
Neraca Dagang Memang Surplus, Tapi Jangan Senang Dulu!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 November 2019 10:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Di luar dugaan, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus pada Oktober. Namun surplus perdagangan ini tidak selamanya positif, ada risiko yang terkandung di dalamnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor Oktober 2019 terkontraksi atau turun 6,13% year-on-year (YoY) dan impor turun 16,39% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 160 juta.
Padahal pelaku pasar memperkirakan neraca perdagangan bakal defisit. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan angka defisit neraca perdagangan sebesar US$ 300 juta. Sementara konsensus dari Reuters dan Bloomberg juga meramal terjadi defisit masing-masing US$ 280 juta dan US$ 240 juta.
"Surplus ini tercipta bukan karena ekspor naik, tetapi impor turun lebih dalam. Lebih bagus kalau ekspor tumbuh sementara impornya turun," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers di kantornya, Jumat (15/8/2019).
Apa yang disebut Kecuk, panggilan akrab Suhariyanto, adalah risiko pertama. Sulit untuk merayakan surplus neraca perdagangan ini, karena kinerja ekspor masih belum membaik. Kontraksi ekspor Oktober menggenapi penurunan ekspor yang terjadi selama 12 bulan alias setahun.
Apa mau dikata, ekspor Indonesia yang masih mengandalkan komoditas menjadi rentan terhadap pergerakan harga. BPS mencatat ekspor Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar mineral (utamanya batu bara) serta minyak dan lemak hewan/nabati (terutama minyak sawit mentah/CPO).
Dalam setahun terakhir, harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) amblas 34,68%. Dengan pangsa bahan bakar mineral yang mencapai 14,53% dari total ekspor non-migas, maka komoditas ini akan sangat menentukan kinerja ekspor secara keseluruhan.
"Tantangan ke depan luar biasa. Harga komoditas berfluktuasi," ujar Kecuk.
Risiko kedua adalah di sisi impor. Sudah 10 bulan impor terus mengalami penurunan.
Bukankah bagus kalau impor turun? Belum tentu. Sebab impor menggambarkan arah investasi ke depan.
Pada Oktober, impor bahan baku/penolong turun 18,76% YoY sementara impor barang modal turun 11,35%. Impor bahan baku dan barang modal akan berubah menjadi realisasi investasi dalam tempo beberapa bulan ke depan.
Secara bulanan (month-on-month/MoM), impor bahan baku/penolong masih naik 6,17%. Namun impor barang modal turun 5,87%. Dalam setahun terakhir, rata-rata pertumbuhan impor barang modal hanya 0,58% MoM, sementara bahan baku/penolong malah terkontraksi 0,96%.
Perkembangan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang agak mengkhawatirkan ini membuat prospek investasi menjadi samar-samar. Apakah investasi mampu tumbuh 18,4% seperti pada kuartal III-2019?
Bersyukur karena neraca perdagangan Oktober bisa surplus memang boleh-boleh saja. Namun surplus ini jangan membuat kita terlena, karena ada risiko yang mengintai di baliknya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Impor Juni 2020 Turun -6,36% Jadi US$ 10,76 Miliar
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor Oktober 2019 terkontraksi atau turun 6,13% year-on-year (YoY) dan impor turun 16,39% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 160 juta.
Padahal pelaku pasar memperkirakan neraca perdagangan bakal defisit. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan angka defisit neraca perdagangan sebesar US$ 300 juta. Sementara konsensus dari Reuters dan Bloomberg juga meramal terjadi defisit masing-masing US$ 280 juta dan US$ 240 juta.
Apa yang disebut Kecuk, panggilan akrab Suhariyanto, adalah risiko pertama. Sulit untuk merayakan surplus neraca perdagangan ini, karena kinerja ekspor masih belum membaik. Kontraksi ekspor Oktober menggenapi penurunan ekspor yang terjadi selama 12 bulan alias setahun.
Apa mau dikata, ekspor Indonesia yang masih mengandalkan komoditas menjadi rentan terhadap pergerakan harga. BPS mencatat ekspor Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar mineral (utamanya batu bara) serta minyak dan lemak hewan/nabati (terutama minyak sawit mentah/CPO).
Dalam setahun terakhir, harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) amblas 34,68%. Dengan pangsa bahan bakar mineral yang mencapai 14,53% dari total ekspor non-migas, maka komoditas ini akan sangat menentukan kinerja ekspor secara keseluruhan.
"Tantangan ke depan luar biasa. Harga komoditas berfluktuasi," ujar Kecuk.
Risiko kedua adalah di sisi impor. Sudah 10 bulan impor terus mengalami penurunan.
Bukankah bagus kalau impor turun? Belum tentu. Sebab impor menggambarkan arah investasi ke depan.
Pada Oktober, impor bahan baku/penolong turun 18,76% YoY sementara impor barang modal turun 11,35%. Impor bahan baku dan barang modal akan berubah menjadi realisasi investasi dalam tempo beberapa bulan ke depan.
Secara bulanan (month-on-month/MoM), impor bahan baku/penolong masih naik 6,17%. Namun impor barang modal turun 5,87%. Dalam setahun terakhir, rata-rata pertumbuhan impor barang modal hanya 0,58% MoM, sementara bahan baku/penolong malah terkontraksi 0,96%.
Perkembangan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang agak mengkhawatirkan ini membuat prospek investasi menjadi samar-samar. Apakah investasi mampu tumbuh 18,4% seperti pada kuartal III-2019?
Bersyukur karena neraca perdagangan Oktober bisa surplus memang boleh-boleh saja. Namun surplus ini jangan membuat kita terlena, karena ada risiko yang mengintai di baliknya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Impor Juni 2020 Turun -6,36% Jadi US$ 10,76 Miliar
Most Popular