Pertama dalam Sejarah, RI Tempuh Kebijakan 'Helikopter Uang'

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
02 April 2020 06:46
Kewenangan BI Diperluas
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Dalam beberapa kesempatan, Bank Indonesia (BI) menampik sedang melakukan kebijakan QE ketika mengintervensi pasar dengan memborong Surat Utang Negara (SUN). Mereka berdalih bahwa target utama adalah stabilitas rupiah. Jika harga SUN ambruk, rupiah dikhawatirkan tertekan.

Memang, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 melarang BI bertindak seperti bank sentral Amerika Serikat (AS) yang membeli surat berharga pemerintah dan bahkan swasta di pasar primer, atau memberikan pinjaman langsung. Pertimbangan di balik larangan itu adalah mencegah moral hazard dan distorsi pasar.

Namun, Perppu terbaru ini memberi jalan lapang bagi BI untuk mulai menerbangkan helikopter uang. Ketika ekonomi mengkeret akibat infeksi COVID-19, pemerintah pun kesulitan menggali pendanaan dari investor swasta. Lihat saja indeks manufaktur kita yang terkontraksi hebat, menunjukkan bahwa swasta sedang berjuang menjaga roda bisnis tetap berputar.

Di sinilah peran BI diperlukan, membawa helikopter dan menjatuhkan bergepok uang. Caranya, dalam Perppu tersebut, BI akan membeli surat utang darurat milik pemerintah, yakni Pandemic Bond. Tak berhenti sampai di situ, BI pun bakal memfasilitasi dua pinjaman baru untuk bank: Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Pinjaman Likuiditas Khusus.

Namun, harus dicatat bahwa kebijakan helikopter uang ini juga memiliki risiko yang cukup laten. Pada prinsipnya, BI bakal mengedarkan lebih banyak uang ke masyarakat dan pelaku usaha (melalui Kementerian Keuangan). Ini adalah upaya untuk memperbaiki sisi permintaan (demand side) dalam perekonomian.

Jika kenaikan sisi permintaan ini tak diimbangi dengan kenaikan dari sisi suplai, maka bakal muncul risiko inflasi, yang berujung pada tergerusnya nilai tukar mata uang tersebut. Untung saja, Perppu juga mengatur stimulus berupa keringanan pajak yang diberikan kepada pelaku usaha (yang berdiri di supply side).

Risiko lain adalah munculnya nuansa moral hazard yang membuat uang kaget itu tidak terdistribusikan sesuai dengan tujuannya yakni menstimulasi dunia usaha. Dus, fungsi stimulasinya terhadap perekonomian pun menurun.

Apalagi, Perppu memberikan kekebalan hukum bagi BI dkk agar tak dipidana ketika menjalankan Perppu ini. Sebaliknya, pelaku usaha atau individu yang melawan atau menghambat pelaksanaan Perppu ini bisa dipidana dengan denda dan kurungan.

Kita harus belajar dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), di mana pinjaman senilai Rp 144 triliun ke perbankan tak berujung sesuai harapan. Alih-alih bank sehat kembali, dana itu dikemplang atau dibayar dengan aset busuk. Akhirnya, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga yang kebagian beban untuk merestrukturisasinya.

Oleh karena itu, kita harus mengawal kebijakan yang pertama diberlakukan di Indonesia ini, agar benar-benar menjadi resep mujarab untuk mengobati ekonomi Indonesia dari infeksi COVID-19. Bukan menjadi ajang pesta para pemburu rente yang mengambil kesempatan memperkaya diri di tengah situasi pandemi.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular