Analisis

Sudah Tepatkah Indonesia Berutang?

Irvin Avriano A., CNBC Indonesia
23 September 2019 14:06
Utang Indonesia ternyata menjadi modal untuk investasi.
Foto: Arie Pratama

Dari mana datangnya lintah, dari gunung turun ke kali. Dari mana datangnya anggaran pemerintah, dari penerimaan negara hingga ke utang buat pembiayaan investasi.

Di tengah perlambatan ekonomi yang terjadi di seluruh belahan dunia, pemerintah semakin agresif dengan berbagai stimulus, terutama melalui kebijakan moneter yang ditandai dengan pemangkasan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate (7DRRR).

Penurunan tersebut tentu mengikuti arah tren penurunan suku bunga acuan dunia yang sedang menghadapi ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan serupa dibutuhkan untuk menggenjot lebih besarnya aktivitas ekonomi dan pertumbuhannya, atau dengan kata lain bersifat stimulus atau seperti obat kuat bagi semakin loyonya pertumbuhan ekonomi dunia dan domestik.

Saat ini, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,05% yoy sepanjang kuartal II-2019, dengan tren pelemahan yang masih terbentuk sejak pertumbuhan tertinggi 5,27% pada Juli tahun lalu.

Sebagai catatan, tren perlambatan ekonomi juga terlihat di banyak negara maju yaitu di AS yang masih melempem menjadi 2,3% dari 3,2% pada periode yang sama.

Hal yang mirip juga terjadi di zona Eropa menjadi 1,1% dari 2,2%. Di Asia juga terjadi hal serupa, terutama di di China menjadi 6,2% dari 6,7%, Korsel 2,1% dari 2,9%, Jepang 1,2% dari 1,5%, dan Singapura menjadi 0,1% dari 4,2%.


Bahkan, beberapa negara sudah sudah mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran ekonomi, bahkan resesi. Beberapa di antaranya yaitu Afsel yang perekonomiannya stagnan, bahkan Italia, Argentina, dan Turki sudah negatif dan menunjukkan resesi. Resesi adalah negatifnya angka pertumbuhan ekonomi sebuah negara dua kali secara berturut-turut.


Dari angka itu, dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang melambat masih jauh lebih baik daripada negara lain.

Tidak hanya dalam bentuk kebijakan moneter, stimulus dalam bentuk kebijakan fiskal juga digelontorkan pemerintah, yaitu dalam bentuk kesejahteraan dan kesehatan serta subsidi daerah kurang mampu melalui dana alokasi umum dan dana alokasi khusus (DAU dan DAK).

Untuk DAU, pemerintah tercatat menganggarkan dana Rp 417,87 triliun pada 2019 ke pemerintah provinsi dan kabupaten-kota, naik 4,08% dari Rp 401,5 triliun pada tahun sebelumnya dan 0,09% dari Rp 401,12 triliun dari alokasi tahun anggaran 2017.

Untuk anggaran kesehatan, pemerintah memberi jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui pelayanan kesehatan universal dengan nama BPJS Kesehatan. Karena program tersebut masih mengandalkan subsidi silang dan masih berupa tahap awal, maka pengelola layanan tersebut mengalami defisit hampir setiap tahunnya sehingga pemerintah harus menalangi defisit tersebut.

BPJS Kesehatan menjadi salah satu program jaminan kesehatan yang telah melayani masyarakat. Program ini menjadi harapan ratusan juta orang Indonesia yang membutuhkan kesehatan dengan biaya terjangkau.


Meski begitu, pemerintah harus berusaha keras lantaran defisit BPJS yang tak bisa dihindari. Defisit BPJS Kesehatan tercatat pada 2017 Rp 3,6 triliun, dan pada 2018 Rp 10,25 triliun yang ditutupi melalui pembiayaan utang.

Belum lagi, pemerintah juga gencar membangun fasilitas dan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan dan untuk memperlancar pembangunan. Anggaran infrastruktur yang ditetapkan pemerintah juga selalu besar, tercatat anggarannya naik dari Rp 256,1 triliun pada 2015 dan secara bertahap tumbuh hingga Rp 415 triliun pada 2019.

Pembangunan infrastruktur juga berfungsi sebagai stimulus bagi potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan proporsi penduduk Indonesia yang memiliki potensi tinggi dengan porsi terbesar pada penduduk mudanya.

Jika potensi tersebut tidak tersalurkan dan didukung oleh infrastruktur yang memadai, maka justru dapat berakibat pada kelebihan beban (overheating) terutama terhadap jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dengan PDB yang tidak bergerak antara US$ 1.000-US$ 12.000.

Jebakan itu dapat terjadi jika potensi pertumbuhan ekonomi tidak didukung oleh industrialisasi dan kemampuan memproduksi barang bernilai tambah sehingga industri sekundernya tidak tumbuh, diversifikasi industri yang terbatas, serta kondisi pasar tenaga kerja yang buruk.



Semuanya tentu membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit, sehingga jika penerimaan negara tidak mencukupi, defisit anggaran pemerintah dapat menggunakan sumber pendanaan lain yaitu utang.

Sementara itu, pemerintah juga menerbitkan SBN, baik yang berbentuk konvensional (surat utang negara/SUN) dan berprinsip syariah (surat berharga syariah negara/sukuk negara) yang juga memiliki manfaat lain. Di antaranya menumbuhkan pendalaman pasar baik ke investor global maupun investor domestik.

Pendalaman pasar dibutuhkan untuk memperkuat basis investor terutama untuk membuat pasar surat utang pemerintah lebih likuid dan tidak kesulitan mendapatkan pendanaan dari investor jika sewaktu-waktu dibutuhkan lagi.

Selain penerbitan rutin, pemerintah juga memperdalam penetrasi investor domestik dengan rutin menerbitkan surat berharga ritel, baik dalam bentuk obligasi negara ritel (ORI), sukuk ritel (SR), obligasi tabungan ritel (saving bond retail/SBR), dan sukuk tabungan (ST).

Tahun ini saja, pemerintah sudah berhasil menerbitkan obligasi ritel senilai Rp 40,04 triliun yang terdiri dari empat seri ST senilai Rp 12,66 triliun, dua seri SBR Rp 6,25 triliun, dan satu seri SR senilai Rp 21,11 triliun.



TIM RISET CNBC INDONESIA


(dob/dob) Next Article Terbitkan Global Bond, Sri Mulyani Tarik Utang Baru Rp47 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular