Jokowi Singgung (Lagi) Impor BBM, Bukannya Sudah Turun Ya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2019 14:44
Jokowi Singgung (Lagi) Impor BBM, Bukannya Sudah Turun Ya?
Ilustrasi SPBU (CNBC Indonesia/Muhammad Choirul Anwar)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyinggung soal tingginya impor yang mengancam neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia. Kali ini, sasaran Jokowi terlihat ke sisi impor Bahan Bakar Minyak (BBM).

"Saya mengingatkan kepada para menteri konsentrasi kepada langkah-langkah terobosan untuk kurangi impor kita. Baik itu impor BBM yang menjadi penyumbang defisit terbesar," kata Jokowi kala membuka rapat terbatas di kantor presiden, kemarin.


Sudah sering Jokowi menyinggung soal mengurangi impor demi menurunkan defisit transaksi berjalan. Namun sepertinya masalah belum kunjung teratasi.

Soal impor BBM, mohon maaf Pak Jokowi, sepertinya sudah ada perbaikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor hasil minyak (yang didominasi oleh BBM) selama Januari-September 2019 turun 22,06% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.



Well, neraca migas di transaksi berjalan memang masih defisit. Namun defisit neraca migas terus dalam tren menurun.

Pada kuartal III-2019, Bank Indonesia (BI) mencatat neraca migas defisit US$ 2,17 miliar. Turun jauh dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu minus US$ 3,55 miliar.






Jadi kalau sudah ada perbaikan di sisi migas, apa yang kemudian menjadi pekerjaan besar untuk menambal defisit transaksi berjalan? Kalau dilihat sedikit lebih dalam, defisit transaksi berjalan mayoritas disebabkan oleh tekornya pos pendapatan primer.

Pada kuartal III-2019, defisit transaksi berjalan secara nominal adalah US$ 7,66 miliar sementara defisit pendapatan primer adalah US$ 8,43 miliar. Sepanjang 2018 pun kondisinya tidak jauh berbeda. Dari defisit transaksi berjalan yang US$ 30,48 miliar, pos pendapatan primer 'menyumbang' minus US$ 30,46 miliar.

Dua pos utama di pendapatan primer adalah pembayaran dividen dan bunga utang. Jadi kunci untuk menutup defisit di pendapatan primer adalah meningkatkan kapasitas ekonomi domestik agar pembayaran dividen dan utang luar negeri berkurang.

Saat ini Penanaman Modal Asing (PMA) alias Foreign Direct Investment (FDI) masih mendominasi. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, porsi PMA pada kuartal III-2019 masih lebih dominan dibandingkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan rasio 61:39.



Ketika PMDN menjadi raja di negeri sendiri, maka pembayaran dividen ke luar negeri akan berkurang. Tentu menjadi obat mujarab untuk mengobati luka di transaksi berjalan.

Selain PMDN, hal lain yang perlu digenjot adalah peningkatan akses pembiayaan domestik baik itu melalui perbankan atau pasar modal. Apabila sektor keuangan Indonesia masih belum bisa menyediakan pembiayaan secara optimal, maka penarikan Utang Luar Negeri (ULN) tidak dapat terhindarkan.

BI melaporkan ULN Indonesia per akhir Agustus sebesar US$ 395,5 miliar. Jumlah tersebut naik 8,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year-on-year (YoY). ULN terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 196,3 miliar, serta utang swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 197,2 miliar. 



Penarikan ULN tentu harus dibayar, dan pembayaran bunga utang ke luar negeri menjadi beban bagi pos pendapatan primer dan transaksi berjalan. Jadi, pasar keuangan Indonesia harus lebih dalam lagi agar mampu menyediakan pembiayaan aktivitas ekonomi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular