
Tidak Bisa Tidak, Indonesia Butuh Cepat Kilang Minyak!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 January 2020 14:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Sampai detik ini, Indonesia adalah negara net importir minyak. Indonesia memang mengekspor minyak, tetapi nilainya lebih sedikit ketimbang impornya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor hasil minyak sepanjang 2019 adalah US$ 1,93 miliar sementara impor minyak mentah adalah US$ 1,69 miliar. Jadi total ekspor minyak (mentah dan produk turunannya) adalah US$ 3,62 miliar.
Dalam periode yang sama, impor hasil minyak bernilai US$ 13,67 miliar dan minyak mentah US$ 5,7 miliar. Total impor minyak adalah US$ 19,37 miliar sehingga neraca perdagangan minyak Indonesia pada 2019 adalah minus US$ 15,75 miliar.
Oleh karena itu, tidak jarang impor minyak sering dituding menjadi beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Devisa yang didapat dari ekspor tidak sebanding dengan kebutuhan impornya. Besarnya devisa yang 'terbakar' untuk membiayai impor minyak membuat neraca perdagangan dan transaksi berjalan tertekan sehingga mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Akan tetapi, impor terbesar Indonesia adalah hasil minyak. Berikut adalah sejumlah negara asal impor produk hasil minyak (HS 334) pada Januari-Oktober 2019:
Dua negara asal impor produk minyak terbesar Indonesia adalah Singapura dan Malaysia, dua negara tetangga. Ini yang membuat rupiah cenderung melemah terhadap dolar Singapura dan ringgit Malaysia karena derasnya devisa yang mengalir dari Indonesia ke dua negara tersebut.
Sepanjang 2009-2019, rupiah melemah 36,41% di hadapan dolar Singapura secara point-to-point. Sementara secara rerata, depresiasi mata uang Tanah Air adalah 3,23% per tahun.
Terhadap ringgit Malaysia, rupiah melemah 8,01% point-to-point. Rata-rata pelemahan rupiah adalah 1,1% per tahun.
Baca: Kilang RI Kalah dengan Malaysia, Bertekut Lutut ke Singapura!
Tingginya impor hasil minyak disebabkan oleh kapasitas pengolahan dalam negeri yang terbatas. Maklum, Indonesia praktis sudah puluhan tahun tidak membangun kilang baru.
Kilang terakhir yang dibangun di Indonesia adalah Balongan pada dekade 1990-an. Sudah sekitar 30 tahun tidak ada kilang baru.
"Kenapa sudah 30 tahun lebih kita tidak membangun satu kilang pun? Kilang ada turunannya, seperti petrokimia, masak kita masih impor? Ini tidak dikerjakan, ada apa? Ini gede banget. Kalau kita selesaikan kilang, impor petrokimia bisa kita turunkan," tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.
Berbanding terbalik dengan Singapura dan Malaysia, dua negara tersebut memiliki kilang yang dapat diandalkan. Walau teritorinya tidak lebih luas dari DKI Jakarta, Singapura lebih maju dalam hal kepemilikan kilang minyak.
Saat ini ada tiga kilang besar yang beroperasi di Negeri Singa yaitu ExxonMobil Jurong Island Refinery (kapasitas 605.000 barel/hari), SRC Jurong Island Refinery (290.000 barel/hari), dan Shell Pulau Bukom Refinery (500.000 barel/hari). Dengan kebutuhan domestik yang minim (populasi Singapura 'hanya' 5,7 juta), tidak heran Singapura punya kapasitas untuk menjadi pemasok energi bagi negara-negara tetangganya.
Sementara Malaysia berhasil merangkul raksasa minyak Arab Saudi, Saudi Aramco, untuk berinvestasi. Pada Maret 2018, Aramco dan Petronas mengumumkan kerja sama dengan membentuk dua usaha joint ventures untuk proyek pengembangan kilang dan petrokimia terpadu (Refinery and Petrochemical Integrated Development/RAPID Project).
Mengutip Oil & Gas Journal, proyek RAPID yang ditaksir bernilai US$ 28 miliar di daerah Pangerang ini akan segera masuk fase produksi. Nantinya, kilang ini berkapasitas 300.000 barel/hari plus memproduksi produk turunan minyak seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan petrokimia. Produk BBM dari kilang ini tidak main-main, sudah masuk standar Euro 5.
Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin bukannya tinggal diam. Pembangunan kilang sudah masuk di daftar proyek prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dalam dokumen tersebut, tercatat ada rencana proyek revitalisasi kilang Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai. Ditambah dua pembangunan kilang baru di Tuban dan Bontang.
Revitalisasi kilang Balikpapan dan Balongan diperkirakan makan waktu tiga tahun. Sementara Cilacap dan Dumai diperkirakan selesai dalam lima tahun. Sedangkan pembangunan kilang Dumai dan Tuban diperkirakan butuh waktu masing-masing enam tahun.
Perkiraan kebutuhan pendanaan proyek-proyek kilang ini adalah Rp 643 triliun. Anggarannya akan berasal dari PT Pertamina (Persero) dengan penugasan.
Manfaat proyek kilang, menurut dokumen RPJMN 2020-2024, ada dua. Pertama adalah meningkatkan penyediaan minyak mentah dan bahan bakar sehingga menurunkan ketergantungan kepada impor. Kedua adalah memproduksi hasil turunan kilang lainnya seperti petrokimia.
Namun rencana terbaik adalah rencana yang terwujud. Apakah Jokowi-Ma'ruf dapat mewujudkannya?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/gus) Next Article Tanpa Kilang, RI Sulit Jemawa di Hadapan Singapura!
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor hasil minyak sepanjang 2019 adalah US$ 1,93 miliar sementara impor minyak mentah adalah US$ 1,69 miliar. Jadi total ekspor minyak (mentah dan produk turunannya) adalah US$ 3,62 miliar.
Dalam periode yang sama, impor hasil minyak bernilai US$ 13,67 miliar dan minyak mentah US$ 5,7 miliar. Total impor minyak adalah US$ 19,37 miliar sehingga neraca perdagangan minyak Indonesia pada 2019 adalah minus US$ 15,75 miliar.
Oleh karena itu, tidak jarang impor minyak sering dituding menjadi beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Devisa yang didapat dari ekspor tidak sebanding dengan kebutuhan impornya. Besarnya devisa yang 'terbakar' untuk membiayai impor minyak membuat neraca perdagangan dan transaksi berjalan tertekan sehingga mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Akan tetapi, impor terbesar Indonesia adalah hasil minyak. Berikut adalah sejumlah negara asal impor produk hasil minyak (HS 334) pada Januari-Oktober 2019:
Dua negara asal impor produk minyak terbesar Indonesia adalah Singapura dan Malaysia, dua negara tetangga. Ini yang membuat rupiah cenderung melemah terhadap dolar Singapura dan ringgit Malaysia karena derasnya devisa yang mengalir dari Indonesia ke dua negara tersebut.
Sepanjang 2009-2019, rupiah melemah 36,41% di hadapan dolar Singapura secara point-to-point. Sementara secara rerata, depresiasi mata uang Tanah Air adalah 3,23% per tahun.
Terhadap ringgit Malaysia, rupiah melemah 8,01% point-to-point. Rata-rata pelemahan rupiah adalah 1,1% per tahun.
Baca: Kilang RI Kalah dengan Malaysia, Bertekut Lutut ke Singapura!
Tingginya impor hasil minyak disebabkan oleh kapasitas pengolahan dalam negeri yang terbatas. Maklum, Indonesia praktis sudah puluhan tahun tidak membangun kilang baru.
Kilang terakhir yang dibangun di Indonesia adalah Balongan pada dekade 1990-an. Sudah sekitar 30 tahun tidak ada kilang baru.
"Kenapa sudah 30 tahun lebih kita tidak membangun satu kilang pun? Kilang ada turunannya, seperti petrokimia, masak kita masih impor? Ini tidak dikerjakan, ada apa? Ini gede banget. Kalau kita selesaikan kilang, impor petrokimia bisa kita turunkan," tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.
Berbanding terbalik dengan Singapura dan Malaysia, dua negara tersebut memiliki kilang yang dapat diandalkan. Walau teritorinya tidak lebih luas dari DKI Jakarta, Singapura lebih maju dalam hal kepemilikan kilang minyak.
Saat ini ada tiga kilang besar yang beroperasi di Negeri Singa yaitu ExxonMobil Jurong Island Refinery (kapasitas 605.000 barel/hari), SRC Jurong Island Refinery (290.000 barel/hari), dan Shell Pulau Bukom Refinery (500.000 barel/hari). Dengan kebutuhan domestik yang minim (populasi Singapura 'hanya' 5,7 juta), tidak heran Singapura punya kapasitas untuk menjadi pemasok energi bagi negara-negara tetangganya.
Sementara Malaysia berhasil merangkul raksasa minyak Arab Saudi, Saudi Aramco, untuk berinvestasi. Pada Maret 2018, Aramco dan Petronas mengumumkan kerja sama dengan membentuk dua usaha joint ventures untuk proyek pengembangan kilang dan petrokimia terpadu (Refinery and Petrochemical Integrated Development/RAPID Project).
Mengutip Oil & Gas Journal, proyek RAPID yang ditaksir bernilai US$ 28 miliar di daerah Pangerang ini akan segera masuk fase produksi. Nantinya, kilang ini berkapasitas 300.000 barel/hari plus memproduksi produk turunan minyak seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan petrokimia. Produk BBM dari kilang ini tidak main-main, sudah masuk standar Euro 5.
Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin bukannya tinggal diam. Pembangunan kilang sudah masuk di daftar proyek prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dalam dokumen tersebut, tercatat ada rencana proyek revitalisasi kilang Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai. Ditambah dua pembangunan kilang baru di Tuban dan Bontang.
Revitalisasi kilang Balikpapan dan Balongan diperkirakan makan waktu tiga tahun. Sementara Cilacap dan Dumai diperkirakan selesai dalam lima tahun. Sedangkan pembangunan kilang Dumai dan Tuban diperkirakan butuh waktu masing-masing enam tahun.
Perkiraan kebutuhan pendanaan proyek-proyek kilang ini adalah Rp 643 triliun. Anggarannya akan berasal dari PT Pertamina (Persero) dengan penugasan.
Manfaat proyek kilang, menurut dokumen RPJMN 2020-2024, ada dua. Pertama adalah meningkatkan penyediaan minyak mentah dan bahan bakar sehingga menurunkan ketergantungan kepada impor. Kedua adalah memproduksi hasil turunan kilang lainnya seperti petrokimia.
Namun rencana terbaik adalah rencana yang terwujud. Apakah Jokowi-Ma'ruf dapat mewujudkannya?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/gus) Next Article Tanpa Kilang, RI Sulit Jemawa di Hadapan Singapura!
Most Popular