Pertama dalam Sejarah, RI Tempuh Kebijakan 'Helikopter Uang'

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
02 April 2020 06:46
Pertama dalam Sejarah, RI Tempuh Kebijakan 'Helikopter Uang'
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Kita pasti pernah melihat adegan atau terlibat dalam situasi darurat, di mana para korban menunggu untuk dievakuasi atau mendapatkan bantuan. Lalu, datanglah helikopter penyelamat, yang membawa pertolongan dan harapan.

Di tengah wabah pandemi COVID-19, para pelaku usaha dan industri tahun ini bakal melihat helikopter demikian dari pemerintah, yang bakal melemparkan bergepok-gepok uang untuk disalurkan ke mereka guna memastikan semuanya bisa bertahan hingga situasi yang terburuk usai.

 

Tepat sehari setelah mengumumkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk mengatasi wabah corona, pemerintah bergerak cepat dengan mengeluarkan-atau tepatnya menganulir-beberapa kebijakan guna memuluskan rencana-tindak menjaga ekonomi tetap bergulir.

Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 resmi diteken. Namanya sangat panjang untuk produk setingkat UU, yakni "Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- L9) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan."

Perppu inilah yang menjadi landasan kebijakan helikopter uang di Indonesia. Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, ini menjadi yang pertama diterapkan dalam sejarah Republik Indonesia, karena untuk pertama kali juga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bakal melewati angka 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), menganulir ketentuan UU tentang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003.

 



Istilah 'helikopter uang' diperkenalkan oleh ekonom Milton Friedman pada tahun 1969 untuk menyebut pelonggaran moneter yang tak biasa. Kebijakan ini diambil dalam situasi tak wajar, yakni ketika terjadi kekeringan likuiditas sementara perekonomian stagnan karena hal tak terduga.

Kebijakan ini sudah banyak diterapkan oleh negara maju. Hanya saja, mereka memakai bahasa yang lebih keren, yakni pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE). 
Tidak ada helikopter betulan di sini, hanya saja otoritas moneter bertindak seperti itu: membawa dana segar untuk memborong surat berharga milik pemerintah maupun swasta. Tak hanya di pasar sekunder (lewat transaksi pasar), melainkan juga di pasar primer (membeli langsung dari pihak penerbit).

Dus, investor dan pelaku usaha pun mendapatkan bergepok-gepok uang yang dapat mereka gunakan untuk membiayai kebutuhan operasional mereka atau untuk melanjutkan ekspansi, yang pada gilirannya membuka lapangan kerja dan memutar perekonomian.

Dalam konteks saat ini, BI akan membawa helikopter uang ke Kementerian Keuangan yang kemudian duitnya disalurkan ke sektor riil. Maklum saja, dengan defisit di atas 3%--menggeser rekor defisit tertinggi tahun 2015 (sebesar 2,59%), penerbitan surat utang bakal menjadi jalan satu-satunya yang termudah.

Suar permintaan pertolongan pun dinyalakan dan BI diminta turun tangan.

Dalam beberapa kesempatan, Bank Indonesia (BI) menampik sedang melakukan kebijakan QE ketika mengintervensi pasar dengan memborong Surat Utang Negara (SUN). Mereka berdalih bahwa target utama adalah stabilitas rupiah. Jika harga SUN ambruk, rupiah dikhawatirkan tertekan.

Memang, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 melarang BI bertindak seperti bank sentral Amerika Serikat (AS) yang membeli surat berharga pemerintah dan bahkan swasta di pasar primer, atau memberikan pinjaman langsung. Pertimbangan di balik larangan itu adalah mencegah moral hazard dan distorsi pasar.

Namun, Perppu terbaru ini memberi jalan lapang bagi BI untuk mulai menerbangkan helikopter uang. Ketika ekonomi mengkeret akibat infeksi COVID-19, pemerintah pun kesulitan menggali pendanaan dari investor swasta. Lihat saja indeks manufaktur kita yang terkontraksi hebat, menunjukkan bahwa swasta sedang berjuang menjaga roda bisnis tetap berputar.

Di sinilah peran BI diperlukan, membawa helikopter dan menjatuhkan bergepok uang. Caranya, dalam Perppu tersebut, BI akan membeli surat utang darurat milik pemerintah, yakni Pandemic Bond. Tak berhenti sampai di situ, BI pun bakal memfasilitasi dua pinjaman baru untuk bank: Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Pinjaman Likuiditas Khusus.

Namun, harus dicatat bahwa kebijakan helikopter uang ini juga memiliki risiko yang cukup laten. Pada prinsipnya, BI bakal mengedarkan lebih banyak uang ke masyarakat dan pelaku usaha (melalui Kementerian Keuangan). Ini adalah upaya untuk memperbaiki sisi permintaan (demand side) dalam perekonomian.

Jika kenaikan sisi permintaan ini tak diimbangi dengan kenaikan dari sisi suplai, maka bakal muncul risiko inflasi, yang berujung pada tergerusnya nilai tukar mata uang tersebut. Untung saja, Perppu juga mengatur stimulus berupa keringanan pajak yang diberikan kepada pelaku usaha (yang berdiri di supply side).

Risiko lain adalah munculnya nuansa moral hazard yang membuat uang kaget itu tidak terdistribusikan sesuai dengan tujuannya yakni menstimulasi dunia usaha. Dus, fungsi stimulasinya terhadap perekonomian pun menurun.

Apalagi, Perppu memberikan kekebalan hukum bagi BI dkk agar tak dipidana ketika menjalankan Perppu ini. Sebaliknya, pelaku usaha atau individu yang melawan atau menghambat pelaksanaan Perppu ini bisa dipidana dengan denda dan kurungan.

Kita harus belajar dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), di mana pinjaman senilai Rp 144 triliun ke perbankan tak berujung sesuai harapan. Alih-alih bank sehat kembali, dana itu dikemplang atau dibayar dengan aset busuk. Akhirnya, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga yang kebagian beban untuk merestrukturisasinya.

Oleh karena itu, kita harus mengawal kebijakan yang pertama diberlakukan di Indonesia ini, agar benar-benar menjadi resep mujarab untuk mengobati ekonomi Indonesia dari infeksi COVID-19. Bukan menjadi ajang pesta para pemburu rente yang mengambil kesempatan memperkaya diri di tengah situasi pandemi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags) Next Article Jokowi Segera Minta Restu DPR Sebar Stimulus Rp 405,1 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular