
Refleksi
Saat Janji Jokowi Tinggal Mimpi: Ekonomi RI Melesat 7%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 November 2019 09:46

Dari tahun ke tahun, Indonesia mengalami yang namanya deindustrialisasi. Di era kepemimpinan Jokowi, sektor manufaktur (industri pengolahan) terus saja tumbuh melambat.
Untuk diketahui, sektor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).
Namun, tulang punggung ini terserang osteoporosis, begitu rapuh, begitu renta, dan daya topangnya semakin menurun. Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada tahun 2014, kontribusinya mencapai 21,02%.
Kalau ditarik lebih jauh ke tahun 2010, terlihat bahwa penurunan kontribusi sektor manufaktur semakin dalam. Pada tahun 2010, sektor manufaktur menyumbang sebesar 22,04% terhadap pembentukan PDB.
Dari tahun ke tahun, pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi secara umum.
Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi.
Teranyar pada periode sembilan bulan pertama tahun 2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,85% jika dibandingkan dengan periode sembilan bulan pertama tahun 2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,04%.
Akibat lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia, serapan tenaga kerjanya juga menjadi kurang maksimal. Pada tahun 2017, sektor manufaktur tercatat menciptakan sebanyak 1,69 juta lapangan kerja. Pada tahun 2018, penciptaan lapangan kerja dari sektor manufaktur menurun menjadi 690.000 saja. Pada tahun 2019, angkanya kembali menurun menjadi 680.000.
Seiring dengan sektor manufaktur yang terserang osteoporosis, perekonomian Indonesia menjadi kian tak proporsional seiring dengan berjalannya waktu. Sudah pertumbuhannya kecil, eh ternyata makin tak proporsional, benar-benar membuat kita iba.
Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable.
Sektor tradable berisikan industri-industri yang output-nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.
Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.
Terhitung sejak Jokowi mengambil alih posisi RI-1 dari tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 silam, perekonomian Indonesia sudah dikuasai oleh sektor non-tradable. Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, sektor non-tradable menguasai sebesar 54,8% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 45,2%.
Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per sembilan bulan pertama tahun 2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.
Kenaikan porsi sektor non-tradable tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable.
Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan ketika sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat.
Padahal, lapangan kerja di sektor tradable adalah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah.
Tak heran, seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi. (dru)
Untuk diketahui, sektor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).
Namun, tulang punggung ini terserang osteoporosis, begitu rapuh, begitu renta, dan daya topangnya semakin menurun. Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada tahun 2014, kontribusinya mencapai 21,02%.
Dari tahun ke tahun, pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi secara umum.
Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi.
Teranyar pada periode sembilan bulan pertama tahun 2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,85% jika dibandingkan dengan periode sembilan bulan pertama tahun 2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,04%.
Akibat lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia, serapan tenaga kerjanya juga menjadi kurang maksimal. Pada tahun 2017, sektor manufaktur tercatat menciptakan sebanyak 1,69 juta lapangan kerja. Pada tahun 2018, penciptaan lapangan kerja dari sektor manufaktur menurun menjadi 690.000 saja. Pada tahun 2019, angkanya kembali menurun menjadi 680.000.
Seiring dengan sektor manufaktur yang terserang osteoporosis, perekonomian Indonesia menjadi kian tak proporsional seiring dengan berjalannya waktu. Sudah pertumbuhannya kecil, eh ternyata makin tak proporsional, benar-benar membuat kita iba.
Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable.
Sektor tradable berisikan industri-industri yang output-nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.
Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.
Terhitung sejak Jokowi mengambil alih posisi RI-1 dari tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 silam, perekonomian Indonesia sudah dikuasai oleh sektor non-tradable. Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, sektor non-tradable menguasai sebesar 54,8% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 45,2%.
Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per sembilan bulan pertama tahun 2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.
Kenaikan porsi sektor non-tradable tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable.
Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan ketika sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat.
Padahal, lapangan kerja di sektor tradable adalah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah.
Tak heran, seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi. (dru)
Pages
Most Popular