Pak Jokowi, RI Rugi Gede Loh Kalau Transisi Rokan Lama Begini

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 January 2020 16:02
Rugi Besar Kalau Blok Rokan Tak Berproduksi
Foto: detikFinance/Muhammad Idris
Sebelumnya, Pertamina sempat menyampaikan ke awak media terkait rencana membeli hak partisipasi Chevron di Blok Rokan. Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan Pertamina akan terus mendorong negosiasi dengan Chevron agar negosiasi bisa segera diselesaikan.

"Negosiasi dengan Chevron dengan maksimal agar dapat segera diselesaikan," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat, (24/01/2020). Lebih lanjut dirinya menerangkan, partisipasi adalah kepemilikan di lapangan. Pertamina, imbuhnya, sudah menang tender di Blok Rokan. "Terkait pengeboran di tahun 2020 itu menjadi bagian itu menjadi bagian yang sedang dinegosiasikan untuk tahapan transaksi," imbuhnya.

Harapannya, negosiasi dapat berjalan lancar dan Pertamina dapat segera melakukan pengeboran sehingga produksi tidak langsung turun drastis. Sekarang mari bayangkan jika sampai dengan Agustus 2021 blok Rokan mangkrak.

Berdasarkan estimasi Tim Riset CNBC Indonesia, produksi minyak dalam negeri akan turun hingga 26% dengan asumsi produksi di blok lain tak mengalami penurunan signifikan.

Saat ini lifting minyak RI mencapai 741 ribu barel per hari. Jika blok Rokan tak berproduksi maka produksi minyak RI menjadi 580 ribu barel per hari. Sementara kebutuhan minyak tanah air saat ini per hari telah melebihi 1,3 juta barel per hari. Artinya ada gap sebesar 720 ribu barel per hari di sana.

Jika sumber bahan bakar ini tak disubstitusi dengan sumber lain, maka kekurangan ini harus ditambal dengan impor minyak mentah atau hasil minyak. Sebagai catatan, pada 2019 RI mengimpor minyak mentah senilai US$ 5,7 miliar (Rp 79,8 triliun) dan impor hasil minyak sebesar US$ 13,7 miliar (Rp 191,8 triliun).

Dengan asumsi harga minyak mentah impor mencapai US$ 76/barel (MOPS) maka kerugian yang diderita oleh RI dalam setahun jika produksi turun drastis, tambahan kerugiannya bisa mencapai US$ 4,1 miliar (Rp 57,4 triliun). Ini berdasarkan asumsi kasar saja tanpa mempertimbangkan faktor seperti, kenaikan atau penurunan produksi blok lain dan kapasitas kilang minyak.

Tambahan impor tersebut tentu membuat neraca perdagangan RI semakin berat. Seperti diketahui bersama bahwa neraca dagang non-migas Indonesia masih surplus. Namun neraca dagang RI selalu tekor karena impor migas yang bisa dibilang jor-joran.

Dampak lebih lanjutnya adalah defisit transaksi berjalan yang semakin bengkak dan juga pendapatan dari PPh Migas yang semakin turun. Jika pendapatan negara dari PPh Migas turun, maka ruang fiskal RI akan semakin sempit.

Ini adalah skenario terburuk yang mungkin terjadi. Bagaimanapun juga upaya untuk menjaga produksi minyak harus tetap dilakukan bagaimanapun caranya, jangan sampai lifting semakin anjlok.



TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/gus)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular