Saat Ini Jadi Seorang Sri Mulyani Itu Berat, Berat Sekali...!

Herdaru Purnomo & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 March 2020 12:42
Ancaman Kas Negara yang Terganggu Jiwasarya dan BPJS Kesehatan
Foto: Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani di acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2020 di The Ritz Carlton Ballroom, Pasific Place, Jakarta, Rabu 26/2/2020. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Dari dalam negeri, tantangan pun datang silih-berganti. Pada awal tahun ini, semestinya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan naik. Melalui gugatan sampai ke tingkat Mahkamah Agung (MA), kenaikan ini akhirnya dibatalkan.

Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan menimbulkan masalah baru. Defisit yang selama ini menghiasi laporan keuangan BJPS Kesehatan dipastikan bakal terjadi lagi. Tahun ini, defisit BJPS Kesehatan diperkirakan sebesar Rp 39,5 triliun, lebih dalam ketimbang tahun sebelumnya yaitu Rp 32,8 triliun.




Agar bisa terus memberikan layanan kesehatan universal, BPJS lagi-lagi butuh suntikan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kapasitas fiskal akan berkurang sehingga kemampuan untuk memberikan stimulus menjadi terbatas. Padahal dengan kebutuhan pemberian stimulus, semestinya ruang fiskal lebih luas.



BPJS masih mengundang pro-kontra, masalah baru datang dan ditengarai berdampak sistemik. Masalah itu adalah pengelolaan investasi di perusahaan asuransi milik negara, PT Jiwasraya.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 16,81 triliun. Jumlah itu terdiri dari investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana Rp 12,16 triliun.


Untuk menelusuri pihak-pihak yang terkait dengan mega skandal ini, Kejaksaan Agung memblokir 800 rekening efek. Penutupan ini membuat transaksi di pasar saham Indonesia menjadi sepi, kurang semarak. Ini menjadi bukti bagaimana kasus Jiwasraya berdampak sistemik.

Belum lagi ada kemungkinan APBN harus turun tangan. Saat ini sedang diupayakan untuk menjual aset seperti pusat perbelanjaan Cilandak Town Square. Namun jika berbagai upaya tidak cukup, maka APBN harus hadir.

“Nanti kami akan melihat proposal yang sifatnya mungkin sudah final pada saat saya melihat itu termasuk berbagai kemungkinan. Kalau nanti sampai akan ada intervensi ultimate shareholder yaitu dari Kementerian Keuangan dalam bentuk apapun, maka dia pasti masuk ke UU APBN,” kata Sri Mulyani dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2020 belum lama ini.

Baca: Sri Mulyani Buka-bukaan Skema Penyelamatan Jiwasraya

Lagi-lagi APBN harus menanggung beban tambahan. Ini membuat kemampuan APBN sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.



Oleh karena itu, mungkin sulit untuk mengandalkan APBN menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Tanpa tambahan kontribusi dari pemerintah, bisa-bisa kejadian seperti 2019 terulang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi kurang optimal.

Tugas Sri Mulyani adalah memastikan kesehatan APBN. Sri Mulyani berkewajiban dana yang dibutuhkan untuk belanja negara tersedia dan bisa disalurkan.

Namun sebagai instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi, itu ada di sisi belanja. Nah, belanja ini menjadi tugas Kementerian/Lembaga (K/L) lain. Jika Sri Mulyani sudah memastikan APBN aman dan sehat, tetapi jika tidak dieksekusi dengan optimal ya saja bohong.

Memang tugas Sri Mulyani amat berat. Oleh karena itu, koleganya sesama menteri dan pimpinan lembaga negara harus membantu meringankan. Caranya adalah merealisasikan anggaran secara tepat waktu, sasaran, dan jumlah.

"Uang kami kumpulkan dari rakyat terus, terus, dan terus-menerus agar masyarakat bisa mendapatkan dampak positif. Jadi bagaimana kita buat angka tersebut (penerimaan negara) bisa dikelola menjadi instrumen yang mendorong pertumbuhan dengan kualitas yang lebih baik," tegas Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

(dru/dru)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular