
Tak Cuma Mafia, Ini Juga Bikin RI Tak Bangun Kilang 30 Tahun!
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
26 December 2019 15:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama Pertamina (2006 - 2009), Ari Soemarno buka-bukaan soal hal yang paling sering bikin pembangunan kilang RI berjalan lambat. Bukan sekadar mafia, tapi juga soal biaya yang besar dan margin yang tipis.
Oleh sebab itu, ia mengatakan pembangunan kilang tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Pertamina sebab pembiayaannya bisa mencapai US$ 10 miliar per unit.
PT Pertamina (Persero) harus mencari partner dengan memberikan jaminan keekonomian.
"Sejak 25 tahun lalu keekonomian ya kayak gitu, tapi China, Arab Saudi bangun kilang terus karena untuk security energi," ungkapnya, Jum'at, (20/12/2019).
Negara lain menurutnya berkorban menciptakan keekonomian sendiri, misalnya memberikan Internal Rate Return (IRR) sesuai dengan permintaan investor. Ari mengenang saat dirinya masih jadi Dirut Pertamina, pernah mengusulkan agar Pertamina yang bangun dan cari investor, namun IRR dijamin 10-12 %.
Akan tetapi, melalui penjaminan ini harus ada margin tertentu. Sayangnya margin tertentu ini lebih tinggi sehingga bisa berdampak pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang lebih tinggi. "Biarin ini Pertamina yang tanggung, tapi jangan dimarahin, jangan di KPK kan, dan Kejaksakan," pintanya.
Hal ini menurutnya yang Pertamina lakukan pada zaman Ode Baru ketika membangun Kilang Balongan. "Malah harganya dinaikkan 5% bisa itu ada keekonomianya," ungkapnya.
Menurutnya, sudah sekian tahun hal semacam itu tidak boleh dilakukan. Sehingga tidak ada yang berani menciptakan keekonomian termasuk Pertamina sendiri. Lamanya pembangunan kilang membuat Presiden Joko Widodo kesal, lebih dari 30 tahun tidak ada satupun kilang terbangun.
Banyak kendala dalam proyek kilang ini, misalnya tarik ulur dengan Saudi Aramco sejak tahun 2014 untuk pembangunan Refinery Development Master Plan (RDMP) Kilang Cilacap. Menurut Ari lamanya proses valuasi ini karena ada ketidakcocokan. Dari pihak Aramco menggunakan valuasi ekonomi yang rasional dengan memperoleh IRR 10%.
Sementara valuasi dari Pertamina menginginkan hasil yang tinggi, sehingga tidak kunjung cocok dalam penentuan valuasi. "Jangan salahkan Saudi Aramco, dia partner yang paling strategis dia punya minyak yang bisa 200 tahun supply dan dia punya uang," terangnya.
Dari posisi calon investor, Ari sebelumnya juga pernah mengatakan jejak rekam Saudi Aramco dan kemampuan finansialnya tidak perlu diragukan. Jika kesepakatan bisa segera diteken, malah proyek bisa jadi lebih dulu digarap dan selesai ketimbang kilang Tuban yang menggandeng investor asal Rusia, Rosneft.
Pertamina, kata dia, semestinya tidak buntu negosiasi di nilai valuasi investasi. Sebab, dengan Aramco ada beberapa kelebihan yang tidak didapatkan jika menggarap sendiri atau mencari investor lain yakni soal kepastian pasokan minyak mentah.
"Untuk bangun kilang paling penting itu pendanaan, ini sudah ada di depan mata. Jangan sampai lepas."
(gus/gus) Next Article Rencana Bangun Kilang RI Suka Hilang Tiba-tiba, Ada Apa?
Oleh sebab itu, ia mengatakan pembangunan kilang tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Pertamina sebab pembiayaannya bisa mencapai US$ 10 miliar per unit.
PT Pertamina (Persero) harus mencari partner dengan memberikan jaminan keekonomian.
Negara lain menurutnya berkorban menciptakan keekonomian sendiri, misalnya memberikan Internal Rate Return (IRR) sesuai dengan permintaan investor. Ari mengenang saat dirinya masih jadi Dirut Pertamina, pernah mengusulkan agar Pertamina yang bangun dan cari investor, namun IRR dijamin 10-12 %.
Akan tetapi, melalui penjaminan ini harus ada margin tertentu. Sayangnya margin tertentu ini lebih tinggi sehingga bisa berdampak pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang lebih tinggi. "Biarin ini Pertamina yang tanggung, tapi jangan dimarahin, jangan di KPK kan, dan Kejaksakan," pintanya.
Hal ini menurutnya yang Pertamina lakukan pada zaman Ode Baru ketika membangun Kilang Balongan. "Malah harganya dinaikkan 5% bisa itu ada keekonomianya," ungkapnya.
Menurutnya, sudah sekian tahun hal semacam itu tidak boleh dilakukan. Sehingga tidak ada yang berani menciptakan keekonomian termasuk Pertamina sendiri. Lamanya pembangunan kilang membuat Presiden Joko Widodo kesal, lebih dari 30 tahun tidak ada satupun kilang terbangun.
Banyak kendala dalam proyek kilang ini, misalnya tarik ulur dengan Saudi Aramco sejak tahun 2014 untuk pembangunan Refinery Development Master Plan (RDMP) Kilang Cilacap. Menurut Ari lamanya proses valuasi ini karena ada ketidakcocokan. Dari pihak Aramco menggunakan valuasi ekonomi yang rasional dengan memperoleh IRR 10%.
Sementara valuasi dari Pertamina menginginkan hasil yang tinggi, sehingga tidak kunjung cocok dalam penentuan valuasi. "Jangan salahkan Saudi Aramco, dia partner yang paling strategis dia punya minyak yang bisa 200 tahun supply dan dia punya uang," terangnya.
Dari posisi calon investor, Ari sebelumnya juga pernah mengatakan jejak rekam Saudi Aramco dan kemampuan finansialnya tidak perlu diragukan. Jika kesepakatan bisa segera diteken, malah proyek bisa jadi lebih dulu digarap dan selesai ketimbang kilang Tuban yang menggandeng investor asal Rusia, Rosneft.
Pertamina, kata dia, semestinya tidak buntu negosiasi di nilai valuasi investasi. Sebab, dengan Aramco ada beberapa kelebihan yang tidak didapatkan jika menggarap sendiri atau mencari investor lain yakni soal kepastian pasokan minyak mentah.
"Untuk bangun kilang paling penting itu pendanaan, ini sudah ada di depan mata. Jangan sampai lepas."
![]() |
(gus/gus) Next Article Rencana Bangun Kilang RI Suka Hilang Tiba-tiba, Ada Apa?
Most Popular