Coba Diresapi... Iuran Tak Naik & BPJS Bangkrut, Lalu Gimana?

Herdaru Purnomo & Tirta Citradi, CNBC Indonesia
10 March 2020 17:29
Coba Diresapi... Iuran Tak Naik & BPJS Bangkrut, Lalu Gimana?
Foto: cover topik/BPJS Kesehatan dalam/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan dan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari.

Gugatan pertama kali dilayangkan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KCPDI) yang merasa keberatan dengan keputusan tersebut. Pada akhir Februari lalu MA mengabulkan permohonan tersebut.

Dengan begitu pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 tahun 2019 tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi berbunyi :

Pasal 34

1. Iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP yaitu sebesar :
  • Rp 42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III
  • Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II
  • Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I
2. Besaran iuran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.

Dengan dibatalkannya pasal di atas maka iuran BPJS Kesehatan kembali seperti semula yaitu :
  • Iuran sebesar Rp 25.500,00 untuk pelayanan di ruang perawatan kelas III
  • Iuran sebesar Rp 51.000,00 untuk pelayanan di ruang perawatan kelas II
  • Iuran sebesar Rp 80.000,00 untuk pelayanan di ruang perawatan kelas I

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebenarnya sebagai bentuk upaya untuk menambal defisit BPJS Kesehatan yang telah terjadi sejak 2014. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir kinerja keuangan BPJS Kesehatan bagaikan besar pasak daripada tiang.

Hingga akhir tahun 2018 total defisit yang dicatatkan oleh BPJS Kesehatan hampir sebesar Rp 29 triliun. Sementara total defisit hingga tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp 32,8 triliun.



Bahkan jika iuran tidak dinaikkan, BPJS Kesehatan memperkirakan defisit bisa sampai Rp 77 triliun pada 2024 nanti. Tekor dan bisa kolaps. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Fahmi Idris tahun lalu.

Tekornya BPJS Kesehatan ini tak terlepas dari banyak faktor penyebab. Ada lima faktor penyebab defisit BPJS Kesehatan yang makin besar menurut Dirut Fahmi Idris.

Pertama, premi yang ditetapkan pemerintah belum sesuai dengan hasil hitung-hitungan aktuaria. Sebagai contoh Fahmi menerangkan untuk iuran di kelas tiga seharusnya sebesar Rp 53.000/ bulan per orang. Namun saat ini yang disetor hanya Rp 25.500/bulan per orang.

Sementara untuk kelas II yang seharusnya per orang membayar Rp 63.000/bulan hanya dibayarkan sebesar Rp 53.000/bulan.

Kedua BPJS Kesehatan mengusung konsep gotong royong atau subsidi silang. Artinya orang yang mampu memberikan subsidi kepada yang kurang mampu. Namun dalam pelaksanaannya belum berjalan sepenuhnya.

Ketiga faktor lain yang menjadi penyebab tekornya BPJS Kesehatan seperti data peserta yang bermasalah, perusahaan yang memanipulasi gaji karyawan, hingga potensi penyalahgunaan regulasi dengan memberikan pelayanan rumah sakit lebih tinggi dari yang seharusnya.

Terkait pembatalan kenaikan iuran yang ditetapkan MA, BPJS Kesehatan mengaku belum menerima hasil salinan keputusan MA sehingga belum banyak memberikan komentar lebih lanjut. Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Ma’ruf pada Senin kemarin (9/3/2020).

Apabila hasil konfirmasi sudah didapatkan dan teruji kebenarannya BPJS Kesehatan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku
"Pada prinsipnya BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari Pemerintah," tandas Iqbal.

Bagaimanapun juga BPJS Kesehatan tidak boleh dibiarkan tekor terus menerus. Untuk memperkecil defisit ada tiga opsi yang bisa dilakukan. Opsi pertama adalah dengan menyesuaikan besaran iuran, kedua menyuntik dana tambahan dan ketiga mengatur ulang manfaat yang diberikan.

Untuk opsi pertama sudah dilakukan pemerintah dengan Perpres Nomor 75 tahun 2019 pada Pasal 34 Ayat 1 dan 2. Namun MA membatalkan kenaikan iuran. Untuk opsi kedua juga sudah dilakukan, pemerintah sudah menyuntikkan total dana ke BPJS Kesehatan sebesar Rp 25,65 triliun sepanjang 2015-2018.

Maka tinggal opsi yang ketiga, yakni dengan mengatur ulang manfaat yang diberikan. Namun yang jadi tantangan terbesarnya adalah bagaimana memastikan data-data yang salah sudah diperbaiki, tidak ada penyalahgunaan berupa manipulasi data karyawan hingga memberikan pelayanan semestinya untuk tiap pembayar iuran.


NEXT > Resapi Pernyataan Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih berpikir keras bagaimana membuat BPJS Kesehatan tak lagi defisit di tengah dibatalkannya kenaikan iuran. Hal ini harus diketahui masyarakat di mana banyak yang 'happy' ketika iuran batal naik.

"Kita minta BPJS Kesehatan transparan, biaya operasi berapa dan berapa gajinya, defisit berapa. Itu semua kita rangkum supaya masyarakat tahu ini masalah bersama, bukan 1 institusi. Ini dilakukan pemerintah, kita terus coba bangun ekosistem JKN yang sehat dan berkeadilan, sustain," tegas Sri Mulyani, Selasa (10/3/2020).

Dijelaskan Sri Mulyani, keputusan yang diambil terhadap BPJS Kesehatan termasuk dengan menaikkan tarif itu sudah dihitung dan dipertimbangkan dengan matang. Termasuk ke seluruh rakyat Indonesia. Jika dibatalkan, maka akan mempengaruhi sustainabilitas BPJS itu sendiri.

Dear Masyarakat, Dengar Pesan Menyentuh Sri Mulyani Soal BPJSFoto: Sri Mulyani (CNBC Indonesia/ Lidya Kembaren)


"Tentu kita melihat keputusan tersebut bahwa Perpres BPJS pengaruhnya ke seluruh rakyat Indonesia. Keputusan batalkan 1 pasal saja itu pengaruhi seluruh sustainabilitas dari BPJS Kesehatan. Karena pada saat pemerintah buat Perpres itu semua aspek sudah dipertimbangkan. Kita sangat paham mungkin tidak semua puas, tapi itu policy yang secara hati-hati pemerintah mempertimbangkan seluruh aspek," paparnya.

Adapun soal aspek keadilan. Ada masyarakat miskin yang totalnya 96,8 juta dibayarkan oleh pemerintah karena tidak mampu. Nah seharusnya bagi yang mampu ikut gotong royong dengan dibagi menjadi 3 kelas tersebut.

"Dari swasta juga ikut gotong royong. Semua dihitung dalam rangka agar JKN bisa berjalan karena ada dana yang berasal dari APBN, Pusat, Daerah, Swasta dan Masyarakat mampu," papar Sri Mulyani.

Sri Mulyani meminta masyarakat juga melihat BPJS Kesehatan ini sebagai sebuah sistem keseluruhan. Perlu ada kegotongroyongan. Jadi harus melihat BPJS Kesehatan juga sebagai keseluruhan.

"Keputusan tersebut buat ini semua berubah. Kita berharap masyarakat tahu ini konsekuensinya besar terhadap JKN. Karena kalau bicara ekosistem, tak mungkin bisa satu dicabut, sisanya pikir sendiri, ini kita lihat penuh," tegas Sri Mulyani.


[Gambas:Video CNBC]
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular