
Saat Janji Jokowi Tinggal Mimpi: Ekonomi RI Melesat 7%

Dengan melihat laju perekonomian Indonesia yang bisa dibilang ‘hidup segan, mati tak mau’ tersebut, jelas diperlukan gebrakan atau yang disebut Jokowi dengan ‘kebijakan gila’.
Sekedar mengingatkan, selepas memenangkan gelaran Pilpres pada bulan April kemarin, Jokowi beberapa kali menjanjikan gebrakan dengan meluncurkan ‘kebijakan gila’.
Beberapa bulan yang lalu, Jokowi menyempatkan diri untuk berkumpul bersama para aktivis '98. Di hadapan para aktivis, Jokowi menegaskan dirinya tidak segan untuk mengambil keputusan 'gila' jika itu untuk kepentingan negara.
"Sudah kurang lebih 21 tahun gerakan reformasi yang dikomandani oleh aktivis-aktivis '98 berjalan. Kita semuanya harus berani mengevaluasi apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah, baik yang sudah berhasil maupun yang belum berhasil," kata Jokowi di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, pada bulan Juni silam, dilansir dari detikcom.
"Saya dalam 5 tahun ke depan insyaallah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi, saya tidak memiliki beban apa-apa," katanya.
Dalam kondisi seperti saat ini, rasanya memang hanya ‘kebijakan gila’ yang bisa menyelamatkan perekonomian Indonesia.
Salah satu ‘kebijakan gila’ yang bisa diambil Jokowi adalah dengan memajaki perusahaan digital.
Seperti yang diketahui, pola konsumsi masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan. Kini, untuk mendengarkan musik dan menonton film, tak lagi perlu membeli CD di toko konvensional, tapi cukup dengan berlangganan kepada perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa distribusi secara digital, Spotify dan Netflix contohnya.
Namun hingga kini, walaupun sudah begitu banyak pelanggan Spotify dan Netflix yang berdomisili di Indonesia, tak pernah ada ceritanya mereka membayar pajak. Pasalnya selama ini, kedua perusahaan tersebut belum berstatus BUT (Bentuk Usaha Tetap) atau belum memiliki kantor fisik sehingga tak bisa dipajaki. Padahal kalau dihitung-hitung, nilainya seharusnya cukup besar dan bisa dialokasikan untuk pembangunan.
Kini, Jokowi melalui tangan kanannya untuk urusan keuangan negara yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mencoba mengejar penerimaan pajak dari perusahaan-perusahaan digital macam Spotify dan Netflix.
Sri Mulyani pada hari Senin (4/11/2019) menegaskan bahwa perusahaan digital seperti Netflix dan Spotify harus membayar pajak. Dengan keberhasilan Australia dan Singapura dalam mengenakan pajak kepada Netflix, Indonesia menjadi terpacu untuk melakukan hal serupa.
"Income banyak Netflix, Spotify, mereka tak punya perusahaan di sini. Tidak akan bisa mungut pajak karena mereka nggak punya BUT (Bentuk Usaha Tetap)," ungkap Sri Mulyani di Gedung DPR, Senin (4/11/2019).
"Oleh karena itu dalam undang-undang yang kita usulkan selesai bahwa konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT tetapi aktifitasnya banyak seperti yang saya sebutkan, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan atau economy present yang signifikan. Oleh karena itu wajib membayar pajak," tegas Sri Mulyani.
Semoga, kebijakan ini segera dieksekusi dan bukan hanya wacana semata.
Lebih lanjut, masih terkait dengan masalah perpajakan, berkaca dari lesunya perekonomian tanah air, sudah sepatutnya pemerintah memberikan insentif pajak yang nendang bagi para pelaku usaha.
Maklum saja, selama ini insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang kurang nendang.
Untuk periode 2017, Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%.
PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.
Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019.
Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja kentang, ya hasilnya akan sama saja, perekonomian tetap akan kurang bergairah.
Jadi, mari kita nantikan, apakah Jokowi benar-benar mengeluarkan ‘kebijakan gila’ nantinya, baik dalam hal perpajakan maupun dalam hal-hal lainnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru)