
Pak Jokowi, RI Rugi Gede Loh Kalau Transisi Rokan Lama Begini
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 January 2020 16:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib tulang punggung lifting minyak RI, blok Rokan kini sedang terkatung-katung dalam masa transisi. Jika blok ini dibiarkan terus tak berproduksi, tentu hal ini akan merugikan negara yang nilainya dapat mencapai triliunan rupiah.
Kontrak Chevron Pasific Indonesia (CPI) untuk menggarap blok Rokan akan segera habis. Tepat pada Agustus 2021 nanti, kontrak beralih ke PT Pertamina sebagai pemenang tender blok migas raksasa milik RI ini.
Blok Rokan merupakan salah satu ladang minyak andalan RI. Dulu, blok ini pernah berjaya karena produksi minyaknya yang paling tinggi di antara blok migas lainnya. Blok Rokan meliputi wilayah yang luasnya mencapai 220 km2 dengan lebih dari 96 sumur minyak. Tiga di antaranya memiliki potensi minyak yang besar yaitu sumur Duri, Minas dan Bekasap.
Namun karena umurnya yang sudah tua, produksi minyak sumur ini terus menurun. Pada 2013, lifting minyak blok Rokan mencapai 315,8 ribu barel per hari. Artinya dalam satu tahun blok ini mampu mampu menghasilkan sekitar 106 juta barel minyak mentah dengan penghasilan mencapai US$ 11,2 miliar atau setara dengan Rp 112 triliun kala itu, mengingat harga minyak mentah (ICP) masih di atas US$ 100/barel.
Namun enam tahun berselang, produksi minyak blok Rokan turun 39,8%. Pada 2019 produksi minyak blok Rokan rata-rata per hari hanya 190 ribu barel saja. Produksi diperkirakan akan terus turun, pada 2020 produksi blok Rokan diramal hanya 161 ribu barel saja.
Selain masalah sumur yang usianya tua sehingga produksinya turun, CPI yang sudah menggarap blok ini seabad terakhir, dikabarkan sudah tidak melakukan aktivitas pengeboran. Salah satu alasan CPI tak melakukan aktivitas pengeboran adalah karena sudah tak ekonomis lagi.
Pertama kontrak sudah akan berakhir, kedua harga minyak juga tengah anjlok dan yang terakhir adalah produksi minyak di blok Rokan yang terus turun. Akibatnya biaya produksi CPI di blok Rokan relatif lebih tinggi dibanding kontraktor lain.
Sebagai catatan, pada 2018 biaya produksi CPI mencapai US$ 22 barel ekuivalen minyak (BOE), lebih tinggi dibanding rata-rata biaya produksi kontraktor lain yang hanya US$ 21,7 BOE.
Hal inilah yang menyebabkan blok Rokan ini semakin tak ekonomis yang membuat CPI harus merogoh kocek US$ 1,4 miliar (Rp 19,6 triliun) per tahun untuk produksi.
Tidak adanya lagi aktivitas pengeboran oleh CPI ini sangat membahayakan jika dibiarkan berlarut-larut. Masalahnya, ada di tenggat waktu kurang lebih satu tahun sebelum kontrak ini benar-benar beralih ke Pertamina.
Sempat ada wacana Pertamina akan membeli hak partisipasi CPI untuk melakukan pengeboran. Namun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa Pertamina tak perlu membeli hak partisipasi CPI untuk melakukan pengeboran.
Namun Arifin ragu Pertamina dapat masuk bulan ini. Saat ini tengah dilakukan negosiasi antara Pertamina dengan CPI. "Dikit lagi (negosiasi dengan Chevron), harusnya bisa ya (tanpa membeli hak partisipasi. Mudah-mudahan (bulan ini)," terangnya di Kementerian ESDM, Jumat, (24/01/2020).
Kontrak Chevron Pasific Indonesia (CPI) untuk menggarap blok Rokan akan segera habis. Tepat pada Agustus 2021 nanti, kontrak beralih ke PT Pertamina sebagai pemenang tender blok migas raksasa milik RI ini.
Blok Rokan merupakan salah satu ladang minyak andalan RI. Dulu, blok ini pernah berjaya karena produksi minyaknya yang paling tinggi di antara blok migas lainnya. Blok Rokan meliputi wilayah yang luasnya mencapai 220 km2 dengan lebih dari 96 sumur minyak. Tiga di antaranya memiliki potensi minyak yang besar yaitu sumur Duri, Minas dan Bekasap.
Namun enam tahun berselang, produksi minyak blok Rokan turun 39,8%. Pada 2019 produksi minyak blok Rokan rata-rata per hari hanya 190 ribu barel saja. Produksi diperkirakan akan terus turun, pada 2020 produksi blok Rokan diramal hanya 161 ribu barel saja.
Selain masalah sumur yang usianya tua sehingga produksinya turun, CPI yang sudah menggarap blok ini seabad terakhir, dikabarkan sudah tidak melakukan aktivitas pengeboran. Salah satu alasan CPI tak melakukan aktivitas pengeboran adalah karena sudah tak ekonomis lagi.
Pertama kontrak sudah akan berakhir, kedua harga minyak juga tengah anjlok dan yang terakhir adalah produksi minyak di blok Rokan yang terus turun. Akibatnya biaya produksi CPI di blok Rokan relatif lebih tinggi dibanding kontraktor lain.
Sebagai catatan, pada 2018 biaya produksi CPI mencapai US$ 22 barel ekuivalen minyak (BOE), lebih tinggi dibanding rata-rata biaya produksi kontraktor lain yang hanya US$ 21,7 BOE.
Hal inilah yang menyebabkan blok Rokan ini semakin tak ekonomis yang membuat CPI harus merogoh kocek US$ 1,4 miliar (Rp 19,6 triliun) per tahun untuk produksi.
Tidak adanya lagi aktivitas pengeboran oleh CPI ini sangat membahayakan jika dibiarkan berlarut-larut. Masalahnya, ada di tenggat waktu kurang lebih satu tahun sebelum kontrak ini benar-benar beralih ke Pertamina.
Sempat ada wacana Pertamina akan membeli hak partisipasi CPI untuk melakukan pengeboran. Namun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa Pertamina tak perlu membeli hak partisipasi CPI untuk melakukan pengeboran.
Namun Arifin ragu Pertamina dapat masuk bulan ini. Saat ini tengah dilakukan negosiasi antara Pertamina dengan CPI. "Dikit lagi (negosiasi dengan Chevron), harusnya bisa ya (tanpa membeli hak partisipasi. Mudah-mudahan (bulan ini)," terangnya di Kementerian ESDM, Jumat, (24/01/2020).
Pages
Most Popular