
Sofjan Wanandi: Kalau Upah Per Jam Berlaku, Rugi Kita!
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
07 January 2020 16:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Sistem upah per jam masuk dalam RUU Omnibus Law cipta lapangan kerja. Sistem ini memang jadi usulan pengusaha, yang mengedepankan pada upah berbasis produktivitas.
Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi mengusulkan sistem tak berlaku pada karyawan tetap. Sebab bila berlaku pada karyawan tetap, justru menurutnya pengusaha akan rugi.
"Saya pikir per jam itu paling baik. Bukan karyawan (karyawan tetap), karyawan kita yang tetap itu tetap bulanan, kita juga enggak mau dia jam-jaman, karena rugi kita," kata Sofjan di Jakarta, Selasa (7/1).
Untuk itu tak semua pekerja berlaku sistem pengupahan per jam, karena ada beberapa karakter pekerja atau sektor yang tak bisa berlaku rencana sistem ini.
"Yang kita perlukan jam-jaman itu adalah pekerja-pekerja seperti ibu rumah tangga, dia kalau jaga anaknya, dia bisa kerja sore, itu dia bisa kerja jam-jaman. Itu juga bisa kerja," kata Sofjan.
Menurutnya selama ini banyak dunia usaha yang menanggung beban dari biaya upah untuk pekerja yang harusnya bisa dihitung per jam, tak menggunkan sistem upah per bulan. Sistem upah saat ini mengacu pada bulanan dan ada ketentuan upah minimumnya.
"Itu di seluruh dunia ya begitu, dia kerja jam-jaman di McD setelah itu dia bisa keluar lagi. Itu semua menguntungkan termasuk buruhnya sendiri," katanya.
Ia mengakui serikat buruh menolak sistem pengupahan berbasis per jam. Padahal sistem ini tak menggantikan seluruhnya dari sistem yang sudah ada.
"Buruhnya Ndak ngerti maksudnya jam-jaman itu seolah-olah menggantikan, kita juga enggak mau," katanya.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang mengatakan dirinya memilih untuk pro industri dalam menyikapi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Salah satu yang didukung adalah sistem upah per jam atau berbasis produktivitas.
Dalam RUU Omnibus Law itu, sektor ketenagakerjaan masuk dalam kluster pembahasan, namun sampai saat ini masih belum menemukan titik terang lantaran isu yang digarap cukup sensitif.
Ia menekankan harus ada titik tengah antara kepentingan pengusaha dan buruh yang selama ini tarik ulur dalam pelbagai isu. Terlebih, di RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, keterlibatan kalangan buruh minim untuk membahasnya.
"Itu harus dicari titik keseimbangan, harus dirumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang berkeadilan. Jangan sampai orang yang kerja 10 jam dapat upah dengan 14 jam. Ketidakadilan akan nampak di situ," ucapnya.
(hoi/hoi) Next Article Wah! Pekerja Restoran di RI Bakal Diterapkan Upah Per Jam
Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi mengusulkan sistem tak berlaku pada karyawan tetap. Sebab bila berlaku pada karyawan tetap, justru menurutnya pengusaha akan rugi.
"Saya pikir per jam itu paling baik. Bukan karyawan (karyawan tetap), karyawan kita yang tetap itu tetap bulanan, kita juga enggak mau dia jam-jaman, karena rugi kita," kata Sofjan di Jakarta, Selasa (7/1).
"Yang kita perlukan jam-jaman itu adalah pekerja-pekerja seperti ibu rumah tangga, dia kalau jaga anaknya, dia bisa kerja sore, itu dia bisa kerja jam-jaman. Itu juga bisa kerja," kata Sofjan.
Menurutnya selama ini banyak dunia usaha yang menanggung beban dari biaya upah untuk pekerja yang harusnya bisa dihitung per jam, tak menggunkan sistem upah per bulan. Sistem upah saat ini mengacu pada bulanan dan ada ketentuan upah minimumnya.
"Itu di seluruh dunia ya begitu, dia kerja jam-jaman di McD setelah itu dia bisa keluar lagi. Itu semua menguntungkan termasuk buruhnya sendiri," katanya.
Ia mengakui serikat buruh menolak sistem pengupahan berbasis per jam. Padahal sistem ini tak menggantikan seluruhnya dari sistem yang sudah ada.
"Buruhnya Ndak ngerti maksudnya jam-jaman itu seolah-olah menggantikan, kita juga enggak mau," katanya.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang mengatakan dirinya memilih untuk pro industri dalam menyikapi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Salah satu yang didukung adalah sistem upah per jam atau berbasis produktivitas.
Dalam RUU Omnibus Law itu, sektor ketenagakerjaan masuk dalam kluster pembahasan, namun sampai saat ini masih belum menemukan titik terang lantaran isu yang digarap cukup sensitif.
Ia menekankan harus ada titik tengah antara kepentingan pengusaha dan buruh yang selama ini tarik ulur dalam pelbagai isu. Terlebih, di RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, keterlibatan kalangan buruh minim untuk membahasnya.
"Itu harus dicari titik keseimbangan, harus dirumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang berkeadilan. Jangan sampai orang yang kerja 10 jam dapat upah dengan 14 jam. Ketidakadilan akan nampak di situ," ucapnya.
(hoi/hoi) Next Article Wah! Pekerja Restoran di RI Bakal Diterapkan Upah Per Jam
Most Popular