Ulasan 2019

Pertumbuhan Ekonomi 2019: Cahaya di Ujung Terowongan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 December 2019 06:38
Pertumbuhan Ekonomi 2019: Cahaya di Ujung Terowongan
Ilustrasi Proyek Infrastruktur (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Pepatah itu mungkin tepat untuk menggambarkan kinerja ekonomi Indonesia pada 2019. Setelah didera masalah sejak awal tahun, ada harapan ekonomi Tanah Air akan membaik pada kuartal terakhir.

Ya, 2019 memang tidak mudah. Pada awal tahun sempat ada optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi 2019 bakal lebih baik ketimbang 2018 yang 5,17% itu.

Keyakinan itu membuat pemerintah memasang asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Sementara Bank Indonesia (BI) sedianya memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2019 tumbuh di titik tengah rentang 5-5,4%.

Harapan akan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik bukan tanpa alasan. Tahun ini, Indonesia menggelar Pemilu untuk memilih para wakil rakyat serta presiden-wakil presiden.

Pada tahun Pemilu, ada tambahan belanja negara untuk berbagai kebutuhan plus belanja kampanye dari para kandidat. Konsumsi pemerintah dan rumah tangga diharapkan melaju kencang sehingga mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi.

Baca: Ini Dampak Pemilu terhadap Pertumbuhan Ekonomi versi BI

Namun harapan itu mulai pudar kala Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 pada awal Mei. Angka yang keluar adalah 5,07% year-on-year (YoY), lumayan jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,19% YoY.

Pada Januari-Maret 2019, konsumsi pemerintah tumbuh lumayan yaitu 5,2% YoY. Melonjak dibandingkan periode yang sama pada 2018 yang membukukan pertumbuhan 2,71% YoY.

Akan tetapi, kenaikan belanja pemerintah tidak mampu mendongkrak konsumsi rumah tangga secara signifikan sehingga 'hanya' tumbuh 5,02% YoY. Ini menjadi laju terlemah sejak kuartal I-2018.


"Pengaruh belanja terkait kegiatan Pemilu 2019 terhadap konsumsi lebih rendah dari prakiraan," sebut keterangan tertulis BI usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Mei 2019.

Di sini terlihat 'iman' BI mulai goyah. Bukan tanpa alasan, karena perlambatan ekspor akibat friksi dagang (terutama Amerika Serikat/AS vs China) ternyata sudah berdampak terhadap konsumsi dan investasi. BI masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 di 5-5,4%, tetapi sudah bergeser ke bawah titik tengahnya.


Masuk ke kuartal II, tentu ada harapan ekonomi bisa tumbuh lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya. Pertama, Pemilu legislatif dan presiden-wakil presiden dihelat serentak April sehingga pengeluaran terkait pesta demokrasi tentu semakin gencar.

Kedua, Ramadan tahun ini dimulai pada 5 Mei dan Idul Fitri dirayakan pada 3-4 Juni. Momentum Ramadan-Idul Fitri adalah puncak konsumsi, tidak ada yang lebih dari ini.

Namun lagi-lagi kita semua harus kecewa. Pada pekan pertama Agustus, BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 adalah 5,05% YoY. Malah lebih rendah ketimbang kuartal I-2019, meski sudah diduga oleh pelaku pasar karena sama persis dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia.

Baca: Sedih, Ekonomi RI Kuartal II-2019 Diramal Cuma Tumbuh 5,05%

"Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2019 tercatat 5,05% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan capaian triwulan sebelumnya sebesar 5,07% (yoy), terutama akibat pertumbuhan ekspor yang masih mengalami kontraksi," sebut keterangan tertulis BI usai RDG Agustus 2019.

Berbekal realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 yang alakadarnya, padahal ada Pemilu dan Ramadan-Idul Fitri, maka tidak ada ekspektasi yang berlebihan pada kuartal III-2019. Bahkan ada pemikiran pertumbuhan ekonomi tidak di bawah 5% saja sudah bagus sekali.

Sikap setengah putus asa itu akhirnya berbuah self fulfilling prophecy. Pada awal November, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 sebesar 5,02%, sama seperti konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia. Ini mejadi laju terlemah sejak kuartal II-2017.




Kembali ke kalimat pembuka tulisan ini, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Setelah melalui tiga kuartal dengan penuh keprihatinan, ada asa pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 bisa lebih baik.

"Perkembangan terkini menunjukkan keyakinan konsumen meningkat bersamaan dengan pola musiman jelang akhir tahun sehingga dapat menopang konsumsi rumah tangga tetap baik. Perkembangan positif ini diperkuat ekspansi fiskal sejalan dengan pola musiman akhir tahun sehingga makin mendorong pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2019.

Perbaikan ekspor antara lain dipengaruhi naiknya ekspor pulp, waste paper, dan serat tekstil ke Tiongkok, masih kuatnya ekspor besi baja ke Tiongkok dan ASEAN, serta berlanjutnya ekspor kendaraan bermotor ke ASEAN dan Arab Saudi. Investasi mulai tercatat meningkat di beberapa daerah seperti di Sulawesi terkait hilirisasi nikel, dan diperkirakan akan terus meningkat dengan sejumlah kebijakan transformasi ekonomi yang ditempuh pemerintah dan mulai meningkatnya keyakinan dunia usaha.

Investasi bangunan juga terus membaik didorong peningkatan kegiatan konstruksi. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2019 diprakirakan membaik," papar keterangan tertulis RDG BI edisi Desember 2019.

Baca: China, India, Indonesia Siap Sambut 2020 dengan Gegap-Gempita

Pada November, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tercatat 124,2. Membaik dibandingkan Oktober yang sebesar 118,4.

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Angka di atas 100 menandakan konsumen percaya diri menghadapi tantangan ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan. IKK Indonesia yang terus naik berarti konsumen Indonesia semakin pede.

 

Kemudian pada Oktober, penjualan ritel tumbuh 3,6% YoY. Lebih baik dibandingkan pertumbuhan September sekaligus menjadi yang catatan terbaik sejak Mei.



BI juga menyebut optimisme dunia usaha membaik. Untuk mengukur kepercayaan diri dunia usaha, indikator yang biasa dipakai adalah Purchasing Managers' Index (PMI). PMI menggunakan 50 sebagai start, angka di atas 50 berarti dunia usaha tidak melakukan ekspansi, malah terkontraksi.

Pada November, PMI manufaktur Indonesia berada di 48,2. Meski masih di teritori kontraksi, tetapi ada harapan untuk membaik karena PMI manufaktur November mencatat kenaikan dibandingkan Oktober.



Penjualan ritel, IKK, dan PMI adalah sejumlah parameter leading indicator. Leading indicator adalah beberapa data yang biasa digunakan untuk meneropong arah perekonomian ke depan.

Oleh karena itu, perbaikan penjualan ritel, IKK, sampai PMI memberi gambaran bahwa prospek ekonomi Indonesia bakal cerah. Ada harapan yang bukan pepesan kosong bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 bakal lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya.

At the end of the storm, there's a golden sky. Bak penggalan lirik lagu You'll Never Walk Alone itu, sepertinya pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mencapai titik nadir dan siap untuk bangkit. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular