
Bye Resesi, Kamu Jangan Datang Lagi!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 December 2019 13:19

Sekarang masalahnya ada di China. Betul ekonomi Negeri Tirai Bambu masih terus tumbuh, tidak ada kontraksi. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi China terus melambat, mustahil untuk mencapai dua digit seperti dekade lalu.
China sedang dalam proses reformasi dan penyesuaian. Pertumbuhan ekonomi dua digit ternyata menimbulkan komplikasi yaitu pembengkakan utang pemerintah dan korporasi.
Selama 2008-2014, utang luar negeri China rata-rata tumbuh 26,56% per tahun. Seiring peningkatan risiko utang, China pun mencoba mengerem lajunya dan sukses. Pada 2015-2019, pertumbuhan utang luar negeri hanya 4,01% per tahun.
Â
Proses kalibrasi ulang ini membuat ekonomi China terus melambat. Tahun ini, Beijing menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-6,5%. Pada 2020, targetnya turun menjadi sekitar 6%.
"Kami menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan berada di kisaran yang wajar. Sekitar 6%," ungkap seorang sumber di lingkar dalam pemerintahan China, seperti diwartakan Reuters.
Ketika ekonomi China melambat, artinya permintaan turun. Ini adalah kabar buruk bagi negara-negara yang menjadikan China sebagai negara tujuan ekspor utama, salah satunya Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor non-migas Indonesia ke China sepanjang Januari-November 2019 adalah US$ 23,54 miliar. Ini sama dengan 16,62% dari total ekspor non-migas.
Jadi ketika permintaan China berkurang, maka kinerja ekspor Indonesia akan terpukul. Ekspor masih akan sulit diandalkan sebagai salah satu mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kalau ekspor melambat, maka sudah pasti konsumsi dan investasi akan melambat. Kemudian harga komoditas akan turun. Kemungkinan sampai 2020 ekspor-impor tidak begitu improving," kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia, kala berbincang dengan awak Detik Network, belum lama ini.
Well, mungkin 'hantu' resesi sekarang sudah tidak terlalu menakutkan. Namun bukan berarti masalah selesai, karena masih ada risiko berupa perlambatan ekonomi.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji)
China sedang dalam proses reformasi dan penyesuaian. Pertumbuhan ekonomi dua digit ternyata menimbulkan komplikasi yaitu pembengkakan utang pemerintah dan korporasi.
Selama 2008-2014, utang luar negeri China rata-rata tumbuh 26,56% per tahun. Seiring peningkatan risiko utang, China pun mencoba mengerem lajunya dan sukses. Pada 2015-2019, pertumbuhan utang luar negeri hanya 4,01% per tahun.
Proses kalibrasi ulang ini membuat ekonomi China terus melambat. Tahun ini, Beijing menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-6,5%. Pada 2020, targetnya turun menjadi sekitar 6%.
"Kami menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan berada di kisaran yang wajar. Sekitar 6%," ungkap seorang sumber di lingkar dalam pemerintahan China, seperti diwartakan Reuters.
Ketika ekonomi China melambat, artinya permintaan turun. Ini adalah kabar buruk bagi negara-negara yang menjadikan China sebagai negara tujuan ekspor utama, salah satunya Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor non-migas Indonesia ke China sepanjang Januari-November 2019 adalah US$ 23,54 miliar. Ini sama dengan 16,62% dari total ekspor non-migas.
Jadi ketika permintaan China berkurang, maka kinerja ekspor Indonesia akan terpukul. Ekspor masih akan sulit diandalkan sebagai salah satu mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kalau ekspor melambat, maka sudah pasti konsumsi dan investasi akan melambat. Kemudian harga komoditas akan turun. Kemungkinan sampai 2020 ekspor-impor tidak begitu improving," kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia, kala berbincang dengan awak Detik Network, belum lama ini.
Well, mungkin 'hantu' resesi sekarang sudah tidak terlalu menakutkan. Namun bukan berarti masalah selesai, karena masih ada risiko berupa perlambatan ekonomi.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji)
Pages
Most Popular