Newsletter

Jika 'Helikopter Uang' Masih Belum Cukup, Apa yang Kurang?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
02 April 2020 06:19
Jika 'Helikopter Uang' Masih Belum Cukup, Apa yang Kurang?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terkapar pada perdagangan kemarin, Rabu (31/3/2020). Stimulus berbentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) tak cukup mujarab untuk menyelamatkan IHSG dari kekhawatiran global seputar wabah COVID-19.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menguat nyaris 2% pada sesi pertama kemarin, menyambut stimulus Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk pelaku usaha, yang melibatkan Bank Indonesia (BI) untuk secara aktif menyuntik likuiditas ke pasar dan sistem keuangan.



Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah hal positif, mengingat spektrum efek stimuli-nya yang luas mulai dari pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan menjadi 22% dan turun lagi ke 20% pada 2022 hingga kewenangan baru bagi Bank Indonesia (BI) untuk memberi pinjaman langsung ke bankir dan membeli obligasi pemerintah di pasar primer.

Namun pada sesi II, IHSG balik arah ke zona merah mengikuti nada pesimisme bursa global mengenai efek lebih panjang virus corona strain baru tersebut terhadap perekonomian dunia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri bersiap dengan skenario terberat bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.

Tidak heran, investor asing kemarin melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 166,24 miliar di pasar reguler dan non-reguler, berdasarkan data RTI. Hal ini sejalan dengan tren yang sudah terbaca sepanjang bulan lalu.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat memberikan update tentang kondisi perekonomian Selasa siang mengatakan bahwa outflow atau aliran dana asing keluar dari pasar Indonesia sepanjang tahun ini telah mencapai Rp 145,1 triliun. "Terdiri dari outflow Rp 131,1 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 9,9 triliun di pasar saham."



Sepanjang tahun berjalan, obligasi pemerintah Indonesia memang ditinggalkan investor global. Kepemilikan asing per 30 Maret tersisa Rp 930,71 triliun, dibandingkan dengan posisi awal tahun Rp 1.063,29 triliun.

Kemarin, obligasi pemerintah tenor 10 tahun, yang jadi acuan harga di pasar, kemarin mengalami kenaikan imbal hasil (yield) sebesar 4,3 basis poin menjadi 7,907%. Di pasar obligasi, kenaikan imbal hasil terjadi bersamaan dengan penurunan harga karena aksi jual para pemodal.

Di tengah situasi demikian, nilai tukar rupiah pun melemah, hingga 0,86%, di Rp 16.434/US$ pada penutupan pasar spot, melansir data Refinitiv. Rupiah berada di posisi kedua terburuk, dibandingkan dengan mata uang utama di benua Asia, setelah won Korea Selatan yang anjlok 1,1%.

[Gambas:Video CNBC]




Bursa saham Amerika Serikat (AS) mengawali periode perdagangan kuartal kedua dengan anjlok pada Rabu (2/4/20202) karena diterpa kecemasan bahwa virus COVID-19 akan memicu penghentian aktivitas ekonomi lebih lama dari perkiraan.

Dow Jones Industrial Average kehilangan 973,65 poin, atau 4,4%, menjadi 20.943,51. Indeks S&P 500 ambrol 4,4% ke 2.470,5. Koreksi terbesar terjadi di menit-menit terakhir dengan tekanan jual mencapai 1.100 poin pada sekian menit tersebut.

Saham penyeret koreksi Dow Jones antara lain Boeing, American Express dan Dow Inc yang anjlok lebih dari 7,5%. Untuk indeks S&P 500, penyeret koreksi adalah indeks sektor real estate, investasi, utilitas, energi dan finansial yang masing-masing terkoreksi setidaknya 5%.

Pasar merespons pernyataan Presiden AS Donald Trump pada Selasa malam yang bilang bahwa AS akan menghadapi “dua pekan yang sangat-sangat pedih” akibat virus corona strain baru. Gedung Putih memperkirakan korban jiwa akan berkisar antara 100.000 dan 240.000 orang.

“Ini bisa menjadi neraka selama dua pekan. Bisa jadi dua pekan, dan mungkin bisa tiga pekan. Ini akan menjadi tiga pekan yang tak pernah kita saksikan sebelumnya,” ujar Trump di Gedung putih sebagaimana dikutip CNBC International.

Menurut data Johns Hopkins University, lebih dari 900.000 kasus COVID-19 telah terkonfirmasi di dunia, dengan 200.000 di antaranya di AS dan 83.000 sendiri di New York. Gubernur New York Andrew Cuomo pada Rabu mengatakan akan menutup semua taman bermain, setelah simulasi menunjukkan bahwa puncak angka kematian tertinggi bakal terjadi pada Juli.

Pelaku pasar juga merespons negatif rilis slip gaji bulanan versi ADP dan Moody’s Analytics yang menunjukkan bahwa perusahaan AS memangkas 27.000 karyawan dalam bulan Maret saja. Data riil lebih besar dari itu, seperti terlihat di rilis klaim tunjangan penganggur per 20 Maret.

Mereka juga cemas melihat rilis indeks PMI manufaktur AS per Maret, versi ISM, yang berada di angka 49,1 pada Maret, dari 50,1 sebulan sebelumnya. Angka di bawah 50 mengindikaskan kontraksi sektor manufaktur di tenga wabah COVID-19.

“Aliran berita yang kita dapatkan lumayan estrim,” tutur Megan Horneman, Direktur Verdence Capital Advisors, sebagaimana dikutip CNBC International. “Anda kombinasikan itu dengan fakta bahwa data yang keluar memang buruk... banyak yang harus dihadapi investor untuk saat ini.”

Namun demikian, dia menilai pasar akan menemukan titik dasar koreksinya, nanti setelah paket stimulus fiskal memberikan dampak ke perekonomian. “Melihat titik dasarnya bukanlah hal yang tak mungkin.” Pasar modal bergerak dengan dua energi yang saling tarik-menarik dalam siklus abadi, antara kecemasan (fear) dan keserakahan (greedy). Kecemasan yang berlebihan bakal memicu aksi jual besar-besaran sehingga berujung koreksi indeks acuan bursa, sedangkan keserakahan memicu aksi borong saham.

Oleh karena itu, karakter dasar investor pasar modal memang bisa dibilang penakut, yang ingin meraih untung besar. Hal ini bisa dipahami karena investasi mereka melibatkan dana ratusan juta hingga miliar rupiah per hari. Tak ada yang mengganti kerugian mereka saat loss.

Nuansa kecemasan masih terlihat pada perdagangan kemarin ketika IHSG balik arah ke zona merah, menafikan stimulus berbentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang telah diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Padahal, aturan baru yang dirilis kemarin memungkinkan BI menjalankan kebijakan 'helikopter uang', sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Ekonomi AS Milton Friedman pada tahun 1969 untuk menyebut peran otoritas moneter mencetak lebih banyak uang dan membagikan ke pasar demi memacu sektor riil yang mengalami stagnasi akibat faktor tak biasa.

Lalu apa yang membuat mereka begitu cemas bahwa COVID-19 bakal terus memburuk dan menekan perekonomian Indonesia begitu parah, meskipun pemerintah kini masuk di era baru kebijakan "cetak uang tanpa batas" demi menyuntik likuiditas ke pasar dan menyelamatkan perekonomian?

Penyebaran virus COVID-19 masih menjadi jawabannya. Setelah melalu "masa inkubasi" pada Februari di mana virus belum menunjukkan gejala di negeri ini, periode Maret menjadi momen awal di mana ekonomi Indonesia resmi terkonfirmasi mengidap virus asal Wuhan tersebut.

Gejala COVID-19 sudah terlihat, yakni kontraksi manufaktur Indonesia, terlihat dari Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) versi IHS Markit per Maret yang berada di angka 45,3 atau turun dari bulan sebelumnya di 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut. Dengan demikian, jelas sudah bahwa virus ini telah menekan ekonomi Indonesia. 

Stimulus memang membantu meredam efek negatif bencana biologis tersebut. Namun, tanpa ada kejelasan mengenai kapan virus ini berhasil dihentikan penyebarannya, maka ketakpastian pun menggelayuti benak pemodal. Dan bagi mereka yang mudah cemas ini, kecemasan adalah musuh terbesar.

Sampai dengan saat ini, jumlah penderita virus corona strain baru ini terus meningkat. Belum ada tanda-tanda berhenti penyebarannya. Pemerintah juga belum tegas memberlakukan pencegahan penyebaran seperti yang dilakukan di banyak negara berupa penghentian layanan transportasi umum di wilayah episentrum virus.

Di tengah situasi demikian, pendataan Kementerian Kesehatan pun kembali menjadi sorotan media asing. Sydney Morning Herald (SMH), misalnya, menyoroti penambahan jumlah positif kasus corona, yang angkanya sama persis dengan jumlah yang dites. 

Sebagaimana diketahui, tantangan terbesar dalam wabah kali ini adalah menghentikan penyebarannya (yang sangat luas, masif, dan sulit dideteksi), dan bukan pada penyembuhannya. Pasar perlu melihat kebijakan yang memberi kepastian mengenai hal ini.

Percuma membangun 1.000 rumah sakit sekalipun, jika penyebaran tak terkontrol dan memicu infeksi terhadap jutaan orang. Pada akhirnya, kegagalan mengatasi penyebaran inilah yang bakal memukul perekonomian lebih besar karena restriksi sosial yang bakal lebih lama diberlakukan dan menekan aktivitas ekonomi. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
  • Penjualan motor dan mobil Indonesia per Februari (tentatif)
  • Pembagian dividen PT Bank Danamon Tbk (tentatif)
  • RUPST PT Bank OCBC NISP Tbk (10:00 WIB)
  • Rilis neraca perdagangan AS per Februari (19:30 WIB)
  • Rilis klam asuransi penggangguran AS per 28 Maret (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Maret 2020 YoY)

2,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular