
IMF Sudah Sentil Afsel, Indonesia Masih Aman Nih?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 November 2019 11:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Dana Moneter Internasional (IMF) mulai menyentil Afrika Selatan (Afsel), karena ekonomi negara tuan rumah Piala Dunia 2010 itu dinilai mengkhawatirkan. Bagaimana dengan negara berkembang lain seperti Indonesia?
Kemarin, IMF merilis laporan Artikel IV yang berisi kajian terhadap kondisi dan prospek perekonomian sebuah negara. Dalam laporan tersebut, IMF menegaskan perekonomian Afsel pada 2020 masih akan berat.
"Dalam jangka menengah, prospek pertumbuhan ekonomi tetap lemah meski tekanan inflasi relatif rendah. Dengan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang rendah, ada risiko tekanan di sisi kemiskinan dan ketimpangan," sebut laporan IMF.
Menurut IMF, setidaknya ada tiga masalah utama di Afrsel. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi rendah yang berlangsung dalam kurun waktu cukup lama.
Kali terakhir Afsel mencapai pertumbuhan ekonomi 2% adalah pada kuartal I-2015. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi Negeri Nelson Mandela selalu di bawah 2% bahkan di bawah 1% dalam dua kuartal terakhir.
"Investasi swasta tidak tumbuh sementara ekspor dan produktivitas menurun. Pasokan listrik yang tidak bisa diandalkan juga menjadi hambatan bagi ekonomi untuk tumbuh," lanjut laporan IMF.
Faktor kedua adalah beban fiskal yang tinggi. Penerimaan negara lemah, sementara belanja naik terus. Akibatnya, defisit anggaran pun membengkak.
Faktor ketiga adalah inefisiensi perusahaan milik negara. Inefisiensi tersebut menyebabkan biaya logistik dan tarif listrik menjadi mahal. Inefisiensi juga membuat perusahaan milik negara di sana terus membutuhkan suntikan modal dari anggaran negara.
"Kesimpulannya, ketergantungan terhadap pembiayaan negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Lebih lanjut, pembiayaan kepada perusahaan milik negara juga tidak berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, perekonomian Afsel terbeban oleh risiko utang yang meningkat serta ruang fiskal yang sempit," jelas laporan IMF.
Apabila situasi ini terus berlanjut, IMF memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Afsel bakal melampaui 70% pada 2022. Tahun lalu, rasio utang Afsel adalah 55,8% PDB.
Apa yang terjadi di Afsel tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap risiko serupa di negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia. Bagaimana penilaian IMF terhadap perekonomian Tanah Air? Apakah separah Afrika Selatan?
Untungnya tidak (atau mungkin belum). Dalam laporan Artikel IV untuk Indonesia yang dirilis akhir Juli lalu, IMF masih optimistis terhadap Indonesia.
"Prospek ekonomi Indonesia positif. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan stabil di kisaran 5,2% pada 2029 dan 2020 dan berpotensi naik menjadi 5,3% dalam jangan menengah ditopang oleh konsumsi yang kuat. Neraca yang sehat dan ekonomi yang tumbuh akan menjaga pertumbuhan kredit perbankan di kisaran 12%," papar laporan IMF.
IMF menambahkan, inflasi di Indonesia pun terjaga rendah dan stabil. Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan bergerak ke arah 2,6% PDB dalam jangka menengah.
Namun, bukan berarti Indonesia bisa terlena. IMF mewanti-wanti bahwa tetap ada risiko yang membayangi perekonomian nasional.
"Risiko perekonomian Indonesia memang cenderung ke bawah (downside). Risiko utama datang dari sisi eksternal seperti tensi perdagangan, pengetatan pasar keuangan global, perlambatan ekonomi China, dan fluktuasi harga komoditas di pasar dunia," sebut laporan IMF.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa laporan IMF itu adalah keluaran akhir Juli. Sekarang, kondisinya sudah berbeda dan perlambatan ekonomi semakin terlihat nyata.
Pertama, pertumbuhan ekonomi 2019 sepertinya mendekati mustahil untuk mencapai 5,2%. Pada kuartal III-2019, ekonomi tumbuh 5,02% sehingga secara kumulatif pertumbuhan ekonomi nasional adalah 5,04%.
Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ada di 5,08%. Sementara proyeksi Bank Indonesia (BI) adalah 5,1%. Jadi lupakan pertumbuhan ekonomi 5,2%.
Kedua, bagaimana dengan pertumbuhan kredit? Apakah bisa mencapai 12%?
Dalam waktu dekat, sepertinya juga mustahil mencapai angka tersebut. Pada September, BI mencatat pertumbuhan kredit hanya 7,89%. Laju terlemah sejak Januari tahun lalu.
Sepanjang 2019, BI memperkirakan pertumbuhan kredit hanya akan berada di kisaran 8%. Kalau kejadian, maka akan menjadi catatan terendah sejak 2016.
Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh lengah. Saat ini sentilan dari IMF belum datang seperti di Afsel. Namun perlu dicatat bahwa Indonesia pun tidak luput dari perlambatan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Afrika Selatan Kan Anggota G20, Bisa Resesi Juga Ya?
Kemarin, IMF merilis laporan Artikel IV yang berisi kajian terhadap kondisi dan prospek perekonomian sebuah negara. Dalam laporan tersebut, IMF menegaskan perekonomian Afsel pada 2020 masih akan berat.
"Dalam jangka menengah, prospek pertumbuhan ekonomi tetap lemah meski tekanan inflasi relatif rendah. Dengan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang rendah, ada risiko tekanan di sisi kemiskinan dan ketimpangan," sebut laporan IMF.
Menurut IMF, setidaknya ada tiga masalah utama di Afrsel. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi rendah yang berlangsung dalam kurun waktu cukup lama.
Kali terakhir Afsel mencapai pertumbuhan ekonomi 2% adalah pada kuartal I-2015. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi Negeri Nelson Mandela selalu di bawah 2% bahkan di bawah 1% dalam dua kuartal terakhir.
"Investasi swasta tidak tumbuh sementara ekspor dan produktivitas menurun. Pasokan listrik yang tidak bisa diandalkan juga menjadi hambatan bagi ekonomi untuk tumbuh," lanjut laporan IMF.
Faktor kedua adalah beban fiskal yang tinggi. Penerimaan negara lemah, sementara belanja naik terus. Akibatnya, defisit anggaran pun membengkak.
Faktor ketiga adalah inefisiensi perusahaan milik negara. Inefisiensi tersebut menyebabkan biaya logistik dan tarif listrik menjadi mahal. Inefisiensi juga membuat perusahaan milik negara di sana terus membutuhkan suntikan modal dari anggaran negara.
"Kesimpulannya, ketergantungan terhadap pembiayaan negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Lebih lanjut, pembiayaan kepada perusahaan milik negara juga tidak berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, perekonomian Afsel terbeban oleh risiko utang yang meningkat serta ruang fiskal yang sempit," jelas laporan IMF.
Apabila situasi ini terus berlanjut, IMF memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Afsel bakal melampaui 70% pada 2022. Tahun lalu, rasio utang Afsel adalah 55,8% PDB.
Apa yang terjadi di Afsel tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap risiko serupa di negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia. Bagaimana penilaian IMF terhadap perekonomian Tanah Air? Apakah separah Afrika Selatan?
Untungnya tidak (atau mungkin belum). Dalam laporan Artikel IV untuk Indonesia yang dirilis akhir Juli lalu, IMF masih optimistis terhadap Indonesia.
"Prospek ekonomi Indonesia positif. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan stabil di kisaran 5,2% pada 2029 dan 2020 dan berpotensi naik menjadi 5,3% dalam jangan menengah ditopang oleh konsumsi yang kuat. Neraca yang sehat dan ekonomi yang tumbuh akan menjaga pertumbuhan kredit perbankan di kisaran 12%," papar laporan IMF.
IMF menambahkan, inflasi di Indonesia pun terjaga rendah dan stabil. Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan bergerak ke arah 2,6% PDB dalam jangka menengah.
Namun, bukan berarti Indonesia bisa terlena. IMF mewanti-wanti bahwa tetap ada risiko yang membayangi perekonomian nasional.
"Risiko perekonomian Indonesia memang cenderung ke bawah (downside). Risiko utama datang dari sisi eksternal seperti tensi perdagangan, pengetatan pasar keuangan global, perlambatan ekonomi China, dan fluktuasi harga komoditas di pasar dunia," sebut laporan IMF.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa laporan IMF itu adalah keluaran akhir Juli. Sekarang, kondisinya sudah berbeda dan perlambatan ekonomi semakin terlihat nyata.
Pertama, pertumbuhan ekonomi 2019 sepertinya mendekati mustahil untuk mencapai 5,2%. Pada kuartal III-2019, ekonomi tumbuh 5,02% sehingga secara kumulatif pertumbuhan ekonomi nasional adalah 5,04%.
Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ada di 5,08%. Sementara proyeksi Bank Indonesia (BI) adalah 5,1%. Jadi lupakan pertumbuhan ekonomi 5,2%.
Kedua, bagaimana dengan pertumbuhan kredit? Apakah bisa mencapai 12%?
Dalam waktu dekat, sepertinya juga mustahil mencapai angka tersebut. Pada September, BI mencatat pertumbuhan kredit hanya 7,89%. Laju terlemah sejak Januari tahun lalu.
Sepanjang 2019, BI memperkirakan pertumbuhan kredit hanya akan berada di kisaran 8%. Kalau kejadian, maka akan menjadi catatan terendah sejak 2016.
Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh lengah. Saat ini sentilan dari IMF belum datang seperti di Afsel. Namun perlu dicatat bahwa Indonesia pun tidak luput dari perlambatan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Afrika Selatan Kan Anggota G20, Bisa Resesi Juga Ya?
Most Popular