
Gegara Corona Defisit Anggaran Diperlebar, Duitnya dari Mana?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 March 2020 13:51

Pertama dari segi pembiayaan domestik, likuiditas terbatas pasar obligasi domestik serta tingginya biaya pinjaman menjadi tantangan tersendiri. Untuk surat utang pemerintah bertenor 5 tahun dan 10 tahun, imbal hasil (yield) sudah mencapai masing-masing 7,54% dan 8,32%.
Kedua dari opsi penerbitan surat utang global baik yang berdenominasi dolar AS, euro, maupun yen. Namun perlu diperhitungkan risiko kurs. Kala nilai tukar rupiah melemah, maka kewajiban yang dibayar dalam valas akan membengkak.
Pasalnya, mata uang Tanah Air maslh dalam tren melemah. Pada 27 Februari, untuk US$ 1 dibanderol dengan Rp 14.030, artinya rupiah sudah keluar dari zona penguatannya di tahun ini di kisaran Rp 13.000-an.
Setelah itu rupiah terus terdepresiasi di hadapan dolar AS. Pada 17 Maret 2020, rupiah sudah keluar dari level Rp 15.000/US$. Senin kemarin (23/3/2020), bahkan rupiah ditutup di level terendah sepanjang masa yakni di Rp 16.550/US$.
Belum lagi sekarang sudah akhir Maret. Mendekati bulan-bulan April-Juni yang merupakan periode pembagian dividen dan pembayaran utang luar negeri, rupiah bisa makin tertekan.
Kenaikan risiko investasi di Indonesia juga tercermin dari kenaikan nilai premi Credit Default Swap (CDS) untuk surat utang pemerintah bertenor 5 tahun dan 10 tahun.
Sejak penyebaran COVID-19 semakin meluas di tanah air dan rupiah terus terdepresiasi nilai premi CDS terus meroket hingga melebihi level 200 untuk tenor 5 tahun dan melampaui level 300 untuk tenor 10 tahun.
Tantangan pembiayaan ketiga yang dihadapi Indonesia adalah apakah pemerintah mampu mengakses pinjaman multilateral. Lagi pula Indonesia mungkin sudah tidak dapat memanfaatkan Deffered Drawdown Option (DDO) alias pinjaman siaga/standby loan.
(twg/twg)
Kedua dari opsi penerbitan surat utang global baik yang berdenominasi dolar AS, euro, maupun yen. Namun perlu diperhitungkan risiko kurs. Kala nilai tukar rupiah melemah, maka kewajiban yang dibayar dalam valas akan membengkak.
Pasalnya, mata uang Tanah Air maslh dalam tren melemah. Pada 27 Februari, untuk US$ 1 dibanderol dengan Rp 14.030, artinya rupiah sudah keluar dari zona penguatannya di tahun ini di kisaran Rp 13.000-an.
Belum lagi sekarang sudah akhir Maret. Mendekati bulan-bulan April-Juni yang merupakan periode pembagian dividen dan pembayaran utang luar negeri, rupiah bisa makin tertekan.
Kenaikan risiko investasi di Indonesia juga tercermin dari kenaikan nilai premi Credit Default Swap (CDS) untuk surat utang pemerintah bertenor 5 tahun dan 10 tahun.
Sejak penyebaran COVID-19 semakin meluas di tanah air dan rupiah terus terdepresiasi nilai premi CDS terus meroket hingga melebihi level 200 untuk tenor 5 tahun dan melampaui level 300 untuk tenor 10 tahun.
Tantangan pembiayaan ketiga yang dihadapi Indonesia adalah apakah pemerintah mampu mengakses pinjaman multilateral. Lagi pula Indonesia mungkin sudah tidak dapat memanfaatkan Deffered Drawdown Option (DDO) alias pinjaman siaga/standby loan.
(twg/twg)
Next Page
Alternatif Lain?
Pages
Most Popular