
Bye Resesi, Kamu Jangan Datang Lagi!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 December 2019 13:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah melalui periode sulit dalam hampir dua tahun terakhir, sepertinya dunia usaha mulai bangkit. Kepercayaan diri mereka pulih dan siap untuk kembali berekspansi.
Mengutip survei Reuters/INSEAD, kebangkitan optimisme dunia usaha mulai terlihat pada kuartal IV-2019. Indeks keyakinan bisnis di Asia pada kuartal IV-2019 berada di angka 71. Naik drastis dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 58 dan berada di posisi terbaik sejak kuartal I-2018.
Survei Reuters melibatkan 102 perusahaan di 11 negara Asia-Pasifik. Sektornya pun bervariasi mulai dari otomotif, energi, sampai pariwisata.
Seperti halnya Purchasing Managers Index (PMI), keyakinan bisnis menggunakan angka 50 sebagai titik start. Angka di atas 50 berarti dunia usaha sedang ekspansif. Apalagi kalau sampai 71, optimismenya sedang sangat tinggi.
"Kondisi dan ekspektasi dunia usaha membaik seiring kadar ketidakpastian yang berkurang dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun bukan berarti ketidakpastian itu hilang, saya rasa tensi masih akan ada sampai beberapa tahun ke depan, bahkan hitungan dekade," kata Antonio Fatas, Profesor Ekonomi INSEAD Business School Singapura, seperti diberitakan Reuters.
Indeks lain yang menggambarkan optimisme adalah IBD/TIPP Economic Optimism Index di Amerika Serikat. Angka pembacaan awal untuk Desember 2019 berada di 57, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,9. Indeks Desember menjadi yang tertinggi dalam tujuh bulan terakhir.
Economic Optimism Index mengukur persepsi masyarakat AS terhadap kondisi dan prospek ekonomi ke depan. Survei dilakukan terhadap 900 responden untuk melihat persepsi terhadap prospek ekonomi enam bulan ke depan, penghasilan, dan keyakinan terhadap kebijakan pemerintah.
Tidak cuma konsumen, dunia usaha di negeri adidaya pun sedang bergairah. Pada November 2019, produksi industrial AS naik 1,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi kenaikan bulanan tertinggi sejak Oktober 2017.
Oleh karena itu, sepertinya 'hantu' resesi perlahan tetapi pasti mulai pergi. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Cleveland memperkirakan kemungkinan resesi terjadi dalam 12 bulan ke depan adalah 29,08%. Turun jauh dibandingkan perkiraan pada Agustus, yang mencapai nyaris 47%.
Pengukuran yang dilakukan The Fed cabang New York menunjukkan arah yang sama. Menurut mereka, probabilitas terjadinya resesi di Negeri Paman Sam dalam 12 bulan ke depan adalah 24,61%. Turun jauh dibandingkan proyeksi Agustus yang hampir 38%.
Kalau AS bisa menghindari resesi, maka semua akan baik-baik saja. Sebab, AS adalah perekonomian terbesar di dunia, sang lokomotif, sang kepala naga. Saat lokomotif terus melaju, maka gerbong-gerbong di belakangnya akan ikut bergerak ke depan.
Namun, bukan berarti masalah selesai. Walau risiko resesi kian berkurang, tetapi perlambatan ekonomi rasanya masih sulit dihindari.
Sekarang masalahnya ada di China. Betul ekonomi Negeri Tirai Bambu masih terus tumbuh, tidak ada kontraksi. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi China terus melambat, mustahil untuk mencapai dua digit seperti dekade lalu.
China sedang dalam proses reformasi dan penyesuaian. Pertumbuhan ekonomi dua digit ternyata menimbulkan komplikasi yaitu pembengkakan utang pemerintah dan korporasi.
Selama 2008-2014, utang luar negeri China rata-rata tumbuh 26,56% per tahun. Seiring peningkatan risiko utang, China pun mencoba mengerem lajunya dan sukses. Pada 2015-2019, pertumbuhan utang luar negeri hanya 4,01% per tahun.
Proses kalibrasi ulang ini membuat ekonomi China terus melambat. Tahun ini, Beijing menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-6,5%. Pada 2020, targetnya turun menjadi sekitar 6%.
"Kami menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan berada di kisaran yang wajar. Sekitar 6%," ungkap seorang sumber di lingkar dalam pemerintahan China, seperti diwartakan Reuters.
Ketika ekonomi China melambat, artinya permintaan turun. Ini adalah kabar buruk bagi negara-negara yang menjadikan China sebagai negara tujuan ekspor utama, salah satunya Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor non-migas Indonesia ke China sepanjang Januari-November 2019 adalah US$ 23,54 miliar. Ini sama dengan 16,62% dari total ekspor non-migas.
Jadi ketika permintaan China berkurang, maka kinerja ekspor Indonesia akan terpukul. Ekspor masih akan sulit diandalkan sebagai salah satu mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kalau ekspor melambat, maka sudah pasti konsumsi dan investasi akan melambat. Kemudian harga komoditas akan turun. Kemungkinan sampai 2020 ekspor-impor tidak begitu improving," kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia, kala berbincang dengan awak Detik Network, belum lama ini.
Well, mungkin 'hantu' resesi sekarang sudah tidak terlalu menakutkan. Namun bukan berarti masalah selesai, karena masih ada risiko berupa perlambatan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Masih Resesi, Ekonomi RI Q1 Diramal Tumbuh -1% Hingga -0,1%
Mengutip survei Reuters/INSEAD, kebangkitan optimisme dunia usaha mulai terlihat pada kuartal IV-2019. Indeks keyakinan bisnis di Asia pada kuartal IV-2019 berada di angka 71. Naik drastis dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 58 dan berada di posisi terbaik sejak kuartal I-2018.
![]() |
Survei Reuters melibatkan 102 perusahaan di 11 negara Asia-Pasifik. Sektornya pun bervariasi mulai dari otomotif, energi, sampai pariwisata.
"Kondisi dan ekspektasi dunia usaha membaik seiring kadar ketidakpastian yang berkurang dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun bukan berarti ketidakpastian itu hilang, saya rasa tensi masih akan ada sampai beberapa tahun ke depan, bahkan hitungan dekade," kata Antonio Fatas, Profesor Ekonomi INSEAD Business School Singapura, seperti diberitakan Reuters.
Indeks lain yang menggambarkan optimisme adalah IBD/TIPP Economic Optimism Index di Amerika Serikat. Angka pembacaan awal untuk Desember 2019 berada di 57, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,9. Indeks Desember menjadi yang tertinggi dalam tujuh bulan terakhir.
Economic Optimism Index mengukur persepsi masyarakat AS terhadap kondisi dan prospek ekonomi ke depan. Survei dilakukan terhadap 900 responden untuk melihat persepsi terhadap prospek ekonomi enam bulan ke depan, penghasilan, dan keyakinan terhadap kebijakan pemerintah.
Tidak cuma konsumen, dunia usaha di negeri adidaya pun sedang bergairah. Pada November 2019, produksi industrial AS naik 1,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi kenaikan bulanan tertinggi sejak Oktober 2017.
Oleh karena itu, sepertinya 'hantu' resesi perlahan tetapi pasti mulai pergi. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Cleveland memperkirakan kemungkinan resesi terjadi dalam 12 bulan ke depan adalah 29,08%. Turun jauh dibandingkan perkiraan pada Agustus, yang mencapai nyaris 47%.
Pengukuran yang dilakukan The Fed cabang New York menunjukkan arah yang sama. Menurut mereka, probabilitas terjadinya resesi di Negeri Paman Sam dalam 12 bulan ke depan adalah 24,61%. Turun jauh dibandingkan proyeksi Agustus yang hampir 38%.
Kalau AS bisa menghindari resesi, maka semua akan baik-baik saja. Sebab, AS adalah perekonomian terbesar di dunia, sang lokomotif, sang kepala naga. Saat lokomotif terus melaju, maka gerbong-gerbong di belakangnya akan ikut bergerak ke depan.
Namun, bukan berarti masalah selesai. Walau risiko resesi kian berkurang, tetapi perlambatan ekonomi rasanya masih sulit dihindari.
Sekarang masalahnya ada di China. Betul ekonomi Negeri Tirai Bambu masih terus tumbuh, tidak ada kontraksi. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi China terus melambat, mustahil untuk mencapai dua digit seperti dekade lalu.
China sedang dalam proses reformasi dan penyesuaian. Pertumbuhan ekonomi dua digit ternyata menimbulkan komplikasi yaitu pembengkakan utang pemerintah dan korporasi.
Selama 2008-2014, utang luar negeri China rata-rata tumbuh 26,56% per tahun. Seiring peningkatan risiko utang, China pun mencoba mengerem lajunya dan sukses. Pada 2015-2019, pertumbuhan utang luar negeri hanya 4,01% per tahun.
Proses kalibrasi ulang ini membuat ekonomi China terus melambat. Tahun ini, Beijing menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-6,5%. Pada 2020, targetnya turun menjadi sekitar 6%.
"Kami menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan berada di kisaran yang wajar. Sekitar 6%," ungkap seorang sumber di lingkar dalam pemerintahan China, seperti diwartakan Reuters.
Ketika ekonomi China melambat, artinya permintaan turun. Ini adalah kabar buruk bagi negara-negara yang menjadikan China sebagai negara tujuan ekspor utama, salah satunya Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor non-migas Indonesia ke China sepanjang Januari-November 2019 adalah US$ 23,54 miliar. Ini sama dengan 16,62% dari total ekspor non-migas.
Jadi ketika permintaan China berkurang, maka kinerja ekspor Indonesia akan terpukul. Ekspor masih akan sulit diandalkan sebagai salah satu mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kalau ekspor melambat, maka sudah pasti konsumsi dan investasi akan melambat. Kemudian harga komoditas akan turun. Kemungkinan sampai 2020 ekspor-impor tidak begitu improving," kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia, kala berbincang dengan awak Detik Network, belum lama ini.
Well, mungkin 'hantu' resesi sekarang sudah tidak terlalu menakutkan. Namun bukan berarti masalah selesai, karena masih ada risiko berupa perlambatan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Masih Resesi, Ekonomi RI Q1 Diramal Tumbuh -1% Hingga -0,1%
Most Popular