Amarah 'Kilang' Jokowi, Luhut , & Pertamina Sumber Kekacauan

Redaksi CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
12 December 2019 10:10
Amarah 'Kilang' Jokowi, Luhut , & Pertamina Sumber Kekacauan
Jakarta, CNBC Indonesia- Bukan tanpa alasan Presiden Joko Widodo menempatkan Basuki Tjahaja Purnama di PT Pertamina (Persero). Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, salah satu tujuannya adalah untuk membenahi tata kelola dan kinerja BUMN terbesar di RI tersebut.

Ia menjelaskan Ahok adalah orang yang cocok untuk mengawasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbesar yang ada di negeri ini. "Pak Ahok itu kan sangat bagus mengawasi Pertamina, kenapa? Karena sumber kekacauan paling banyak di sana, biar saja di situ," kata Luhut, saat menggelar Coffee Morning di kantornya, Selasa (10/12/2019).



Lantas, apa yang dimaksud oleh Luhut sebagai sumber kekacauan di tubuh Pertamina?

Soal ini, sebenarnya sudah diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo sejak pertama kali ia dilantik 2014 lalu yakni memberantas mafia yang membuat RI kecanduan impor minyak.

Mengutip istilah Dahlan Iskan beberapa waktu lalu, Jokowi sampai merobohkan 7 langit agar bisa membongkar praktik yang berjalan bertahun-tahun dan kerap ditutupi. Mulai dari membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas, membubarkan Petral, sampai meminta KPK membekuk para biang kerok impor-impor migas.



Selain itu, Jokowi juga kecewa karena 5 tahun pemerintahannya berjalan sejak 2014 rencana pembangunan kilang masih juga sebatas di atas kertas.

Pembangunan kilang bagi Jokowi bukan cuma untuk menghalangi para importir berpesta, tapi juga untuk menyelamatkan CAD negara ini. Awal Desember lalu, Jokowi pun menyuarakan kekesalannya ini, berikut kutipan lengkapnya.

"Masalah kita bertahun-tahun itu adalah masalah defisit perdagangan yang tidak selesai-selesai. Karena apa? Kita tahu, yang namanya impor minyak, impor gas kita gede banget. Padahal kita sumur-sumur minyak kita produksinya ditingkatkan, kalau kurang baru impor. Bukan bergantung pada impor dan produksi minyak kita turun terus, tidak rampung-rampung. Lalu berkaitan dengan substitusi impor, kalau kita bisa produksi dalam negeri kenapa harus impor.

Contohnya kilang minyak tadi, kenapa sudah 30 tahun lebih kita tidak membangun satu kilang pun. Kilang ada turunannya, seperti petrokimia, masak kita masih impor. Ini tidak dikerjakan, ini ada apa? Ini gede banget, kalau kita selesaikan kilang, impor petrokimia bisa kita turunkan.

Lalu berkaitan B20, B30 dan seterusnya. Kalau ini kita konsisten banyak manfaatnya, harga CPO kita naik, dan impor kita turun karena ada barang substitusinya."

[Gambas:Video CNBC]





Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Oktober 2019 angka impor migas Indonesia mencapai US$ 17,617 miliar atau Rp 246,6 triliun turun tipis dari periode yang sama tahun lalu US$ 24,97 miliar. Sementara ekspor migas Indonesia pada periode yang sama tercatat US$ 10,347 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,152 miliar.

Impor minyak mentah Januari-Oktober 2019 tercatat US$ 4,343 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 7,832 miliar. Sementara impor hasil minyak termasuk BBM tercatat US$ 11,195 miliar atau sekitar Rp 156,7 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,575 miliar.

Menariknya, angka impor tersebut setara dengan membangun satu kilang, bahkan lebih.



Untuk pembangunan kilang Tuban misalnya, PT Pertamina menggaet investor minyak asal Rusia, Rosneft. Proyek ini membutuhkan nilai investasi mencapai Rp 199 triliun. Kilang Tuban ditargetkan mulai beroperasi pada 2024.

Sementara untuk proyek Grass Root lain yaitu di Kilang Bontang nilai investasinya mencapai Rp 197, 6 triliun dan ditargetkan mulai beroperasi pada 2025. Skema pendanaan untuk proyek ini pun sama yaitu kerja sama PT Pertamina (Persero) dengan swasta.

Jadi dengan nilai uang Rp 200 triliun, RI bisa bangun kilang yang bermanfaat untuk menekan impor atau terus-terusan mengucurkan duit negara dan tergantung dengan impor minyak.

Sejak 2011 Indonesia mengidap penyakit kronis yang bernama defisit transaksi berjalan (CAD). Defisit paling parah tercatat di 2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Penyebab penyakit tersebut apalagi kalau bukan impor minyak yang jor-joran. Keran impor minyak yang terbuka lebar membuat neraca migas Indonesia terus mencatatkan defisit.

Pemerintah harus serius menangani masalah ini. Pasalnya lifting minyak terus mengalami penurunan sedangkan konsumsi minyak terus meningkat. Umur sumur dan lapangan minyak serta infrastruktur yang semakin tua menyebabkan lifting menjadi semakin kecil.

Lifting atau produksi minyak Indonesia tercatat terus turun. Dari rata-rata 829 ribu barel per hari di 2016 menjadi 745 ribu barel per hari di 2019. Lifting tertinggi tercatat di 2010 sebesar 953,9 ribu barel per hari.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular