The Fed Mendadak Potong Bunga Acuan, Lebay Gak Sih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 March 2020 12:55
The Fed Mendadak Potong Bunga Acuan, Lebay Gak Sih?
Ketua The Fed Jerome Powell (REUTERS/Aaron P. Bernstein)
Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang tengah malam tadi waktu Indonesia, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed menempuh langkah di luar kewajaran. Dalam rapat tidak terjadwal, Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) memutuskan menurunkan suku bunga acuan 50 basis poin (bps) ke 1-1,25%.

Padahal semestinya rapat FOMC baru digelar pada 17-18 Maret. Memang pelaku pasar memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan memangkas Federal Funds Rate 50 bps dalam rapat tersebut. Namun tidak ada yang menduga ternyata keputusan dibuat lebih cepat.

Apalagi suku bunga acuan langsung dipotong 50 bps. Biasanya pemangkasan suku bunga acuan hanya 25 bps dalam satu rapat. Ini adalah penurunan lebih dari 25 bps pertama sejak 2008, kala AS bergelut dengan krisis ekonomi.




"Fundamental ekonomi AS tetap kuat. Namun, virus corona menciptakan risiko bagi aktivitas ekonomi. Dengan risiko ini dan tujuan untuk mencapai penciptaan lapangan kerja yang maksimal serta menjaga stabilitas harga, Federal Open Market Committee memutuskan untuk menurunkan Federal Funds Rate sebesar 0,5 poin persentase menjadi 1-1,25%.

Komite akan memantau dengan saksama seluruh perkembangan yang ada dan implikasinya terhadap prospek ekonomi. Komite juga akan menggunakan berbagai instrumen untuk mendukung perekonomian," sebut keterangan tertulis The Fed.

Ya, semua ini memang gara-gara virus corona. Bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China, virus mematikan ini menyebar ke puluhan negara di Benua Asia, Eropa, Amerika, Afrika, sampai Australia.

Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis per pukul 10:13 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia adalah 93.129. Korban jiwa semakin bertambah menjadi 3.198 orang.



Penyebaran virus mematikan membuat aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Pabrik-pabrik di berbagai negara belum berproduksi optimal karena pekerja dirumahkan untuk mencegah penularan lebih lanjut.

Akibatnya, aktivitas manufaktur menjadi loyo. DI China, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur versi Caxin/Markit pada Februari 2020 tercatat 40,3. Jauh di bawah bulan sebelumnya yaitu 51,1 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI yang dimulai pada 2004.

Kemudian PMI manufaktur di Singapura pada Februari berada di 47. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,4 dan seperti di China, menjadi yang terendah sepanjang sejarah.

Ada lagi PMI manufaktur Jepang yang pada Februari adalah 47,8. Turun dibandingkan Januari yang sebesar 48,8 dan menyentuh titik terendah sejak Mei 2016.





Aktivitas manufaktur yang mengendur berarti pasokan barang di pasar global menjadi berkurang. Rantai pasok rusak, prospek pertumbuhan ekonomi menjadi suram.

Ini yang membuat The Fed memutuskan menurunkan bunga acuan lebih awal dari jadwal. Powell dan kolega mungkin memandang stimulus moneter perlu segera disuntikkan, tidak bisa ditunda lagi.


Namun, apakah kebutuhan untuk menurunkan suku bunga acuan sampai 50 bps sudah ada? Apakah tidak berlebihan?

Sebab sejauh ini data-data ekonomi Negeri Paman Sam masih lumayan oke. Misalnya, indeks kondisi bisnis keluaran Institute for Supply Management (ISM) periode Februari tercatat 51,9. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 45,8 dan menyentuh titik tertinggi sejak April tahun lalu.

Kemudian pengeluaran konstruksi (construction spending) pada Januari naik 1,8% secara month-on-month (MoM). Jauh ketimbang pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 0,2% sekaligus menjadi laju pertumbuhan tercepat sejak Februari 2018.

Ada lagi. Indeks sentimen konsumen pada Februari adalah sebesar 101. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,8 dan menjadi angka tertinggi sejak Maret 2019.

So, dunia usaha dan konsumen di Negeri Adidaya sejauh ini terlihat baik-baik saja. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah stimulus moneter (apalagi begitu agresif) sudah dibutuhkan?

Apalagi Powell sendiri mengakui bahwa penurunan suku bunga acuan sebenarnya bukan 'obat' untuk mengatasi dampak penyebaran virus corona. Penurunan suku bunga acuan juga tidak mampu memperbaiki rantai pasok yang rusak.


"Kami menyadari bahwa penurunan suku bunga acuan tidak akan menurunkan tingkat penularan. Penurunan suku bunga acuan juga tidak akan memperbaiki rantai pasok. Namun kami merasa bahwa ini saatnya untuk bertindak mendukung perekonomian," tegas Powell dalam jumpa pers usai rapat, seperti dikutip dari Reuters.

Ditambah lagi penurunan suku bunga acuan dilakukan begitu mendadak dan langsung 50 bps. Pelaku pasar pun malah khawatir, jangan-jangan situasi lebih parah dari yang terlihat di permukaan?

"Saya rasa ada hal yang membuat investor ketakutan adalah keputusan ini dibuat begitu tiba-tiba dan 50 bps. Mungkin orang-orang berpikir, 'oh, apakah situasi lebih buruk dari yang kami bayangkan?'" kata Alan Lancz, Presiden Alan B Lancz & Associates Inc yang berbasis di Ohio, seperti diberitakan Reuters.

"Saya tidak mengerti logika penurunan suku bunga acuan. Memang membantu menurunkan biaya dan bunga kredit. Namun ini bukan masalah suku bunga, apakah memang kondisinya sedang memungkinkan bagi orang-orang untuk mengakses kredit?" tambah Michael Purves, CEO Tallbacken Capital Advisors yang berbasis di New York, sebagaimana diwartakan Reuters.

Oleh karena itu, sangat wajar jika pelaku pasar punya anggapan bahwa langkah The Fed kali ini agak lebay. Menunjukkan sikap panic at the disco.

Akibatnya, penurunan suku bunga acuan tidak mampu menolong Wall Street. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 2,94%, S&P 500 amblas 2,81%, dan Nasdaq Composite ambrol 2,99%.




Akan tetapi, The Fed tentu punya pertimbangan kuat. Salah satu rule of thumb dalam pengambilan kebijakan moneter adalah forward looking alias berpikir ke depan. Tidak bisa hanya berpandangan jangka pendek, karena saat kebijakan moneter berubah-ubah akibat pembacaan jangka pendek maka kebijakan tersebut menjadi tidak kredibel.

Untuk melihat prospek ekonomi ke depan, biasanya yang dipantau adalah indikator awalan (leading indicator). Ada banyak leading indicator, tetapi dua yang biasanya sering dipakai adalah PMI dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Dua data itu memberi gambaran apakah dunia usaha dan rumah tangga akan ekspansif atau justru terkontraksi.

Pada Februari, angka PMI manufaktur AS direvisi ke bawah dari 50,8 menjadi 50,7. Angka 50,7 adalah yang terendah sejak Agustus 2019.



"Produksi dan pemesanan produk manufaktur melambat pada Februari, karena produsen mulai merasakan dampak penurunan ekspor dan gangguan rantai pasok. Keduanya terjadi akibat penyebaran virus corona. Walau penjualan tumbuh, tetapi lajunya melambat dan lebih banyak mengandalkan konsumen domestik.

"Saat kekhawatiran perang dagang mereka, masalah di rantai pasok akibat virus corona mengancam keberlangsungan produksi dalam beberapa bulan ke depan. Pada saat uang sama, dunia usaha juga mulai cemas penyebaran virus COVID-19 akan mempengaruhi permintaan. Volatilitas di pasar keuangan tidak membantu, malah akan memukul konsumsi masyarakat dan investasi dunia usaha," jelas Chris Williamson, Chief Business Economist di IHS Markit dalam keterangan tertulis.

Namun, perlu dicatat bahwa PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Di atas 50 berarti dunia usaha masih ekspansif. Jadi walau PMI di AS turun, tetapi masih berada di fase ekspansi.

Bagaimana dengan IKK? Kondisinya malah lebih baik.

Pada Februari, IKK di AS yang dirilis oleh The Conference Board menunjukkan angka 130,7. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 130,4 dan menjadi yang terbaik sejak Agustus 2019.



"Keyakinan konsumen meningkat pada Februari. Konsumen masih melihat kondisi ekonomi terkini cukup bagus. Dengan pasar tenaga kerja yang solid, konsumen menilai konsumsi tetap terjaga dan ekonomi bisa tumbuh," kata Lynn Franco, Senior Director of Economic Indicator di The Conference Board, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Bahkan sub-indeks ekspektasi ekonomi ke depan, yang berdasarkan perkiraan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja, meningkat dari 101,4 pada Januari menjadi 107,8 pada Februari.


Artinya konsumen di AS lebih percaya diri dalam mengarungi bahtera perekonomian ke depan. Oleh karena itu, pandangan bahwa The Fed terlalu terburu-buru (dan cenderung panik) ada benarnya.

Sebab prospek ekonomi AS sebenarnya masih oke. Memang ada kekhawatiran gangguan rantai pasok, tetapi sejauh ini belum terlihat dampak yang signifikan.

Waspada boleh, tetapi jangan panik. Sayangnya, mungkin The Fed memilih yang kedua...



[Gambas:Video CNBC]





TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular