Realisasi PMA Tak Capai Target Lagi, Omnibus Law Solusinya?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
29 January 2020 12:40
Realisasi PMA Tak Capai Target Lagi, Omnibus Law Solusinya?
Foto: CNBC Indonesia / Efrem Limsan Siregar
Jakarta, CNBC Indonesia - Realisasi investasi asing (PMA) untuk tahun 2019 tak mencapai target. Pemerintah masih punya PR besar untuk menarik investasi asing berkualitas masuk ke dalam negeri.

Menurut rilis data BKPM , realisasi PMA kuartal IV 2019 mencapai Rp 105,3 triliun, naik 0,3% dibanding kuartal sebelumnya (qoq) dan 6,4% (yoy). Secara kumulatif nilai realisasi investasi asing mencapai Rp 423,1 triliun lebih tinggi dari capaian tahun lalu yang hanya Rp 392,7 triliun. Artinya secara kumulatif realisasinya naik 7,7% (yoy).

Walaupun mengalami kenaikan, yang perlu dicermati di sini adalah apakah target realisasi PMA tercapai? Ternyata sejak 2018 target realisasi PMA tak tercapai. Pada 2018 pencapaian realisasi PMA hanya 82,3%. Padahal pada tiga tahun sebelumnya dapat mencapai lebih dari 100%.

Pada 2019 sendiri capaiannya walau meningkat tetap tak mencapai target. Dari target yang dipatok sebesar Rp 483,7 triliun realisasinya hanya mampu mencapai 87,5%.



Berbicara tentang PMA, investasi ini merupakan investasi langsung. Artinya bukan portfolio. Secara simpelnya investor asing melakukan ekspansi di Indonesia dengan membeli aset atau bahkan membangun aset di Indonesia. Dampak perekonomiannya ke sektor real lebih terasa karena dapat mendorong industrialisasi dan menyerap tenaga kerja.

Investasi jenis ini berbeda dengan investasi pada portofolio di saham atau obligasi pemerintah yang sifatnya temporer. Artinya investor bisa kapan saja menarik uangnya dari Indonesia. Sehingga Indonesia membutuhkan investasi yang sifatnya jangka panjang seperti PMA ini.

PMA penting untuk Indonesia karena secara angka, nilai PMA ini lebih tinggi dibanding dengan investasi domestik atau yang lebih sering dikenal dengan PMDN.

Namun, tren beberapa tahun terakhir investasi asing lebih banyak masuk ke sektor-sektor tersier seperti jasa. Perubahan pola investasi ini juga memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia.

Sejak 2014, proporsi alokasi realisasi PMA di sektor jasa terus meningkat. Proporsi yang dialokasikan untuk sektor primer atau manufaktur terus menurun. Padahal sektor manufaktur sendiri merupakan sektor yang padat karya. Artinya banyak menyerap lapangan pekerjaan.

Investasi Asing di Sektor Primer Proporsinya Terus Menurun

Realisasi PMA Tak Capai Target Lagi, Omnibus Law Solusinya?Sumber : BKPM


Tren Serapan Tenaga Kerja PMA Cenderung Turun 2017-2019

Realisasi PMA Tak Capai Target Lagi, Omnibus Law Solusinya?Sumber : BKPM
Tren lain yang juga berkembang saat ini adalah banyak investasi asing yang lebih melirik perusahaan rintisan/ start up berbasis teknologi untuk disuntik dana. 

Menurut Google, Bain & Company dan Temasek dalam laporannya yang berjudul Internet Economy SEA menyebut total ada 820 seri pendanaan startup pada 2019 dengan rata-rata dana yang dihimpun tiap ronde pendanaan mencapai US 12,3 juta.



Artinya dalam setahun kurang lebih ada suntikan dana senilai US$ 10,1 miliar. Sebagai perbandingan, di sepanjang 2019 total realisasi investasi asing di Indonesia jika dihitung dalam dolar nilainya mencapai US$ 28,2 miliar.

Jika dana yang dihimpun start up dibandingkan dengan realisasi investasi pada 2019 proporsinya mencapai 35,8%. Jelas angka yang besar. Walau pendanaan start up tidak seluruhnya berasal dari asing, tetapi peran investor asing tetap saja besar secara nominal. Bisa juga melalui mekanisme perusahaan seperti venture capital asing menyuntikkan dana ke venture capital lokal baru disuntik ke start up.

Menuurt CB Insights beberapa investor strategis yang menyuntikkan dananya ke start up di Indonesia antara laun, KKR, Alibaba, Tencent, Meituan Dianping dan masih banyak lagi. Investasi ke perusahaan rintisan berbasis teknologi digital memang suatu hal yang bagus. Namun hal ini juga perlu diantisipasi jangan sampai Indonesia hanya menjadi ‘pasar’ bukan ‘pemain’.

Pasalnya walau pertumbuhan ekonomi digital Indonesia tumbuh dengan sangat pesat, tetapi secara infrastruktur dan tenaga kerja terutama masih belum bisa dikatakan siap betul.

Mari ambil contoh terkait tenaga kerja. Untuk sektor digital, Indonesia masih kekurangan tenaga kerja yang memiliki keterampilan digital sebanyak 600 ribu per tahun. Artinya dalam sepuluh tahun ke depan gapnya bisa mencapai 6-7 juta.

Selain itu, sektor ini juga lebih dikenal dengan sektor padat modal ketimbang padat karya. Padahal dengan adanya investasi asing diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja.

Sekali lagi bukan berarti investasi di perusahaan rintisan itu tidak penting atau tak membawa manfaat. Di sini peran pemerintah sebagai pemangku kebijakan adalah membuat ramuan agar investasi asing ini memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian dan sektor real.

Investasi asing ke sektor-sektor primer seperti manufaktur harus terus digenjot terutama investasi yang mendorong industrialisasi di Indonesia. Jangan sampai investasi di sektor ini terus ditinggalkan. Karena maju atau tidaknya sebuah bangsa juga bisa dilihat dari seberapa hebat industri manufakturnya. Artinya investasi asing yang masuk ke Indonesia haruslah yang berkualitas sehingga dapat menyerap tenaga kerja serta mendorong kemajuan industri. 

Berkaca dari China dan Jepang saja yang masih satu Asia, keduanya memiliki sektor manufaktur yang unggul sehingga dapat berkembang menjadi raksasa ekonomi global.

Saat ini pemerintahan Jokowi sedang punya hajat untuk mewujudkan cita-cita Indonesia jadi lima besar raksasa ekonomi di tahun 2045 nanti. Untuk bisa mencapai cita-cita tersebut, Indonesia butuh menggenjot pertumbuhan ekonomi di angka 6%-7%.

Indonesia harus keluar dari batas bawah pertumbuhan ekonomi 5% seperti yang dialami dalam 5 tahun terakhir. Dalam konteks investasi, jika ekonomi ingin tumbuh 6% maka butuh Rp 4.800 triliun investasi baru. Angka ini jelas sangat fantastis mengingat total investasi asing maupun dalam negeri yang selama ini direalisasikan di Indonesia hanya berkisar di angka Rp 700-an triliun.

Untuk itu, pemerintah sedang menggodok undang-undang sapu jagad atau yang lebih dikenal dengan RUU Cipta Lapangan Kerja. Metode yang digunakan untuk membuat UU ini adalah dengan teknik omnibus. Maka produknya sering dikenal dengan omnibus law.

Singkatnya omnibus law ini adalah sebuah payung yang digunakan sebagai landasan bagi peraturan lain. Omnibus law dapat merevisi, menghapus atau menambah pasal-pasal dari undang-undang yang sudah ada.

Omnibus Law banyak diimplementasikan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law (anglo saxon). Beberapa negara yang pernah menerapkan Omnibus Law diantaranya Kanada dan Filipina. Namun teknik ini juga digunakan di negara yang menganut sistem hukum civil law seperti Vietnam.

Omnibus law memang bukan hal yang baru di dunia. Walau tergolong baru di Indonesia, nyatanya ada beberapa undang-undang RI yang memiliki karakteristik seperti omnibus law yakni Perpu 1 /2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan UU 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.

Omnibus Law memang memiliki beberapa keuntungan. Menurut kajian Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Omnibus Law memiliki tiga manfaat.

Pertama, dengan Omnibus Law, pemerintah dan parlemen tidak perlu merevisi undang-undang satu per satu, melainkan cukup membuat satu undang-undang baru yang mengamendemen pasal-pasal dalam beberapa undang-undang sekaligus.

Kedua, dapat dikatakan, sepanjang didahului dengan identifikasi dan pemetaan permasalahan yang komprehensif, skema Omnibus Law menciptakan efisiensi dan efektivitas karena menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi suatu peraturan besar. Ketiga berfungsi sebagai payung hukum.

Untuk dapat menarik investor, maka iklim investasinya harus dibuat kondusif. Banyak faktor yang dipertimbangkan oleh investor dalam memilih negara mana yang layak untuk diberi kucuran dana.

Investor mengeluhkan aturan di Indonesia yang tidak jelas, tumpang tindih serta birokrasi berbelit-belit. Tak hanya itu investor juga menilai aturan ketenagakerjaan di Indonesia juga terlalu kaku. Oleh karena itu, pemerintah membuat gebrakan dengan adanya RUU Cipta Lapangan Kerja yang saat ini tengah digodok.

Namun karena baru pertama kali, alangkah baiknya pemerintah tak tergesa-gesa dan kembali meninjau urgensi secara komprehensif. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang diambil tepat sasaran.

Poin lain yang juga harus diperhatikan pemerintah adalah sebaiknya Omnibus Law tidak perlu menyentuh perubahan yang bersifat prinsip dan mendasar serta memiliki implikasi terlalu besar.

Yang terakhir adalah proses yang transparan dan kredibel tetap diperlukan. Dalam menggodok aturan ini, setiap elemen harus dilibatkan agar Omnibus Law ini benar-benar menjadi payung hukum milik bersama dan bukan golongan tertentu saja. Karena jika aturan ini memihak satu golongan saja, maka dampak ekonominya tak akan terasa signifikan.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular