Benarkah Hantu Resesi Sudah Pergi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 November 2019 14:41
Benarkah Hantu Resesi Sudah Pergi?
Ilustrasi Dolar AS (REUTERS/Thomas White)
Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi ekonomi menjadi topik hangat pada tahun ini. Kecemasan terhadap resesi sempat membuat pelaku pasar keuangan global ketar-ketir.

Akan tetapi, kini hawa resesi mulai pudar. Sejumlah indikator menunjukkan tanda-tanda resesi sirna.

Pertama adalah probabilitas resesi keluaran Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed cabang New York. Kemungkinan terjadinya resesi di Negeri Paman Sam pada Oktober 2020 adalah 29,04%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 34,8%.

Sejak Agustus, kans resesi di AS dalam tren menurun. Sekarang kemungkinannya sudah di bawah 30%.



Ada lagi The Fed yang memiliki proyeksi soal resesi yaitu Cleveland. The Fed Cleveland memperkirakan peluang resesi pada pekan keempat Oktober tahun depan adalah 30,98%. Turun jauh dibandingkan posisi puncaknya yaitu di pekan keempat Agustus 2020.

 



Salah satu indikator yang kerap digunakan untuk meramal resesi adalah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun. Jika terjadi inversi (yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang tenor panjang) secara konsisten, maka kemungkinan resesi akan datang dalam waktu tidak terlalu lama.

Yield obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun sempat beberapa kali mengalami inversi pada Agustus-September. Ini menjadi pemantik kekhawatiran akan resesi.

Namun jelang akhir September, situasi kembali normal di mana yield tenor panjang lebih tinggi dari yang tenor pendek. Normalitas yang bertahan hingga hari ini. Artinya, risiko resesi agak menjauh.



Mau bukti lain? Cass Freight Index pada September 2019 berada di 1,199. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 1,19 dan menjadi yang tertinggi sejak Juni.

 

Cass Freight Index adalah indikator yang menggambarkan arus perdagangan di Negeri Paman Sam. Indeks ini menjadi salah satu acuan aktivitas ekonomi, sekaligus alat untuk mengeker arah perekonomian ke depan.

Berbagai perkembangan tersebut menggambarkan bahwa risiko resesi ekonomi di AS semakin mengecil. Kalau AS bisa terhindar dari resesi, maka perekonomian dunia pun diharapkan demikian karena Negeri Adidaya adalah kekuatan ekonomi terbesar di bumi.



Optimisme juga datang dari rilis data-data ekonomi di AS. Pertama, pembacaan awal indeks sentimen konsumen keluaran University of Michigan untuk November berada di 95,7. Naik dibandingkan Oktober yang sebesar 95,5. Angka November adalah yang tertinggi sejak Juli.

Kedua, jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 2 November tercatat 211.000. Turun 8.000 dibandingkan pekan sebelumnya dan di bawah konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yaitu 215.000.

Ketiga, angka Puchasing Managers' Index (PMI) non-manufaktur versi ISM pada Oktober berada di 54,7. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,6 dan di atas konsensus pasar yaitu 53,5.

Keempat, defisit neraca perdagangan AS pada September adalah US$ 52,5 miliar. Melandai dibandingkan posisi bulan sebelumnya yaitu minus US$ 55 miliar.

Sekarang boleh saja risiko resesi sepertinya menjauh. Namun bukan berarti kita bisa berleha-leha, karena tantangan masih berat.

Hubungan dagang AS-China masih panas-dingin. Kedua negara memang sedang di ambang menyepakati perjanjian dagang fase I.

Namun situasi simpang-siur kala pekan lalu China mengklaim kedua negara sudah sepakat untuk menghapus bea masuk yang dikenakan selama perang dagang. Sebagai informasi, AS mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 550 miliar. Sedangkan China membebankan bea masuk kepada impor produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.

Namun ternyata itu hanya klaim sepihak. AS menegaskan bahwa belum ada kesepakatan soal pencabutan bea masuk.

"China ingin ada semacam penghapusan (bea masuk). Tidak semuanya, karena mereka tahu saya tidak akan melakukan itu. Saya belum menyepakati apa-apa," tegas Presiden AS Donald Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.

Akan tetapi, China sepertinya masih ngotot memperjuangkan penghapusan bea masuk menjadi salah satu poin perjanjian damai dagang. Hu Xijin, Editor di harian Global Times yang berafiliasi dengan pemerintah, menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan tanpa penghapusan bea masuk.

"Satu hal yang pasti adalah jika tidak ada pencabutan bea masuk, maka tidak ada perjanjian fase I," cuit Hu di Twitter.

Oleh karena itu, ada kekhawatiran jangan-jangan Washington dan Beijing memang belum siap untuk berdamai. Kalau kesimpangsiuran ini berubah menjadi ketegangan, maka perang dagang bisa kembali meletus dan merusak tatanan rantai pasok dunia.

Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia saat ini adalah perang dagang, utamanya yang melibatkan AS dan China. Saat AS kesulitan mengekspor ke China dan sebaliknya, maka industriawan di kedua negara merespons dengan mengurangi produksi.

Pada September, output manufaktur AS turun 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan output manufaktur di China masih tumbuh 4,2% YoY, tetapi merupakan laju terlemah setidaknya sejak 2006.


Jadi, kewaspadaan tidak boleh kendur. Kita tidak boleh lengah, karena risiko resesi masih ada dan bisa membesar kapan saja. Terutama kalau perang dagang membara lagi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular