
ICP RI Terjun Bebas, Lifting Minyak Pertamina Terancam Anjlok
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
03 April 2020 10:32

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina EP (PEP) memperkirakan anjloknya harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau ICP bakal berdampak ke target lifting.
Direktur Utama Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan PEP memproyeksi produksi minyak tahun ini sebesar 85.000 barel per hari (BOPD).
ICP bulan Maret terjun bebas 39,5% menjadi US$ 34,23 per barel dibandingkan bulan sebelumnya US$ 56,61 per barel. Menurut Nanang jika ICP sampai menyentuh US$ 30 per barel diperkirakan lifting akan turun 3-5%.
"Diperkirakan turun 3-5% dari target 85.000 BOPD," ungkapnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat, (03/04/2020). Artinya lifting minyak bisa turun sampai 5000 barel sehari.
Turunnya target lifting ini karena kondisi ICP yang bisa memaksa kontraktor migas yang masuk 3 besar produsen dalam negeri ini harus memangkas belanja modal sampai 50%.
Menurutnya dengan ICP US$ 30 per barel secara umum masih tetap bisa profit. Caranya dengan melakukan penyesuaian di beberapa program. "Seperti operating expenses (Opex) harus dipotong 10-20% dan capital expenditures (Capex) dipotong 20-30%," ungkapnya.
Jika ICP di bawah US$ 30 per barel, Nanang menyebut masih bisa profit dengan cara menggunakan format yang sama. Hanya saja potongan capex dan opex nya lebih besar. "Kalau di bawah US$ 30 capex dipotong 40-50% dan opex 20% masih bisa survive," jelasnya.
Sementara Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto mengatakan pada kondisi harga minyak rendah maka untuk mempertahankan keekonomian lapangan minyaknya, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang menggunakan Production Sharing Contract (PSC) Gross Split akan mendapatkan tambahan split sebesar (85-ICP) x 0.25 %.
"Sedangkan untuk KKKS yang masih menggunakan PSC Cost Recovery maka ini saat yang tepat untuk melakukan efisiensi cost recovey dalam segala bidang pengeluaran," ungkapnya, Jumat (03/04/2020).
Pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan jika ICP sampai ke US$ 20 per barel akan sangat berat. "US$ 30 masih jalan, tapi ada pemotongan wajar lah. Dampak ke lifting ada," ungkapnya Jumat, (3/04/2020).
Sebelumnya Pri mengatakan dampak terhadap lifting dalam jangka pendek belum terasa, karena operasi masih bejalan seperti biasa. Namun, dalam dua sampai tiga bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa.
Mulai ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Kondisi ini dipastikan akan berdampak pada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting. "Harga minyak yang rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses," jelasnya.
(gus/gus) Next Article ICP Terjun Bebas, Lifting Minyak RI Mustahil Capai Target
Direktur Utama Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan PEP memproyeksi produksi minyak tahun ini sebesar 85.000 barel per hari (BOPD).
ICP bulan Maret terjun bebas 39,5% menjadi US$ 34,23 per barel dibandingkan bulan sebelumnya US$ 56,61 per barel. Menurut Nanang jika ICP sampai menyentuh US$ 30 per barel diperkirakan lifting akan turun 3-5%.
Turunnya target lifting ini karena kondisi ICP yang bisa memaksa kontraktor migas yang masuk 3 besar produsen dalam negeri ini harus memangkas belanja modal sampai 50%.
Menurutnya dengan ICP US$ 30 per barel secara umum masih tetap bisa profit. Caranya dengan melakukan penyesuaian di beberapa program. "Seperti operating expenses (Opex) harus dipotong 10-20% dan capital expenditures (Capex) dipotong 20-30%," ungkapnya.
Jika ICP di bawah US$ 30 per barel, Nanang menyebut masih bisa profit dengan cara menggunakan format yang sama. Hanya saja potongan capex dan opex nya lebih besar. "Kalau di bawah US$ 30 capex dipotong 40-50% dan opex 20% masih bisa survive," jelasnya.
Sementara Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto mengatakan pada kondisi harga minyak rendah maka untuk mempertahankan keekonomian lapangan minyaknya, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang menggunakan Production Sharing Contract (PSC) Gross Split akan mendapatkan tambahan split sebesar (85-ICP) x 0.25 %.
"Sedangkan untuk KKKS yang masih menggunakan PSC Cost Recovery maka ini saat yang tepat untuk melakukan efisiensi cost recovey dalam segala bidang pengeluaran," ungkapnya, Jumat (03/04/2020).
Pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan jika ICP sampai ke US$ 20 per barel akan sangat berat. "US$ 30 masih jalan, tapi ada pemotongan wajar lah. Dampak ke lifting ada," ungkapnya Jumat, (3/04/2020).
Sebelumnya Pri mengatakan dampak terhadap lifting dalam jangka pendek belum terasa, karena operasi masih bejalan seperti biasa. Namun, dalam dua sampai tiga bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa.
Mulai ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Kondisi ini dipastikan akan berdampak pada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting. "Harga minyak yang rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses," jelasnya.
(gus/gus) Next Article ICP Terjun Bebas, Lifting Minyak RI Mustahil Capai Target
Most Popular