) berdampak terhadap Work Program & Budget (WP&B). Berapa besarnya masih dihitung dan dibahas," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis, (09/04/2020).
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menyebut anjloknya ICP Maret bulan Maret berdampak pada kontraktor migas yang ramai-ramai merevisi target produksi.
"Di bawah ICP US$ 35, mulai banyak yang mereschedule program pengembangan," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin, (06/04/2020).
Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan dampak terhadap lifting dalam jangka pendek belum terasa, karena operasi masih bejalan seperti biasa. Namun, dalam dua sampai tiga bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa.
Mulai ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Kondisi ini dipastikan akan berdampak pada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting. "Harga minyak yang rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses," jelasnya.
Di jangka pendek, imbuhnya, akan berdampak ke anggaran untuk kegiatan lifting. Lalu jangka menengah dan panjang berdampak ke investasi lain seperti eksplorasi, enhanced oil recovery (EOR), maupun projek-projek baru.
"Berapa kuantitatifnya? Saya kira semua sedang berupaya menghitungnya, sambil terus memantau perkembangan yang terjadi. Kalau hanya harga minyak yang turun, lebih mudah memperkirakannya, tetapi ini juga bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga memang lebih kompleks," jelasnya.
(gus) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular