
Benarkah Hantu Resesi Sudah Pergi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 November 2019 14:41

Optimisme juga datang dari rilis data-data ekonomi di AS. Pertama, pembacaan awal indeks sentimen konsumen keluaran University of Michigan untuk November berada di 95,7. Naik dibandingkan Oktober yang sebesar 95,5. Angka November adalah yang tertinggi sejak Juli.
Kedua, jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 2 November tercatat 211.000. Turun 8.000 dibandingkan pekan sebelumnya dan di bawah konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yaitu 215.000.
Ketiga, angka Puchasing Managers' Index (PMI) non-manufaktur versi ISM pada Oktober berada di 54,7. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,6 dan di atas konsensus pasar yaitu 53,5.
Keempat, defisit neraca perdagangan AS pada September adalah US$ 52,5 miliar. Melandai dibandingkan posisi bulan sebelumnya yaitu minus US$ 55 miliar.
Sekarang boleh saja risiko resesi sepertinya menjauh. Namun bukan berarti kita bisa berleha-leha, karena tantangan masih berat.
Hubungan dagang AS-China masih panas-dingin. Kedua negara memang sedang di ambang menyepakati perjanjian dagang fase I.
Namun situasi simpang-siur kala pekan lalu China mengklaim kedua negara sudah sepakat untuk menghapus bea masuk yang dikenakan selama perang dagang. Sebagai informasi, AS mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 550 miliar. Sedangkan China membebankan bea masuk kepada impor produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.
Namun ternyata itu hanya klaim sepihak. AS menegaskan bahwa belum ada kesepakatan soal pencabutan bea masuk.
"China ingin ada semacam penghapusan (bea masuk). Tidak semuanya, karena mereka tahu saya tidak akan melakukan itu. Saya belum menyepakati apa-apa," tegas Presiden AS Donald Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.
Akan tetapi, China sepertinya masih ngotot memperjuangkan penghapusan bea masuk menjadi salah satu poin perjanjian damai dagang. Hu Xijin, Editor di harian Global Times yang berafiliasi dengan pemerintah, menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan tanpa penghapusan bea masuk.
"Satu hal yang pasti adalah jika tidak ada pencabutan bea masuk, maka tidak ada perjanjian fase I," cuit Hu di Twitter.
Oleh karena itu, ada kekhawatiran jangan-jangan Washington dan Beijing memang belum siap untuk berdamai. Kalau kesimpangsiuran ini berubah menjadi ketegangan, maka perang dagang bisa kembali meletus dan merusak tatanan rantai pasok dunia.
Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia saat ini adalah perang dagang, utamanya yang melibatkan AS dan China. Saat AS kesulitan mengekspor ke China dan sebaliknya, maka industriawan di kedua negara merespons dengan mengurangi produksi.
Pada September, output manufaktur AS turun 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan output manufaktur di China masih tumbuh 4,2% YoY, tetapi merupakan laju terlemah setidaknya sejak 2006.
Jadi, kewaspadaan tidak boleh kendur. Kita tidak boleh lengah, karena risiko resesi masih ada dan bisa membesar kapan saja. Terutama kalau perang dagang membara lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Kedua, jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 2 November tercatat 211.000. Turun 8.000 dibandingkan pekan sebelumnya dan di bawah konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yaitu 215.000.
Ketiga, angka Puchasing Managers' Index (PMI) non-manufaktur versi ISM pada Oktober berada di 54,7. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,6 dan di atas konsensus pasar yaitu 53,5.
Sekarang boleh saja risiko resesi sepertinya menjauh. Namun bukan berarti kita bisa berleha-leha, karena tantangan masih berat.
Hubungan dagang AS-China masih panas-dingin. Kedua negara memang sedang di ambang menyepakati perjanjian dagang fase I.
Namun situasi simpang-siur kala pekan lalu China mengklaim kedua negara sudah sepakat untuk menghapus bea masuk yang dikenakan selama perang dagang. Sebagai informasi, AS mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 550 miliar. Sedangkan China membebankan bea masuk kepada impor produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.
Namun ternyata itu hanya klaim sepihak. AS menegaskan bahwa belum ada kesepakatan soal pencabutan bea masuk.
"China ingin ada semacam penghapusan (bea masuk). Tidak semuanya, karena mereka tahu saya tidak akan melakukan itu. Saya belum menyepakati apa-apa," tegas Presiden AS Donald Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.
Akan tetapi, China sepertinya masih ngotot memperjuangkan penghapusan bea masuk menjadi salah satu poin perjanjian damai dagang. Hu Xijin, Editor di harian Global Times yang berafiliasi dengan pemerintah, menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan tanpa penghapusan bea masuk.
"Satu hal yang pasti adalah jika tidak ada pencabutan bea masuk, maka tidak ada perjanjian fase I," cuit Hu di Twitter.
Oleh karena itu, ada kekhawatiran jangan-jangan Washington dan Beijing memang belum siap untuk berdamai. Kalau kesimpangsiuran ini berubah menjadi ketegangan, maka perang dagang bisa kembali meletus dan merusak tatanan rantai pasok dunia.
Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia saat ini adalah perang dagang, utamanya yang melibatkan AS dan China. Saat AS kesulitan mengekspor ke China dan sebaliknya, maka industriawan di kedua negara merespons dengan mengurangi produksi.
Pada September, output manufaktur AS turun 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan output manufaktur di China masih tumbuh 4,2% YoY, tetapi merupakan laju terlemah setidaknya sejak 2006.
Jadi, kewaspadaan tidak boleh kendur. Kita tidak boleh lengah, karena risiko resesi masih ada dan bisa membesar kapan saja. Terutama kalau perang dagang membara lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular