
Saat Ini Jadi Seorang Sri Mulyani Itu Berat, Berat Sekali...!
Herdaru Purnomo & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 March 2020 12:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara sedang genting. Ya.. Wabah Corona atau Covid-19 inilah penyebabnya.
Jika tidak genting, tidak akan ada kebijakan-kebijakan 'urgent' yang diambil. Sayangnya keadaan ini terjadi di saat Tanah Air ini tengah mengalami sebuah 'kanker'.
Indonesia tengah bertahan dari efek buruk perang dagang dalam beberapa tahun belakangan. Gempuran impor dan tarif yang tak wajar membuat defisit neraca perdagangan hingga transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tekor.
Ketergantungan terhadap impor minyak yang tinggi membuat Indonesia tak bisa leluasa bergerak. Ketergantungan dari China pun cukup tinggi dari segi barang modal.
Indonesia mengalami 'Twin Deficit'. Defisit di APBN dan defisit di Transaksi Berjalan membuat Indonesia harus berupaya menutupnya dari utang. Dolar demi dolar dibutuhkan menutup Twin Deficit tersebut hingga membuat nilai rupiah tak bisa stabil sepenuhnya.
Pertumbuhan ekonomi pun stagnan di 5%. Bahkan terjadi juga di bawah 5% pada Q4-2019 kemarin.
NEXT >> Ekonomi Global yang Gloomy dan Indonesia yang Kena Getah
Awan mendung tengah menggelayuti perekonomian China. Setelah tahun lalu nelangsa gara-gara perang dagang lawan Amerika Serikat (AS), kini China menghadapi tantangan baru yang bernama virus corona.
Virus yang menyebabkan gejala seperti influenza ini berawal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Seiring libur panjang Tahun Baru Imlek, virus corona menyebar dengan luas dan cepat karena tingginya mobilitas masyarakat. Imlek memang momen puncak pergerakan warga China, baik antar-kota maupun antar-negara.
Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) biaya pengobatan untuk virus corona di seluruh dunia sudah mencapai US$ 675 juta (Rp 890,41 miliar dengan kurs saat ini). Angka ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi.
Ya, dampak ekonomi akibat penyebaran (outbreak) virus corona memang tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, virus ini membuat aktivitas ekonomi di Negeri Tirai Bambu seret.
Kalau ada virus mematikan sedang bergentayangan, tentu masyarakat berpikir ribuan kali untuk beraktivitas di luar rumah. Akibatnya, aktivitas produksi dan konsumsi pasti berkurang drastis.
"Awalnya pemerintah China menambah masa libur Imlek selama tiga hari. Namun sesudah itu, jumlah pabrik yang tidak berproduksi semakin banyak. Berbagai provinsi di China menunda aktivitas bisnis," sebut laporan IHS Markit yang dirilis 31 Januari lalu.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China hampir pasti melambat. Bahkan risiko pertumbuhan ekonomi di bawah 5% adalah sesuatu yang sangat nyata. ]
"Untuk saat ini, sulit melihat penyebaran virus Corona akan melambat. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 bisa turun ke bawah 5% dan ini kemungkinan masih berlanjut pada kuartal berikutnya," kata Wang Jun, Kepala Ekonom Zhongyuan Bank, seperti diberitakan Reuters.
Beberapa ekonom lain yang dimintai pendapat oleh Reuters juga mengemukakan proyeksi yang gloomy. Louis Kuijs, Ekonom Oxford Economics, memperkirakan pertumbuhan ekonomi China sebesar 5,4% pada 2020. Lumayan jauh melambat dibandingkan pencapaian 2019 yaitu 6,1%. Sementara Tao Wang, Ekonom UBS, memperkirakan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 hanya 3,8% dan sepanjang 2020 adalah 5,4%.
Efek China ke Indonesia
China memainkan peran penting dalam globalisasi. Bagi banyak negara, China adalah mitra dagang dan investasi utama. Salah satu negara itu adalah Indonesia.
Dari sisi perdagangan, China adalah negara tujuan ekspor utama Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor non-migas Indonesia ke China sepanjang 2019 adalah US$ 25,85 miliar. Jumlah itu mencapai 16,68% dari total ekspor non-migas Tanah Air.
Ketika aktivitas ekonomi di China lesu akibat virus Corona, permintaan produk-produk Indonesia juga tentu ikut menurun. Kala ekspor di China turun, kinerja ekspor secara keseluruhan pasti terganggu mengingat besarnya peranan China.
Melihat hubungan di bidang perdagangan dan investasi, ketergantungan Indonesia terhadap China cukup kuat. Oleh karena itu, jika ekonomi China melambat maka Indonesia pasti bakal kena getahnya.
Menurut kajian Bank Dunia, setiap penurunan pertumbuhan ekonomi di China sebesar 1 poin persentase, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terpangkas 0,3 poin persentase. Sayangnya, ekonomi China hampir pasti melambat akibat virus Corona.
Riset S&P menyebutkan, virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China tahun ini sekitar 1,2 poin persentase. Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,3%. Jadi kalau ekonomi China melambat 1,2 poin persentase gara-gara virus Corona, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berkurang menjadi 4,94%, terendah sejak 2016.
Berdasarkan penghitungan pemerintah, pelemahan perekonomian China sebesar 1%, bisa membuat ekonomi Indonesia turun hingga 0,3%. Artinya, pertumbuhan ekonomi tahun ini kemungkinan hanya tumbuh di bawah 5%. Target pertumbuhan ekonomi 2020 dipatok 5,3%.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, bahwa kondisi ini yang pada akhirnya membuat pemerintah mengobral berbagai stimulus untuk memberikan dorongan lebih bagi perekonomian.
"Kita berharap ini akan bersama-sama menetralisir dampak corona virus yang apabila pertumbuhan ekonomi RRT turun 1%, maka dampaknya ke dalam perekonomian sekitar 0,3%," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Selasa (25/2/2020).
NEXT >> Stimulus Ekonomi dari Sri Mulyani
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memberikan titahnya. Ya begitulah Presiden, cukup bertitah dan kemudian Menteri yang eksekusi.
Pemerintah merapatkan barisan, dan sudah mengumumkan rencana stimulus fiskal berupa subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka.
Tetap saja sang kasir adalah Sri Mulyani Indrawati sebagai Menkeu. Mungkin sampai detik ini Sri Mulyani masih memikirkan apa lagi yang bisa digenjot dari sisi fiskal demi semua masyarakat.
Langkah Stimulus Berlanjut, Kali Ini Rela Pajak Ditahan
Sri Mulyani Indrawati, bergerak cepat dengan menyiapkan kebijakan strategis untuk menggenjot ekonomi dalam negeri. Hal ini dilakukan untuk antisipasi lemahnya perekonomian akibat wabah virus corona (Covid-19).
"Pasal 21 kita sudah siapkan, keputusan scope dan lamanya. Pasal 25 juga disiapkan. Serta pasal 22 bea masuk pajak impor juga disiapkan," kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Pasal 22 sendiri, menurut Sri Mulyani berhubungan dengan arus barang supaya industri manufaktur yang butuh impor barang modal bisa eksekusi segera.
"Kita harap, industri dalam negeri bisa substitusi. Kita dorong. Kita berharap Kemenperin dan Pemda dorong industri agak bisa cari substitusi impor."
PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.
PPh Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan Badan atas Kegiatan Impor Barang Konsumsi. PPh Pasal 22 merupakan peraturan pemungutan pajak penghasilan badan dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan impor atau dari pembeli atas penjualan barang mewah.
Sedangkan PPh Pasal 25 adalah Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan yang memiliki kegiatan usaha diwajibkan membayar angsuran Pajak Penghasilan setiap bulannya.
"Pertama untuk PPh pasal 21 pembahasannya kami di Kemenkeu sudah cukup detil. Artinya kita sudah lihat pengalaman 2008, kita sudah siapkan mekanisme, berhitung kalau kita berikan berapa bulan dan scope-nya berapa saja atau sektor yang ditarget apa saja, kita sudah kalkulasi. Jadi dari sisi pembahasan teknis di Kemenkeu sudah katakan 95 persen sudah selesai," kata Sri Mulyani.
Menurutnya, aturan tersebut hanya tinggal dipresentasikan saja di tingkat rapat koordinasi dan rapat kabinet. Selain itu Sri Mulyani juga menegaskan, PPh pasal 25 atau PPh badan juga dibuka kemungkinannya untuk ditahan. "Pasal 25 disiapkan juga," kata Sri Mulyani.
"Pasal 25 untuk corporate juga kita consider. Ini juga mekanismenya sudah disiapkan. Hanya persoalannya untuk berapa lama dan untuk sektor apa saja," tambahnya.
Ia mengatakan, di AS pun sang Presiden atau Donald Trump dengan tegas melindungi ekonominya. Sama halnya dengan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang juga mendorong ekonominya dengan melakukan relaksasi. "Ini juga yang perlu rekalibrasi supaya kita responsnya sesuai dengan masalah dan kedalaman persoalan yang dihadapi," kata Sri Mulyani.
NEXT >> Ancaman Kas Negara yang Terganggu Jiwasarya dan BPJS Kesehatan
Dari dalam negeri, tantangan pun datang silih-berganti. Pada awal tahun ini, semestinya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan naik. Melalui gugatan sampai ke tingkat Mahkamah Agung (MA), kenaikan ini akhirnya dibatalkan.
Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan menimbulkan masalah baru. Defisit yang selama ini menghiasi laporan keuangan BJPS Kesehatan dipastikan bakal terjadi lagi. Tahun ini, defisit BJPS Kesehatan diperkirakan sebesar Rp 39,5 triliun, lebih dalam ketimbang tahun sebelumnya yaitu Rp 32,8 triliun.
Agar bisa terus memberikan layanan kesehatan universal, BPJS lagi-lagi butuh suntikan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kapasitas fiskal akan berkurang sehingga kemampuan untuk memberikan stimulus menjadi terbatas. Padahal dengan kebutuhan pemberian stimulus, semestinya ruang fiskal lebih luas.
BPJS masih mengundang pro-kontra, masalah baru datang dan ditengarai berdampak sistemik. Masalah itu adalah pengelolaan investasi di perusahaan asuransi milik negara, PT Jiwasraya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 16,81 triliun. Jumlah itu terdiri dari investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana Rp 12,16 triliun.
Untuk menelusuri pihak-pihak yang terkait dengan mega skandal ini, Kejaksaan Agung memblokir 800 rekening efek. Penutupan ini membuat transaksi di pasar saham Indonesia menjadi sepi, kurang semarak. Ini menjadi bukti bagaimana kasus Jiwasraya berdampak sistemik.
Belum lagi ada kemungkinan APBN harus turun tangan. Saat ini sedang diupayakan untuk menjual aset seperti pusat perbelanjaan Cilandak Town Square. Namun jika berbagai upaya tidak cukup, maka APBN harus hadir.
“Nanti kami akan melihat proposal yang sifatnya mungkin sudah final pada saat saya melihat itu termasuk berbagai kemungkinan. Kalau nanti sampai akan ada intervensi ultimate shareholder yaitu dari Kementerian Keuangan dalam bentuk apapun, maka dia pasti masuk ke UU APBN,” kata Sri Mulyani dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2020 belum lama ini.
Baca: Sri Mulyani Buka-bukaan Skema Penyelamatan Jiwasraya
Lagi-lagi APBN harus menanggung beban tambahan. Ini membuat kemampuan APBN sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.
Oleh karena itu, mungkin sulit untuk mengandalkan APBN menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Tanpa tambahan kontribusi dari pemerintah, bisa-bisa kejadian seperti 2019 terulang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi kurang optimal.
Tugas Sri Mulyani adalah memastikan kesehatan APBN. Sri Mulyani berkewajiban dana yang dibutuhkan untuk belanja negara tersedia dan bisa disalurkan.
Namun sebagai instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi, itu ada di sisi belanja. Nah, belanja ini menjadi tugas Kementerian/Lembaga (K/L) lain. Jika Sri Mulyani sudah memastikan APBN aman dan sehat, tetapi jika tidak dieksekusi dengan optimal ya saja bohong.
Memang tugas Sri Mulyani amat berat. Oleh karena itu, koleganya sesama menteri dan pimpinan lembaga negara harus membantu meringankan. Caranya adalah merealisasikan anggaran secara tepat waktu, sasaran, dan jumlah.
"Uang kami kumpulkan dari rakyat terus, terus, dan terus-menerus agar masyarakat bisa mendapatkan dampak positif. Jadi bagaimana kita buat angka tersebut (penerimaan negara) bisa dikelola menjadi instrumen yang mendorong pertumbuhan dengan kualitas yang lebih baik," tegas Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
(dru/dru) Next Article The Fed Pangkas Bunga, Sri Mulyani Happy
Jika tidak genting, tidak akan ada kebijakan-kebijakan 'urgent' yang diambil. Sayangnya keadaan ini terjadi di saat Tanah Air ini tengah mengalami sebuah 'kanker'.
Indonesia tengah bertahan dari efek buruk perang dagang dalam beberapa tahun belakangan. Gempuran impor dan tarif yang tak wajar membuat defisit neraca perdagangan hingga transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tekor.
Indonesia mengalami 'Twin Deficit'. Defisit di APBN dan defisit di Transaksi Berjalan membuat Indonesia harus berupaya menutupnya dari utang. Dolar demi dolar dibutuhkan menutup Twin Deficit tersebut hingga membuat nilai rupiah tak bisa stabil sepenuhnya.
Pertumbuhan ekonomi pun stagnan di 5%. Bahkan terjadi juga di bawah 5% pada Q4-2019 kemarin.
NEXT >> Ekonomi Global yang Gloomy dan Indonesia yang Kena Getah
Awan mendung tengah menggelayuti perekonomian China. Setelah tahun lalu nelangsa gara-gara perang dagang lawan Amerika Serikat (AS), kini China menghadapi tantangan baru yang bernama virus corona.
Virus yang menyebabkan gejala seperti influenza ini berawal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Seiring libur panjang Tahun Baru Imlek, virus corona menyebar dengan luas dan cepat karena tingginya mobilitas masyarakat. Imlek memang momen puncak pergerakan warga China, baik antar-kota maupun antar-negara.
Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) biaya pengobatan untuk virus corona di seluruh dunia sudah mencapai US$ 675 juta (Rp 890,41 miliar dengan kurs saat ini). Angka ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi.
Ya, dampak ekonomi akibat penyebaran (outbreak) virus corona memang tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, virus ini membuat aktivitas ekonomi di Negeri Tirai Bambu seret.
Kalau ada virus mematikan sedang bergentayangan, tentu masyarakat berpikir ribuan kali untuk beraktivitas di luar rumah. Akibatnya, aktivitas produksi dan konsumsi pasti berkurang drastis.
"Awalnya pemerintah China menambah masa libur Imlek selama tiga hari. Namun sesudah itu, jumlah pabrik yang tidak berproduksi semakin banyak. Berbagai provinsi di China menunda aktivitas bisnis," sebut laporan IHS Markit yang dirilis 31 Januari lalu.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China hampir pasti melambat. Bahkan risiko pertumbuhan ekonomi di bawah 5% adalah sesuatu yang sangat nyata. ]
"Untuk saat ini, sulit melihat penyebaran virus Corona akan melambat. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 bisa turun ke bawah 5% dan ini kemungkinan masih berlanjut pada kuartal berikutnya," kata Wang Jun, Kepala Ekonom Zhongyuan Bank, seperti diberitakan Reuters.
Beberapa ekonom lain yang dimintai pendapat oleh Reuters juga mengemukakan proyeksi yang gloomy. Louis Kuijs, Ekonom Oxford Economics, memperkirakan pertumbuhan ekonomi China sebesar 5,4% pada 2020. Lumayan jauh melambat dibandingkan pencapaian 2019 yaitu 6,1%. Sementara Tao Wang, Ekonom UBS, memperkirakan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 hanya 3,8% dan sepanjang 2020 adalah 5,4%.
Efek China ke Indonesia
China memainkan peran penting dalam globalisasi. Bagi banyak negara, China adalah mitra dagang dan investasi utama. Salah satu negara itu adalah Indonesia.
Dari sisi perdagangan, China adalah negara tujuan ekspor utama Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor non-migas Indonesia ke China sepanjang 2019 adalah US$ 25,85 miliar. Jumlah itu mencapai 16,68% dari total ekspor non-migas Tanah Air.
Ketika aktivitas ekonomi di China lesu akibat virus Corona, permintaan produk-produk Indonesia juga tentu ikut menurun. Kala ekspor di China turun, kinerja ekspor secara keseluruhan pasti terganggu mengingat besarnya peranan China.
Melihat hubungan di bidang perdagangan dan investasi, ketergantungan Indonesia terhadap China cukup kuat. Oleh karena itu, jika ekonomi China melambat maka Indonesia pasti bakal kena getahnya.
Menurut kajian Bank Dunia, setiap penurunan pertumbuhan ekonomi di China sebesar 1 poin persentase, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terpangkas 0,3 poin persentase. Sayangnya, ekonomi China hampir pasti melambat akibat virus Corona.
Riset S&P menyebutkan, virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China tahun ini sekitar 1,2 poin persentase. Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,3%. Jadi kalau ekonomi China melambat 1,2 poin persentase gara-gara virus Corona, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berkurang menjadi 4,94%, terendah sejak 2016.
Berdasarkan penghitungan pemerintah, pelemahan perekonomian China sebesar 1%, bisa membuat ekonomi Indonesia turun hingga 0,3%. Artinya, pertumbuhan ekonomi tahun ini kemungkinan hanya tumbuh di bawah 5%. Target pertumbuhan ekonomi 2020 dipatok 5,3%.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, bahwa kondisi ini yang pada akhirnya membuat pemerintah mengobral berbagai stimulus untuk memberikan dorongan lebih bagi perekonomian.
"Kita berharap ini akan bersama-sama menetralisir dampak corona virus yang apabila pertumbuhan ekonomi RRT turun 1%, maka dampaknya ke dalam perekonomian sekitar 0,3%," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Selasa (25/2/2020).
NEXT >> Stimulus Ekonomi dari Sri Mulyani
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memberikan titahnya. Ya begitulah Presiden, cukup bertitah dan kemudian Menteri yang eksekusi.
Pemerintah merapatkan barisan, dan sudah mengumumkan rencana stimulus fiskal berupa subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka.
Tetap saja sang kasir adalah Sri Mulyani Indrawati sebagai Menkeu. Mungkin sampai detik ini Sri Mulyani masih memikirkan apa lagi yang bisa digenjot dari sisi fiskal demi semua masyarakat.
Langkah Stimulus Berlanjut, Kali Ini Rela Pajak Ditahan
Sri Mulyani Indrawati, bergerak cepat dengan menyiapkan kebijakan strategis untuk menggenjot ekonomi dalam negeri. Hal ini dilakukan untuk antisipasi lemahnya perekonomian akibat wabah virus corona (Covid-19).
"Pasal 21 kita sudah siapkan, keputusan scope dan lamanya. Pasal 25 juga disiapkan. Serta pasal 22 bea masuk pajak impor juga disiapkan," kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Pasal 22 sendiri, menurut Sri Mulyani berhubungan dengan arus barang supaya industri manufaktur yang butuh impor barang modal bisa eksekusi segera.
"Kita harap, industri dalam negeri bisa substitusi. Kita dorong. Kita berharap Kemenperin dan Pemda dorong industri agak bisa cari substitusi impor."
PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.
PPh Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan Badan atas Kegiatan Impor Barang Konsumsi. PPh Pasal 22 merupakan peraturan pemungutan pajak penghasilan badan dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan impor atau dari pembeli atas penjualan barang mewah.
Sedangkan PPh Pasal 25 adalah Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan yang memiliki kegiatan usaha diwajibkan membayar angsuran Pajak Penghasilan setiap bulannya.
"Pertama untuk PPh pasal 21 pembahasannya kami di Kemenkeu sudah cukup detil. Artinya kita sudah lihat pengalaman 2008, kita sudah siapkan mekanisme, berhitung kalau kita berikan berapa bulan dan scope-nya berapa saja atau sektor yang ditarget apa saja, kita sudah kalkulasi. Jadi dari sisi pembahasan teknis di Kemenkeu sudah katakan 95 persen sudah selesai," kata Sri Mulyani.
Menurutnya, aturan tersebut hanya tinggal dipresentasikan saja di tingkat rapat koordinasi dan rapat kabinet. Selain itu Sri Mulyani juga menegaskan, PPh pasal 25 atau PPh badan juga dibuka kemungkinannya untuk ditahan. "Pasal 25 disiapkan juga," kata Sri Mulyani.
"Pasal 25 untuk corporate juga kita consider. Ini juga mekanismenya sudah disiapkan. Hanya persoalannya untuk berapa lama dan untuk sektor apa saja," tambahnya.
Ia mengatakan, di AS pun sang Presiden atau Donald Trump dengan tegas melindungi ekonominya. Sama halnya dengan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang juga mendorong ekonominya dengan melakukan relaksasi. "Ini juga yang perlu rekalibrasi supaya kita responsnya sesuai dengan masalah dan kedalaman persoalan yang dihadapi," kata Sri Mulyani.
NEXT >> Ancaman Kas Negara yang Terganggu Jiwasarya dan BPJS Kesehatan
Dari dalam negeri, tantangan pun datang silih-berganti. Pada awal tahun ini, semestinya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan naik. Melalui gugatan sampai ke tingkat Mahkamah Agung (MA), kenaikan ini akhirnya dibatalkan.
Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan menimbulkan masalah baru. Defisit yang selama ini menghiasi laporan keuangan BJPS Kesehatan dipastikan bakal terjadi lagi. Tahun ini, defisit BJPS Kesehatan diperkirakan sebesar Rp 39,5 triliun, lebih dalam ketimbang tahun sebelumnya yaitu Rp 32,8 triliun.
Agar bisa terus memberikan layanan kesehatan universal, BPJS lagi-lagi butuh suntikan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kapasitas fiskal akan berkurang sehingga kemampuan untuk memberikan stimulus menjadi terbatas. Padahal dengan kebutuhan pemberian stimulus, semestinya ruang fiskal lebih luas.
BPJS masih mengundang pro-kontra, masalah baru datang dan ditengarai berdampak sistemik. Masalah itu adalah pengelolaan investasi di perusahaan asuransi milik negara, PT Jiwasraya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 16,81 triliun. Jumlah itu terdiri dari investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana Rp 12,16 triliun.
Untuk menelusuri pihak-pihak yang terkait dengan mega skandal ini, Kejaksaan Agung memblokir 800 rekening efek. Penutupan ini membuat transaksi di pasar saham Indonesia menjadi sepi, kurang semarak. Ini menjadi bukti bagaimana kasus Jiwasraya berdampak sistemik.
Belum lagi ada kemungkinan APBN harus turun tangan. Saat ini sedang diupayakan untuk menjual aset seperti pusat perbelanjaan Cilandak Town Square. Namun jika berbagai upaya tidak cukup, maka APBN harus hadir.
“Nanti kami akan melihat proposal yang sifatnya mungkin sudah final pada saat saya melihat itu termasuk berbagai kemungkinan. Kalau nanti sampai akan ada intervensi ultimate shareholder yaitu dari Kementerian Keuangan dalam bentuk apapun, maka dia pasti masuk ke UU APBN,” kata Sri Mulyani dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2020 belum lama ini.
Baca: Sri Mulyani Buka-bukaan Skema Penyelamatan Jiwasraya
Lagi-lagi APBN harus menanggung beban tambahan. Ini membuat kemampuan APBN sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.
Oleh karena itu, mungkin sulit untuk mengandalkan APBN menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Tanpa tambahan kontribusi dari pemerintah, bisa-bisa kejadian seperti 2019 terulang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi kurang optimal.
Tugas Sri Mulyani adalah memastikan kesehatan APBN. Sri Mulyani berkewajiban dana yang dibutuhkan untuk belanja negara tersedia dan bisa disalurkan.
Namun sebagai instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi, itu ada di sisi belanja. Nah, belanja ini menjadi tugas Kementerian/Lembaga (K/L) lain. Jika Sri Mulyani sudah memastikan APBN aman dan sehat, tetapi jika tidak dieksekusi dengan optimal ya saja bohong.
Memang tugas Sri Mulyani amat berat. Oleh karena itu, koleganya sesama menteri dan pimpinan lembaga negara harus membantu meringankan. Caranya adalah merealisasikan anggaran secara tepat waktu, sasaran, dan jumlah.
"Uang kami kumpulkan dari rakyat terus, terus, dan terus-menerus agar masyarakat bisa mendapatkan dampak positif. Jadi bagaimana kita buat angka tersebut (penerimaan negara) bisa dikelola menjadi instrumen yang mendorong pertumbuhan dengan kualitas yang lebih baik," tegas Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
(dru/dru) Next Article The Fed Pangkas Bunga, Sri Mulyani Happy
Most Popular